Sebelum Lupa

|

Pada sebagian tulisan aku membawakan perjalanan-perjalananku dalam suatu kisah epik. Pada sebagian lainnya aku membawakan puisi-puisi dalam nuansa kelabu. Sebagian tulisan tidak ada motif, sebagian lainnya sengaja kubuat agar kau terkesan.

Lalu kemudian aku merasa tidak perlu menulis lagi. Mungkin terlalu datar hidupku belakangan ini. Tidak ada gejolak yang layak untuk diceritakan. Juga tidak ada niatan untuk membuatmu terkesan (lagi).

Bahwasanya hidupnya tulisanku juga dipengaruhi oleh pujian darimu, aku merasakan kehambaran tanpa adanya kunjungan darimu. Seakan menjadi berbeda ketika ruh dalam tulisan tidak kubuat dengan membayangkan sesuatu atau seseorang di benakku. Karena tulisan akan mengalir penuh rasa dan lebih bersenyawa ketika kau hadir sebagai inspirasi.

Seperti eksistensimu di pertemuan Jakarta. Meski hanya sekejap, memoriku tentangmu yang terendap bertahun-tahun berhamburan menjadi suatu inspirasi yang membanjir lalu kukumpulkan setiap kepingnya di bandara kala itu. Kuabadikan menjadi suatu tulisan yang istimewa.

Mungkinkah itu puncaknya?
Karena segera setelah itu tinta mengering. Terbesit di pikir ini cuma memoar sandiyaloka. Sudah saatnya media katarsisku dibersihkan. Deletion. Menjadi nol dan aku ingin pulang.

Lalu aku kembali pada ketinggian tanpa membuat catatan. Tanpa angan tentangmu dan hanya berjalan saja bersama bingkisan-bingkisan realitas. Menikmati lintang tanpa perlu mengurainya dalam bahasa mendayu-dayu. Meski sunyi serupa badai, meski akan terkoyak sendirian, kesadaran penuh luka tidaklah buta. Aku dan pegunungan ini tetap ada sementara kamu hanya metafora.

Seperti sepagi ini di bulan Oktober aku terbangun di Kersik Tuo. Tanpa ada bayang-bayangmu yang mengganggu semalam. Senyatanya Kerinci di hamparanku senyata itu pula aku saat ini.

Hingga seseduh gelas teh Kayu Aro tetiba memberi inspirasi. Sialnya, seperti ada hutang satu dua kata yang berkeliaran. Terserak di hutan hujan, di danau gunung tujuh, dan di puncak Sumatra. Kulihat petani daun teh dan petani sayur-mayur. Kedamaian manusia untuk menyelami jagat raya. Ah, serupa narasi yang diceritakan kakekku dulu.

Maka pada kealpaan waktu ini aku meralat kata-kata. Aku ingin menulis lagi. Sandiyaloka bukan hanya tentangmu. Ia adalah penghayatan semesta.




Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback