MARET

|
Pagi. Maret baru sepertiga jalan. Kota Pararaton masih dalam dekapan musim penghujan. Tidak siang tidak juga malam, hujan mengguyur seperti tak kenal waktu. Membuat si pemalas makin jadi malas untuk keluar rumah dan si tukang tidur semakin lelap dibuai suara rintik hujan.

Bagi mereka yang lebih rajin, atau karena keterpaksaan harus beraktivitas diluar rumah pasti merasakan ketidaknyamanan akibat cuaca buruk ini. Disana-sini becek. Saluran air meluap, meski tak membuat banjir namun kemacetan kecil seringkali terjadi. Orang-orang mengumpat. Tidak sabaran karena jalannya terhambat. Polisi lalu lintas ogah-ogahan mengatur pengendara. Bagaimana tidak, terlalu timpang bagi seorang dua orang polisi mengatur jalannya ribuan kendaraan. Apalagi saat pagi hari hujan macam ini, lebih enak juga ngopi di kantor sambil nonton berita di layar kaca.

Di sisi yang lain jalan, puluhan pejalan kaki mengibarkan payung-payung berusaha melindungi tubuh-tubuh mereka dari dinginnya air hujan. Terkisah diantara para pejalan kaki itu pemuda bernama Guntur. Dia selalu semangat, seperti kebanyakan pemuda yang menuntut ilmu di kota ini. Meski diterpa hujan sekalipun Guntur tak pernah bolos berangkat ke kampus. Dia lumayan rajin untuk hal ini.

Guntur pagi ini hanya ada satu mata kuliah. Lepas itu dia akan menemui kekasihnya, Azalea. Menghabiskan waktu selama hujan dan menunggui reda bersama kekasih. Apa hal yang lebih baik daripada itu?

Maka Guntur saat ini berada dalam jamaah pejalan kaki yang mengibarkan payung. Ia berjalan santai dan mengenakan payung hitam menuju sebuah kafe yang telah dijanjikan Azalea. Ia tahu betul kafe itu. Mereka sering menghabiskan waktu bersama disana.

Tidak jauh, hanya perlu berjalan kaki 15 menit dari kampus untuk menuju kafe yang dimaksud. Selama perjalanan itu Guntur membayangkan wajah Azalea yang dikaguminya. Azalea yang memiliki paras sempurna. Azalea yang selalu ceria. Yang senyumnya bahkan mampu membuat detak jantung Guntur berlari tak karuan.

Mereka memang sudah pacaran. Hampir 3 bulan mereka jadian. Hari jadi mereka ditandai dengan rinai hujan rintik saat mereka menunggu terang di kafe yang sama. Suasananya hampir sama seperti pagi ini.

Hal itulah yang membuat Guntur selalu semangat menjalani hari-harinya. Begitu pula pagi ini. Dia riang sekali seolah-olah tak memiliki beban, meski tanggungan paper 10 lembar dari dosen belum selesai dan waktu pengumpulannya tinggal besok. Tapi peduli amat, yang penting Guntur bisa bertemu Azalea, itu lebih dari segalanya.

Guntur memang sangat menyayangi Azalea. Hidupnya bebrapa bulan ini mungkin hanya dihabiskan untuk Azalea. Dia tak pernah sekalipun menolak permintaan Azalea. Dia tak pernah berkata “tidak” pada Azalea. Guntur bersedia memberi segalanya pada Azalea. Guntur sangat tergila-gila pada Azalea.

Sampailah dia didepan kafe. Terlihat kekasihnya sudah menunggu di sudut kafe dekat jendela, tempat terbaik menunggui hujan reda. Guntur meletakkan payung hitamnya di tempat payung di depan kafe itu, mengibas-ngibaskan pakaiannya dari kebas air hujan. Dan melangkah dengan tenang menuju tempat Azalea menunggu.


Guntur tak pernah tahu bahwa hari ini akan menjadi hari paling emosional dalam hidupnya. Hari yang membuat masa depan Guntur sama sekali berubah dan membuat Guntur menjadi sangat terhenyak. Hari yang bakalan menjadi awal dari segala kisah ini.

“Pagi Za..” Guntur membuat senyum sesimpul kepada Azalea, setelah ia sampai di bangku depan Azalea

“Pagi Tur.” Azalea mengukir senyum singkat menjawab sapaan Guntur. Ia berdiri dan mempersilakan Guntur duduk.

Senyum yang selalu membuat Guntur kikuk dan salah tingkah. Namun kali ini Guntur mampu mengendalikan dirinya dan duduk dengan santai di depan Azalea.

‘Diatas meja belum terhidang apapun, berarti baru saja Azalea menunggu, belum lama.’ Guntur membatin.

“Sudah lama menunggu Za?” Guntur bertanya lagi, memastikan.

“Belum Tur. Baru 5 menit yang lalu.”

“Tadi kita nggak sekelas ya.” Guntur melanjutkan basa-basi.

Azalea tidak menjawab. Mukanya menjadi sendu. Tangannya mempermainkan tisu yang ada di depannya. Melipatnya menjadi sangat kecil, kemudian dibukanya lagi lipatan itu.

‘Sesuatu sedang terjadi pada Azalea’ Batin Guntur.

“Kamu mau cerita Za?” 

Azalea masih terdiam. Seperti ada beban pikiran yang sulit sekali untuk diucapkan.

Azalea menarik napas panjang, kemudian membuangnya. Pandangannya bergeser, memandangi hujan yang hampir reda diluar kafe. Kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Azalea.

“Aku pesan makanan ya. Kamu pasti belum sarapan”

“Aku nggak makan Tur. Kamu aja. Pesankan saja air putih buatku”

“Baiklah.” Guntur menjadi bingung karena kekasihnya hari ini sangat berbeda dari biasanya yang selalu ceria. Tapi Guntur akan dengan sabar mendengarkan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan kekasih pujaannya itu.

Lama mereka terdiam. Sampai pesanan datangpun mereka masih dalam diam. Guntur tak mencoba bertanya. Dia lebih memilih menunggu.


Lama Azalea seperti akan mengucap sesuatu. Tapi seolah kata tercekat. Berkali-kali.

“Guntur..” Akhirnya sepatah kata keluar dari mulut Azalea. Pelan, hampir tidak terdengar. Namun mimik Azalea serius kali ini.

Guntur memandang lekat Azalea. Menunggu kelanjutan perkataan tadi.


Azalea berpikir lagi. Menahan ucapannya seolah-olah memilah kata yang paling sesuai yang akan dia ungkapkan. Azalea menenggak air beberapa teguk.

“Tur, Aku rasa kita tidak dapat lagi melanjutkan hubungan kita” Terhenti disitu.

Azalea langsung melanjutkan. “Kamu bukan seorang yang aku harapkan selama ini. Aku ingin menyelesaikan hubungan kita saat ini.”

Tegas, lugas dan langsung. Azalea akhirnya menyudahi perkataannya.

Tinggallah Guntur didepannya yang terhenyak. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sangat. Seperti tak percaya dengan apa yang diucapkan Azalea beberapa detik lalu. Dia tidak menduga sama sekali sambutan pertama yang diterimanya.

“Maksudnya apa Za? Kita? kamu putusin aku? Bisa disederhanakan atau diulangi lagi ucapanmu barusan? Eh, aku nggak ngerti. Kok tiba-tiba gini” Masih terkejut Guntur meminta kepastian. Tapi kata-katanya jadi kacau tak beraturan.

 Azalea hanya terdiam. Menurutnya perkataan tadi sudah cukup jelas. Tidak perlu untuk diulangi.

“Za.. Kasih aku alasan. Nggak ngerti aku sama perkataanmu tadi. Kamu jangan tiba-tiba gitu dong.” Guntur masih tidak percaya. Diapun tidak terima.

Azalea menarik napas. Mengatur kata dalam pikirannya. Dia sudah jauh hari menyiapkan jawaban untuk hal ini. “Tur. Kita udah tiga bulan jalan bareng. Kamu memang baik. Terlalu baik memang. Tapi bukan itu yang aku inginkan. Aku membutuhkan tidak hanya kebaikan dari kamu. Aku membutuhkan seseorang yang tegas, yang mampu menjadi panutanku, yang mengingatkan aku kalau aku salah.”

Azalea melanjutkan. “Itu tidak kutemui pada dirimu. Selama tiga bulan ini kamu hanya menuruti saja semua yang aku minta. Kamu selalu berkata iya pada setiap hal yang aku inginkan. Padahal tidak semua yang aku minta itu adalah baik dan benar. Terkadang aku juga salah Tur. Tapi kenapa kamu hanya menuruti. Kamu harusnya sekali-kali menolak atau berkata tidak atas perbuatan yang tidak sesuai. Kamu itu laki-laki. Kamu harus dewasa. Kamu harus tegas. Kalau aku salah kamu harus mengingatkanku.”

Guntur terhenyak mendengar penjelasan Azalea. “Kenapa kamu juga tidak bilang dari dulu-dulu Za. Kalau kamu menginginkan hal itu kenapa tidak dibicarakan? Jangan langsung memutuskan seperti itu Za”

Azalea membalas. “Aku sudah berkali-kali mengingatkanmu Tur. Ini bukan kali pertama aku bicara mengenai ketidaktegasanmu. Dari dulu aku bilang bahwa kamu harus mengingatkan aku kalau aku salah. Kamu harus berani berkata tidak. Ah. Tapi kamu tetap saja tidak berubah.”

Ia melanjutkan “Aku sudah berumur 20 tahun Tur. Bukan waktunya untuk hanya bermain-main dengan perasaan. Kalau aku pacaran, aku juga membayangkan masa depan. Kalau kita menikah, berumah tangga. Aku membayangkan semua itu. Dan dalam bayanganku, kalau kamu hanya berkata iya pada istrimu, kamu tidak memiliki ketegasan untuk menolak, macam mana rumah tangga itu?”

Azalea menarik napas, kemudian melanjutkan “Lelaki itu teguh, bukan seorang yang hanya nurut sama istri. Memang tidak boleh suami menyakiti hati istrinya, tapi suami wajib mengingatkan istri kalau salah dalam perkataan atau perbuatan. Dan semua hal mengenai ketegasan, kedewasaan, dan kewibawaan lelaki tidak kutemui pada dirimu Tur.”

Guntur menyadari hal itu. Tapi tetap saja dia masih tidak percaya. Azalea yang bagi Guntur adalah ‘segala-galanya’ pagi ini menginginkan putus. Guntur sangat terhenyak, tidak karuan perasaannya. Terkoyak-koyak hatinya. Perlahan air mata Guntur jatuh. Mukanya memerah. Dia menangis atas semua ucapan Azalea. Tangisnya tersedu. Benar-benar Guntur belum bisa akan kehilangan Azalea.

Ya. Guntur menangis berurai air mata di pojok kafe itu.

Dalam sedunya Guntur susah payah berujar, “Za.. kasih aku setidaknya satu kali lagi kesempatan. Untuk berubah. Untuk menjadi dewasa. Untuk menjadi tegas. Untuk menjadi yang kamu inginkan. Aku begitu menyayangimu Za. Aku tidak mau kamu pergi” Guntur menatap wajah Azalea, sangat lekat.

Muka merah dan air mata yang terurai justru membuat Azalea semakin ingin meninggalkan Guntur sesegera. Lelaki didepannya itu baginya sangat cengeng, hatinya lembek. Sama sekali bukan tipe lelaki yang diidamkan Azalea.

“Aku tidak bisa Tur. Sudah berapa kali aku kasih kamu kesempatan. Dan saat inipun kamu menunjukkan watakmu. Kamu malah menangis tersedu seperti itu. Kayak anak kecil. Kamu nggak gentle.”

 Azalea segera melanjutkan, “Sudahlah. Aku mau pulang Tur. Kamu harus bisa menerima ini. Aku minta maaf atas salahku selama tiga bulan ini. Terima kasih juga sudah jadi orang yang paling peduli, yang banyak memberi, menemani, dan menghiburku selama waktu itu.”

Azalea beranjak meninggalkan bangkunya. Melangkah ke kasir dan menyerahkan beberapa lembar uang tanpa meminta kembalian. Di belakang Guntur masih terduduk merenungi nasibnya. Ia masih saja duduk di bangku di pojokan kafe itu. Pikirannya kacau. Perasaannya terkoyak-koyak.

Di luar hujan kembali turun. Semakin deras kali ini.

Deg. Guntur kemudian sadar kekasihnya telah pergi. Ia langsung beranjak dari bangkunya. Saat itu juga dia berlari mengejar Azalea. Ia berlari meninggalkan kafe. Menengok kanan-kiri, mencari kemana Azalea pergi. Guntur lupa pada payung yang tadi dibawanya. Dia kehujanan. Dia berlari dibawah hujan mengejar kekasihnya.

Di kejauhan Azalea membuka pintu taksi dan memasukinya kemudian meninggalkan Guntur yang patah hati kehujanan di trotoar depan kafe. Azalea mencoba tidak peduli. Tidak menoleh atau berbalik barang sekalipun. Dia sudah yakin akan pilihannya.

Tapi meski mencoba tidak peduli, didalam kendaraan yang ditumpanginya itu akhirnya tumpah airmata Azalea. Dia merasa kasihan melihat ‘mantan’ kekasihnya tidak bisa menerima keputusan yang telah dibuatnya. Apalagi berhujan-hujan seperti itu. Azalea, sebagai perempuan hatinya juga ikut bersedih. Tidak tega sebenarnya dia. Entah, campur aduk juga perasaan Azalea saat ini.

Namun satu hal yang pasti. Demi kebaikan dirinya dan juga Guntur, Azalea sangat yakin dan mantap pada pilihannya. Memutuskan hubungan mereka.

Azalea menghapus airmatanya.

Sementara dibawah derai hujan, Guntur masih terpaku di trotoar. Membiarkan seluruh tubuhnya dibasahi air hujan. Mukanya lusuh. Matanya memerah. Sedannya masih juga belum usai. Air matanya tercampur air hujan.

Guntur tidak menyangka, kekasihnya tiba-tiba memutuskan hubungan mereka sepihak. Guntur sangat menyayangi Azalea. Guntur masih belum bisa menerima kenyataan, ia harus berpisah dengan orang yang paling dia cintai, paling dia sayangi, paling dia pedulikan.

 Goyah, akhirnya Guntur berjalan meninggalkan trotoar itu. Hujan semakin deras. Guntur tidak peduli. Dia hanya berjalan saja. Pakaiannya, badannya sudah kuyup dengan air. Dia tidak peduli. Orang-orang disepanjang trotoar melihatnya, memperhatikan perilaku aneh Guntur. Dia lebih tidak peduli. Nelangsa sekali dia.

Guntur akhirnya sampai di atas atap asramanya. Diatas lantai 6. Di atap ini dia biasanya merenung, galau, dan menyendiri ketika dia bermasalah. Di atas atap ini, disamping tandon-tandon air dia membiarkan dirinya sekali lagi dijatuhi ribuan tetes air hujan. Pikirannya kacau. Sangat kacau.

Dia mendekati ujung pagar atap sebelah timur. Dia memanjat pagar itu. Dilihatnya kebawah, belasan meter dibawah sana adalah jalanan dengan aspal kasar. Pikiran sehatnya tidak lagi bekerja. Ribuan setan membisiki telinganya untuk melompat dari pagar itu. Apa guna hidup, jika orang yang paling dipedulikan telah meninggalkan begitu saja.

Guntur memilih menuruti nasihat para setan. Guntur mengangkat kaki, berdiri diatas pagar itu. Merentangkan tangannya. Di atas langit guntur menggelegar. Menyalak berkali-kali bersama jilatan petir, menyaksikan perbuatan bodoh Guntur.
Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback