APRIL

|
Raung duduk bersila diatas sebuah batu. Memandang sabana luas menghijau yang ada puluhan meter dibawahnya. Rerumputan padang sabana itu tertata rapi, seolah tiap hari disiangi, dirawat, dipupuk. Terlihat indah seumpama permadani, eksotis namun alami. Puluhan, ratusan pohon edelwais menghiasi hijau sabana dengan bentol-bentol warna putih. Sedang mekar rupanya kembang keabadian itu. 

Jauh di seberang sabana itu, awan putih memenuhi selimut langit yang semula berwarna biru. Membungkus sabana hijau dengan garis batas yang amat jelas. Bentuknya magis, seolah-olah kapas raksasa sengaja ditebar petani randu.
Berjalan pelan awan-awan itu mengantarkan bibit-bibit hujan ke saentero kota. Kemudian setelah terlalu berat bebannya, ia akan menjatuhkan titik-titik air. Memenuhi sungai, ladang padi, hutan, bendungan. Kemudian berjalan ke lautan lepas dan menguap lagi menjadi awan. Siklus keagungan Tuhan yang diperuntukkan bagi mereka yang berpikir.   
Di balik awan putih itu, sekitar 50 kilo jauhnya dari tempat Raung duduk saat ini terlihat puncak gunung paling aktif di dunia. Hanya puncaknya saja yang terlihat, sementara sebagian besar badannya tertutup selimut awan. Terlihat anggun, damai, dan tenang. Padahal hitungan dua tahun yang lalu gunung itu membunuh ratusan nyawa penduduk yang tinggal dilerengnya. Gunung yang satu itu memang memiliki kebiasaan rutin menyemburkan lava pijar, kemudian menjadi tenang untuk beberapa tahun dan bergolak lagi ditahun yang keempat. Biasanya seperti itu.
Angin pagi gunung Limohan melewati tubuh Raung. Berlalu dalam tenang dan meninggalkan dingin. Rambutnya berkibar kesana-kemari. Raung malah menikmatinya. Basah dan dinginnya angin gunung bagi Raung merupakan kenikmatan yang tiada duanya. Dia selalu mencari saat-saat seperti ini.
Ditariknya nafas dalam-dalam, dimasukkannya seluruh udara hingga kantung paru-parunya penuh. Kemudian dikeluarkannya udara dingin itu secara perlahan. Hingga habis dan ia menarik kembali udara segar yang tak terhingga. Aih. Inilah kenikmatan paling besar dalam hidupnya. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Raung masih duduk ditempatnya. Dia sedang berada di ketinggian 3000 meter diatas permukaan laut. Ini ketigabelas kalinya Raung naik gunung, dan ini adalah keempat kalinya dia berada di gunung ini, Gunung Limohan. Di setiap pendakian, dia tidak pernah berambisi menaklukkan puncak. Yang dia rindukan hanyalah kesejukan dan kemagisan angin gunung yang tidak dia temukan di belantara kota Pararaton.
Kesejukan yang membuai. Membuat Raung matanya jadi riyip-riyip. Dia masih bersila, tapi kesadarannya mulai menghilang. Dia terlalu menikmati kesejukan ini dan hampir saja ia tertidur dibuai angin pagi gunung Limohan. Suara dari kejauhan yang memanggil namanya membuat Raung kembali ke dunia nyata.

“Raung. Kamu ngapain diatas sana?” teriak suara itu.
Rupanya Sakura yang memanggil Raung. Dia adalah salah-satu dari 13 peserta pendakian gunung Limohan kali ini. Dia satu kelompok dengan Raung sejak berangkat kemarin siang sampai saat muncak dini hari tadi.
Raung menolehkan pandangannya kebelakang agak kebawah. Dilihatnya Sakura diluar tenda memandangi dirinya. Raung berteriak. “Sakura, kemarilah. Pemandangan dari atas sini sangat bagus”
Yang diajak jadi penasaran. Tanpa pikir panjang Sakura kemudian berlari kecil mendaki bukit sabana didepannya. Menjumpai Raung dengan napas ngos-ngosan karena naik bukit sambil lari. Dia kemudian duduk disamping Raung.
Benar saja sesaat kemudian Sakura langsung meminta Raung memfoto dirinya dengan latar belakang padang sabana yang dibungkus awan itu. Sakura sangat kagum. Keindahan alam gunung Limohan membuatnya terpesona.
Perempuan ceria itu langsung bergaya didepan kamera. Sementara Raung yang jadi fotografer hanya bingung campur salah tingkah melihat Sakura bergaya macam-macam di depannya.
“Serasi!” Tanpa sadar Raung mengucap sebuah kata.
Sakura yang mendengar ucapan Raung balik bertanya. “Maksudnya?”
“Eeh... Maksudku serasi. Antara kamu dan pemandangan dibelakangmu. Sama-sama indah. Sama-sama menyenangkan untuk dilihat. Hehe.” Aih.. Raung jadi makin salah tingkah setelah berucap hal itu.
Sakura tidak menanggapi. Dia malah mengajak Raung selfie berdua. Mampuslah Raung. Salah tingkahnya jadi sangat kentara didepan kamera. Raung mati gaya.
Mengetahui hal itu, Sakura malah tertawa. “Posemu aneh sekali Raung. Hahaha”
Raung hanya diam. Tersenyum kecut. Dia kembali duduk bersila, bertapa diatas batu. Sakura mengikuti gaya Raung.

Sakura..
Raung sudah mengenalnya sejak dia pertama kali kuliah di kota Pararaton. Selama dua tahun Raung hanya sebatas mengenal. Tahu nama, asal daerah dan organisasi yang diikuti. Hanya itu. Raung sama sekali tidak pernah berteman dekat dengan Sakura. Hanya sekali dua kali mereka bertegur sapa kalau bertemu di kantin atau di jalan. Perbedaan gaya hidup dan pergaulan membuat mereka tidak bisa dekat. Raung orangnya gembel. Mahasiswa miskin. Malas kuliah. Lebih memilih naik gunung ketimbang jalan ke mall. Sementara Sakura berasal dari keluarga berada, membuat dia bergaul dengan sosialita. Hidup dalam kemewahan.
Raung dan Sakura bisa dikatakan baru saling kenal kemarin siang saat dari basecamp mereka bersama dalam satu tim. Raung menjadi leader tim terdepan karena dia sudah pernah naik gunung Limohan ini sebelumnya. Di tim terdepan Raung dikelompokkan oleh ketua operasional bersama Sakura dan tiga orang lainnya. Ketua operasional memang sengaja mengelompokkan orang-orang yang kalau di kampus nggak dekat sehingga harapannya ada dinamika yang muncul selama pendakian.
Benar saja. Dalam sekejap Raung menjadi dekat dengan Sakura. Awalnya agak canggung memang. Tapi setelah mereka saling bercerita beberapa patah kata mengiringi langkah kaki mendaki gunung, ternyata mereka memiliki beberapa kesamaan. Selain itu selama pendakian Raung memiliki kebiasaan peduli terhadap temannya, apalagi perempuan. Hal ini membuat Sakura merasa semakin nyaman dan aman berada bersama dengan Raung. 
“Aku nggak nyangka. Ternyata kamu nggak se-cool dan sesombong yang aku kira.” Ujar Sakura sore kemarin saat mereka sampai di pos 3.
 “Benarkah?” Raung menyelidik.
“Iya. Aku awalnya males banget sekelompok sama kamu. Kan aku tahu kalau di kampus kamu orangnya bermuka dingin, sombong. Ish. Pokoknya nggak banget deh.”
“Terus..” Raung ingin mendengar kelanjutan perkataan Sakura. Dia menebar secuil senyum didepan Sakura.
“Ya ternyata kamu orangnya asyik. Lumayan baik juga.”
Wajar bagi Raung ada seseorang seperti Sakura mengatakan hal tersebut. Ini bukan kali pertama Raung mendengar pengakuan seperti yang dikatakan Sakura barusan. Sebelumnya di gunung Slamet ungkapan yang sama pernah terujar dari adik kelasnya.
Selama di kampus Raung memang selalu menampilkan persona dirinya sebagai seorang yang judes, males kuliah, sombong, dan sok keren. Raung memang dari awal nggak niat kuliah di jurusan yang ditempuhnya saat ini. Dia dari awal inginnya kuliah di sastra. Dia sejak SMA terpikat dengan puisi-puisi Kahlil Gibran, Gulistan-nya Saadi Shirazi, Anna Karenina-nya Leo Tolstoy, Binatang Jalang-Aku-nya Chairil Anwar, juga sastra-kemanusiaan Tetralogi Burunya Pram.
Ketidaksesuaian adalah aksi. Maka sebagai reaksinya dia menampilkan wujud antagonis penuh kepalsuan dan hanya menampilkan wujud aslinya saat dia berada di tempat yang paling dia sukai. Apalagi kalau bukan gunung. Hanya beberapa anak mapala di kampusnya yang tahu sifat Raung yang sebenarnya.
“.. kok malah melamun.” Kata Sakura. Membuyarkan lamunan Raung.
Raung tersadar. Menoleh ke samping kanannya. Sakura menatap Raung. Raung tergagap, jantungnya berpacu tak karuan.
Oh. Gadis disamping Raung ini memiliki pesona luar biasa. Kecantikannya menyerupai bidadari dalam dongeng-dongeng. Wajahnya putih bersih, senyumnya, bibir tipisnya, mata yang bergemuh cerah, hidungnya. Seolah-olah Tuhan menciptakan dia dengan penuh ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan tingkat tinggi sehingga kesempurnaan adalah kata paling tepat untuk menggambarkan Sakura.
Raung untuk sejenak tercekat. Baru berucap seberapa detik kemudian. “Aku tidak sedang melamun, Sakura. Aku menikmati kesejukan angin pagi ini. Menikmati pemandangan sabana yang menghijau, awan yang putih, dan langit biru. Lihatlah saksama. Perpaduan warnanya sangat elok. Serasi. Ini yang selalu aku nanti setiap aku melakukan pendakian.”
Dia melanjutkan “Kamu baru kali ini naik gunung Sa?”
“Iya Raung. Ini pertama kalinya. Dan aku juga baru tahu. Ternyata gunung memang menyimpan banyak keindahan. Aku jadi pengen naik lagi.”
“Nanti aku ajak kamu naik gunung yang lebih bagus kalau kamu mau.” Raung menawarkan.
Sakura yang duduk disampingnya menoleh. Matanya berbinar. “Seriusan. Kamu nggak kapok nih? Kan aku lelet abis. Mana sering capek. Suka berhenti-berhenti... hahaha”
Raung menjawab. “Kamu dari kemarin sampai pagi tadi itu termasuk jago untuk ukuran cewek, apalagi yang baru pertama kali naik”
“Hahaha... menghibur abis nih. 10 menit pertama aku kayak mau mati..”
“10 menit pertama wajar kali. Belum ketemu ritme napas yang sesuai.”
“Mungkin gitu sih. Tapi emang seru lho”
“Iyalah seru. Saking serunya makanya aku tiap bulan pasti naik gunung.”
“Tiap bulan?” Sakura agak heran.
“Iya..Haha. Bagiku gunung itu tempat yang paling sempurna buat menyendiri, ruang katarsis, tempat berpikir, bertapa, berpuisi, bersenandung. Apapun. Ah, aku sering jenuh di kota. Kadang lagi banyak pikiran, dilema antara dua atau lebih pilihan-pilihan rumit. Aku menyepi diatas bebatuan, bertapa, respatining pandhikan, pangrungu, dan merenungi pilihan-pilihan itu, sisi positif negatifnya, untung dan ruginya. Dan biasanya setelah turun gunung aku seperti mendapat pencerahan.”
Sakura mengernyit. Agak aneh sepertinya perkataan Raung barusan.
“Ooh gitu.. Haha.. Kamu unik deh.” 
Raung balas tertawa.
Untuk sejenak mereka terdiam. Desir angin melewati tubuh mereka. Sakura merapatkan jaketnya. Kedinginan.

“Raung. Kamu di kampus kok misterius banget sih. Kamu itu invisible banget deh. Kalau kita nggak naik gunung bareng, aku bener-bener nggak notice kita ada yang sekelas.” Sakura mengalihkan topik pembicaraan.
Raung melirik Sakura. Mengira-ngira kemana dia akan mengarahkan pembicaraan.
“Aku harus jawab gimana nih?” Raung balik bertanya. Dia mengeluarkan sebatang tembakau dari saku kemejanya. Menyulut batang 9 cm itu dengan api.
Sakura bereaksi melihat Raung merokok. “Ih.. Jangan merokok lah. Aku nggak suka bau asap rokok!”
“Eh. Maaf Sa.” Raung nggak jadi merokok. Dia mematikannya. Memasukkan kembali batang rokok kedalam kotaknya.
 Raung memberi jawaban. “Dari awal aku emang nggak pengen di jurusan ini Sa. Jadinya ya, cuma formalitas aja kuliahku.”
“Kenapa nggak nyerah aja?”
“Nggak semudah itu Sa.” Raung menjawab sekenanya.
 Sakura masih ingin bertanya jauh sebenarnya. Tapi demi melihat raut wajah Raung yang mendadak berubah judes Sakura memutuskan berhenti bertanya.
“Sini aku fotoin kamu. Kayaknya kamu belum ada foto deh dari kemarin.” Sakura lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.
“Kan barusan udah Sa..” Raut wajah Raung kembali berubah lebih ceria.
“Itu tadi foto selfie. Foto yang kamu sendirian belum ada. Sana kamu berdiri di atas batu. Biar ku foto. Pemandangan sebagus ini sayang kalau nggak diabadikan.”
Raung menyerah. Dia mengikuti saja instruksi Sakura.

Selepas berfoto-foto, Sakura memutuskan untuk turun duluan ke tenda. Beberapa teman dibawah sana terlihat sedang mengemas carrier. Sebentar lagi jam 10. Mereka harus bersiap turun ke basecamp dan kembali ke kota Pararaton.
Dari tempatnya berdiri, Raung memandangi saja punggung tubuh Sakura yang berlari kecil menuruni bukit. Pembicaraan singkat yang belum tuntas barusan membuat Raung jadi semakin penasaran dengan Sakura. Sepertinya dia merasakan ketertarikan pada perempuan itu.
Rupanya Raung menemukan bidadari di gunung ini.

Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback