|
Oleh : Radin Bahrul Alam

Rumput kuning, siluet matahari tebing cadas adalah taman bermain milik alam. 
Dan angin bait-bait syair alamiah.

Lelah berjalan di atmosfer, seekor burung hinggap di cakrawala. 
Paruhnya sebidang pasopati merobek singgasana langit.

Sebidang tanah diinjak. Panas berkepanjangan ialah kemarau. 
Cinta adalah kemarau, sebidang tanah, sebuah kaki.
Panas, wadah, alas kejadian kehidupan.

Requiem for a dream

|
Sebuah lagu seolah sengaja diciptakan untuk menertawakan kesendirianku. Seperti Lux Aeterna yang ku repetisi berulang-ulang dalam ruangan ini. 

Akhirnya waktu menimbunku dengan debunya. Perlahan membuatmu (dan semua orang) tak lagi mengingatku.

Clint Mansell - Requiem for a dream

Sebelum Lupa

|

Pada sebagian tulisan aku membawakan perjalanan-perjalananku dalam suatu kisah epik. Pada sebagian lainnya aku membawakan puisi-puisi dalam nuansa kelabu. Sebagian tulisan tidak ada motif, sebagian lainnya sengaja kubuat agar kau terkesan.

Lalu kemudian aku merasa tidak perlu menulis lagi. Mungkin terlalu datar hidupku belakangan ini. Tidak ada gejolak yang layak untuk diceritakan. Juga tidak ada niatan untuk membuatmu terkesan (lagi).

Bahwasanya hidupnya tulisanku juga dipengaruhi oleh pujian darimu, aku merasakan kehambaran tanpa adanya kunjungan darimu. Seakan menjadi berbeda ketika ruh dalam tulisan tidak kubuat dengan membayangkan sesuatu atau seseorang di benakku. Karena tulisan akan mengalir penuh rasa dan lebih bersenyawa ketika kau hadir sebagai inspirasi.

Seperti eksistensimu di pertemuan Jakarta. Meski hanya sekejap, memoriku tentangmu yang terendap bertahun-tahun berhamburan menjadi suatu inspirasi yang membanjir lalu kukumpulkan setiap kepingnya di bandara kala itu. Kuabadikan menjadi suatu tulisan yang istimewa.

Mungkinkah itu puncaknya?
Karena segera setelah itu tinta mengering. Terbesit di pikir ini cuma memoar sandiyaloka. Sudah saatnya media katarsisku dibersihkan. Deletion. Menjadi nol dan aku ingin pulang.

Lalu aku kembali pada ketinggian tanpa membuat catatan. Tanpa angan tentangmu dan hanya berjalan saja bersama bingkisan-bingkisan realitas. Menikmati lintang tanpa perlu mengurainya dalam bahasa mendayu-dayu. Meski sunyi serupa badai, meski akan terkoyak sendirian, kesadaran penuh luka tidaklah buta. Aku dan pegunungan ini tetap ada sementara kamu hanya metafora.

Seperti sepagi ini di bulan Oktober aku terbangun di Kersik Tuo. Tanpa ada bayang-bayangmu yang mengganggu semalam. Senyatanya Kerinci di hamparanku senyata itu pula aku saat ini.

Hingga seseduh gelas teh Kayu Aro tetiba memberi inspirasi. Sialnya, seperti ada hutang satu dua kata yang berkeliaran. Terserak di hutan hujan, di danau gunung tujuh, dan di puncak Sumatra. Kulihat petani daun teh dan petani sayur-mayur. Kedamaian manusia untuk menyelami jagat raya. Ah, serupa narasi yang diceritakan kakekku dulu.

Maka pada kealpaan waktu ini aku meralat kata-kata. Aku ingin menulis lagi. Sandiyaloka bukan hanya tentangmu. Ia adalah penghayatan semesta.




Romance de Amour

|
Mungkin aku merindukan berdansa denganmu pada malam-malam penatku 
Mungkin aku merindukanmu untuk bercerita tentang sungai yang mengalir dan laut yang berirama
Mungkin aku merindukanmu untuk mendebat air, gunung, dan lautan. Manakah yang lebih indah daripada ketiganya?
Mungkin aku merindukan petikan romance de amour, pandora hearts, dan felitsa. Irama yang membawaku menyelami rasi-rasi bintang

Lalu aku merindukanmu saat pagi menjelang dan bayangmu semakin pudar
Lalu aku merindukanmu dalam delusi-delusiku
Dan waktu membuatmu semakin pudar sementara ingatanku tidak pernah beranjak

Bukannya semua singkat, 
seperti aku tidak benar-benar memiliki, tapi sekejapnya memandang aku bisa mengerti.

dan awan memudar. ombak berdentuman. pasir-pasir kecil
orang-orang bertelanjang dada. mencari sesuatu yang hilang

Jakarta.

|


Kekal hanya masalah sudut pandang saja. Mungkin bagimu, kala itu hanya satu dua jam saja. Sesuatu yang sifatnya terhitung dan selesai. Tapi bagiku saat bersamamu, sesaat atau sedikit lebih lama dari itu sama-sama kekalnya. Jika kala itu (pertemuan) menjelma pada sebuah foto, maka di selembar foto itu aku mengekalkanmu. Cetak biru profilmu, bersatu dengan kenangan yang terus me-repetisi, membuat yang terhitung menjadi tak hingga.

Caraku mengekalkanmu, seperti saat kita menikmati hujan yang menderu, lalu menjadi rindu. Besok kita kehujanan lagi dan menjadi rindu. Lalu kita memulas kuas pada kertas. Menulis surat tanpa alamat yang tak tahu akan bertemu siapa pada halaman berapa. Maka selalu ada janji yang mesti ditepati, setiap turun hujan kita menulis surat. Satu fragmen dan repetisi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal kekekalan.

Jadi, janganlah bersedih meninggalkanku. Karena aku telah mengekalkan fragmen-fragmenmu dan merepetisinya menjadi tak hingga. Seperti hari ini aku duduk dimana, dengan siapa, menghisap aroma apa. Yang aku tahu Jakarta adalah hujanku yang menderu dan menjadi rindu. Jakarta adalah tentangmu.

Cinta adalah angin-angin metafora

|

A.mbyar

|
Hingga.. dalam dunia yang kubangun begitu simetris, rutinitas yang begitu runtut dalam hidup, dan keteraturan yang kujalani... Pada suatu titik, limbung.

Pertemuan denganmu mengacaukan segalanya. Meruntuhkan keteraturan di jagat raya dan menggulingkan keseimbangan di dalam pikir.

Seperti sudah ditakdirkan sejak awal mula. Pada suatu interseksi, pendulum pada kedua bola matamu itu bersinggungan dengan kedua bola mataku.  Hal yang pada kemudian hari kutandai sebagai awal mula kekacauan itu.

Singkatnya, aku menikmati keributan yang kau buat. Aku menikmati bagaimana setiap atom dalam tubuhku bergerak begitu semrawut.  Ada kegembiraan terkurung dalam detak jantungku yang berburu. Ada curahan rahmat-Nya mengalir tiada henti dari kelopakmu. Seperti nikmat Tuhan yang alirannya terus memutari seluruh ruas alam semesta.

Bila tiap detik seperti itu, aku rela bertarung dengan matahari.

MARET

|
Pagi. Maret baru sepertiga jalan. Kota Pararaton masih dalam dekapan musim penghujan. Tidak siang tidak juga malam, hujan mengguyur seperti tak kenal waktu. Membuat si pemalas makin jadi malas untuk keluar rumah dan si tukang tidur semakin lelap dibuai suara rintik hujan.

Bagi mereka yang lebih rajin, atau karena keterpaksaan harus beraktivitas diluar rumah pasti merasakan ketidaknyamanan akibat cuaca buruk ini. Disana-sini becek. Saluran air meluap, meski tak membuat banjir namun kemacetan kecil seringkali terjadi. Orang-orang mengumpat. Tidak sabaran karena jalannya terhambat. Polisi lalu lintas ogah-ogahan mengatur pengendara. Bagaimana tidak, terlalu timpang bagi seorang dua orang polisi mengatur jalannya ribuan kendaraan. Apalagi saat pagi hari hujan macam ini, lebih enak juga ngopi di kantor sambil nonton berita di layar kaca.

Di sisi yang lain jalan, puluhan pejalan kaki mengibarkan payung-payung berusaha melindungi tubuh-tubuh mereka dari dinginnya air hujan. Terkisah diantara para pejalan kaki itu pemuda bernama Guntur. Dia selalu semangat, seperti kebanyakan pemuda yang menuntut ilmu di kota ini. Meski diterpa hujan sekalipun Guntur tak pernah bolos berangkat ke kampus. Dia lumayan rajin untuk hal ini.

Guntur pagi ini hanya ada satu mata kuliah. Lepas itu dia akan menemui kekasihnya, Azalea. Menghabiskan waktu selama hujan dan menunggui reda bersama kekasih. Apa hal yang lebih baik daripada itu?

Maka Guntur saat ini berada dalam jamaah pejalan kaki yang mengibarkan payung. Ia berjalan santai dan mengenakan payung hitam menuju sebuah kafe yang telah dijanjikan Azalea. Ia tahu betul kafe itu. Mereka sering menghabiskan waktu bersama disana.

Tidak jauh, hanya perlu berjalan kaki 15 menit dari kampus untuk menuju kafe yang dimaksud. Selama perjalanan itu Guntur membayangkan wajah Azalea yang dikaguminya. Azalea yang memiliki paras sempurna. Azalea yang selalu ceria. Yang senyumnya bahkan mampu membuat detak jantung Guntur berlari tak karuan.

Mereka memang sudah pacaran. Hampir 3 bulan mereka jadian. Hari jadi mereka ditandai dengan rinai hujan rintik saat mereka menunggu terang di kafe yang sama. Suasananya hampir sama seperti pagi ini.

Hal itulah yang membuat Guntur selalu semangat menjalani hari-harinya. Begitu pula pagi ini. Dia riang sekali seolah-olah tak memiliki beban, meski tanggungan paper 10 lembar dari dosen belum selesai dan waktu pengumpulannya tinggal besok. Tapi peduli amat, yang penting Guntur bisa bertemu Azalea, itu lebih dari segalanya.

Guntur memang sangat menyayangi Azalea. Hidupnya bebrapa bulan ini mungkin hanya dihabiskan untuk Azalea. Dia tak pernah sekalipun menolak permintaan Azalea. Dia tak pernah berkata “tidak” pada Azalea. Guntur bersedia memberi segalanya pada Azalea. Guntur sangat tergila-gila pada Azalea.

Sampailah dia didepan kafe. Terlihat kekasihnya sudah menunggu di sudut kafe dekat jendela, tempat terbaik menunggui hujan reda. Guntur meletakkan payung hitamnya di tempat payung di depan kafe itu, mengibas-ngibaskan pakaiannya dari kebas air hujan. Dan melangkah dengan tenang menuju tempat Azalea menunggu.

APRIL

|
Raung duduk bersila diatas sebuah batu. Memandang sabana luas menghijau yang ada puluhan meter dibawahnya. Rerumputan padang sabana itu tertata rapi, seolah tiap hari disiangi, dirawat, dipupuk. Terlihat indah seumpama permadani, eksotis namun alami. Puluhan, ratusan pohon edelwais menghiasi hijau sabana dengan bentol-bentol warna putih. Sedang mekar rupanya kembang keabadian itu. 

Jauh di seberang sabana itu, awan putih memenuhi selimut langit yang semula berwarna biru. Membungkus sabana hijau dengan garis batas yang amat jelas. Bentuknya magis, seolah-olah kapas raksasa sengaja ditebar petani randu.
Berjalan pelan awan-awan itu mengantarkan bibit-bibit hujan ke saentero kota. Kemudian setelah terlalu berat bebannya, ia akan menjatuhkan titik-titik air. Memenuhi sungai, ladang padi, hutan, bendungan. Kemudian berjalan ke lautan lepas dan menguap lagi menjadi awan. Siklus keagungan Tuhan yang diperuntukkan bagi mereka yang berpikir.   
Di balik awan putih itu, sekitar 50 kilo jauhnya dari tempat Raung duduk saat ini terlihat puncak gunung paling aktif di dunia. Hanya puncaknya saja yang terlihat, sementara sebagian besar badannya tertutup selimut awan. Terlihat anggun, damai, dan tenang. Padahal hitungan dua tahun yang lalu gunung itu membunuh ratusan nyawa penduduk yang tinggal dilerengnya. Gunung yang satu itu memang memiliki kebiasaan rutin menyemburkan lava pijar, kemudian menjadi tenang untuk beberapa tahun dan bergolak lagi ditahun yang keempat. Biasanya seperti itu.
Angin pagi gunung Limohan melewati tubuh Raung. Berlalu dalam tenang dan meninggalkan dingin. Rambutnya berkibar kesana-kemari. Raung malah menikmatinya. Basah dan dinginnya angin gunung bagi Raung merupakan kenikmatan yang tiada duanya. Dia selalu mencari saat-saat seperti ini.
Ditariknya nafas dalam-dalam, dimasukkannya seluruh udara hingga kantung paru-parunya penuh. Kemudian dikeluarkannya udara dingin itu secara perlahan. Hingga habis dan ia menarik kembali udara segar yang tak terhingga. Aih. Inilah kenikmatan paling besar dalam hidupnya. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Raung masih duduk ditempatnya. Dia sedang berada di ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut. Ini ketigabelas kalinya Raung naik gunung, dan ini adalah keempat kalinya dia berada di gunung ini, Gunung Limohan. Di setiap pendakian, dia tidak pernah berambisi menaklukkan puncak. Yang dia rindukan hanyalah kesejukan dan kemagisan angin gunung yang tidak dia temukan di belantara kota Pararaton.
Kesejukan yang membuai. Membuat Raung matanya jadi riyip-riyip. Dia masih bersila, tapi kesadarannya mulai menghilang. Dia terlalu menikmati kesejukan ini dan hampir saja ia tertidur dibuai angin pagi gunung Limohan. Suara dari kejauhan yang memanggil namanya membuat Raung kembali ke dunia nyata.

Salak. Pendakian Kedua

|

Gunung Bunder, Selasa 31 Mei 2016

Secangkir kopi, pagi hari, dan hawa dingin. Tiga kesatuan yang membuat siapapun terlena, mager, dan ujung-ujungnya baper. Apalagi ditambah rokok yang kemebhul, gorengan hangat, dan suara gemericik air. Dijamin, seharian nggak bakal keluar tenda.

Seperti pagi ini, aku (sekali lagi) menikmati semua itu (kecuali rokok yang kemebhul) di kawasan Gunung Bunder, lereng Gunung Salak. Masih pukul 6 pagi, dinginnya udara di 1016 mdpl sebenarnya tidak terlalu menggigit. Hanya saja karena kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini sangat lembab dan basah, maka suasana anyep begitu terasa.
Pagi ini aku ngopi di sebuah mushola-panggung disamping basecamp. Semalam kami bertujuh menginap di mushola yang terbuat dari kayu ini. Kemal sejak tadi sudah sibuk packing, memasukkan dan mengeluarkan sesuatu dari dalam carriernya. Akhirnya selesai juga. 

"Yaudah, gue duluan ya Gin" Katanya.
"Lo tau jalan sampai Depok kan Mal?" 
"Hp gue baterainya udah penuh, santai aja. Ntar ngikutin plang ijo paling juga sampai." 
"Sarapan dulu lah atau ngopi. Itu temen-temen udah buatin sarapan buat lo"
"Ntar keburu macet Gin"
"Yaudah" Jawabku singkat.

Aku kemudian mengantarnya sampai parkiran. 
"Oke Mal. Thanks yak. Ntar kalo ke Jogja bilang aja. Gue anterin ke Merbabu, Merapi, atau terserah lo mau kemana. Ati-ati dijalan"
Dia lalu menstarter motornya dan berlalu. Aku kembali ke mushola 

Aku kemudian sarapan bersama, packing dan bersiap-siap. Aku dan 5 temanku dari PLP akan naik Salak. Aku akan naik gunung ini sekali lagi!

Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback