Salak. Pendakian Pertama

|

"terkadang kita harus mengasing dan pergi" (Arma Setyawan)

Gunung Bunder-Bogor, Minggu 29 Mei 2016
Secangkir kopi, pagi hari, dan hawa dingin. Tiga kesatuan yang membuat siapapun terlena, mager, dan ujung-ujungnya baper. Apalagi ditambah rokok yang kemebhul, gorengan hangat, dan suara gemericik air. Dijamin, seharian nggak bakal keluar tenda.

Seperti pagi ini, aku menikmati semua itu (kecuali rokok yang kemebhul) di kawasan Gunung Bunder, lereng Gunung Salak. Masih pukul 6 pagi, dinginnya udara di 1016 mdpl sebenarnya tidak terlalu menggigit. Hanya saja karena kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini sangat lembab dan basah, maka suasana anyep begitu terasa.

Aku duduk di depan tenda memandangi aliran air dari sebuah sungai kecil, rumput-rumput basah disekitarnya, dilatarbelakangi pepohonan pinus dan punggungan gunung yang menghijau. Bayanganku melayang jauh, sangat jauh ke tahun 2007 atau 2008 saat pertama kali aku kesini.
Saat itu kami sedang menjalani prosesi kenaikan tingkat dan mengambil baret pramuka. Banyak hal yang aku ingat. Perjalanan jauh memanggul ransel dengan isi yang sengaja diperberat, naik turun beberapa bukit (tidak ke puncak Salak), mencebur di kubangan lumpur, berjalan merayap, menyeberang seutas tali dan semua baru berakhir pada siang-jelang sore hari dengan tubuh penuh lumpur serta lintah-lintah nempel di kaki. 
Lalu malamnya hujan deras dan badai menerjang. Semua tenda, semua kelompok basah. Semua orang kedinginan dan kami disuruh berkumpul di sebuah ruang serta disuruh berganti pakaian. Lalu malam itu seember wedang jahe dihidangkan dan dibagi-bagikan ke semua orang. 
Setelah briefing untuk kegiatan esok hari selesai dilakukan kami baru bisa bersantai. Saat itulah kemudian cerita-cerita mengalir. Salah satu guru (sepertinya Pak Ahmad) menceritakan tentang macan tutul yang katanya masih bersemayam diatas sana. Menakut-nakuti kami semua, sengaja betul. Ditambah-tambahi kisah horor yang membuat siapapun berdiri bulu kuduknya.
Malam semakin larut dan kami disuruh tidur. Tapi karena saking sempitnya ruang, kami tiduran dengan saling berhimpitan dan saling menumpangkan kaki. Lalu dini hari kami dibangunkan untuk sholat tahajjud dengan bacaan yang sangat panjang ditengah udara dingin.

Ah, kenangan yang begitu manis menyebalkan. Kenangan yang tidak akan aku lupakan karena saat itu adalah pertama kalinya aku melakukan kegiatan digunung.

Saat itu adalah pertama kalinya aku mendaki gunung.

"Gin, packing yuk. Udah siangan nih." Kemal datang membuyarkan lamunan
"Haha. Gue lagi keinget jaman pramuka dulu Mal" Aku tersadar dari lamunan. Aku kembali lagi ke 2016 dan menyadari bahwa tujuanku kesini bukan untuk mengenang masa lalu.
"Dulu kita kemahnya dimana ya? Trus masjid atau ruangan tempat kita tidur kayak pepes itu di sebelah mana yak?"
"Kagak tau gue Mal. Mana inget! Yuk packing"


Lalu kami packing dan mendatangi basecamp yang berjarak 100 meter dari tempat camp untuk izin melakukan pendakian.
Pukul 8 pagi aku dan Kemal malah di'interogasi' di basecamp oleh pihak TNGHS. Pak Hamid. pria berumur 50 tahunan yang tenang dan memiliki wibawa yang kami hadapi.
Kami ditanyain macem-macem, dijelaskan macem-macem. Bahwa gunung Salak sedang ditutup sampai lebaran. Bahwa pendakian harus menggunakan guide. Bahwa cuaca sedang tidak bagus dan pendakian hanya diizinkan sampai kawasan Kawah Ratu.

Kami bergeming.
Kemarin sore saat kami baru saja sampai basecamp kami sudah diinterogasi oleh kang Daus. Ditakut-takuti, disumpah-sumpahi bakal nyasar. Aku berrgumentasi telah membawa peta dan GPS malah dijawab GPS dan peta tidak menjamin karena ada perubahan-perubahan kontur dan jalur. Dikatakan bahwa pendakian akan memakan waktu sampai 3 hari, ditanyai apakah sudah pernah muncak sebelumnya atau belum.
Sepertinya pembicaraan akan semakin alot, sementara waktu semakin sore menjelang magrib. Aku mencoba melakukan pendekatan personal. Mengobrolkan hal-hal diluar pendakian, membicarakan tentang gunung Salak secara umum. 
Aku bertanya hal-hal yang pasti dia bisa jawab, menumbuhkan kesan aku 'menghormati dan menyegani'nya. Dan berhasil. Obrolan menjadi lebih hangat. Muka yang tidak lagi sinis dan perkataan yang lebih bersahabat. Lalu akhirnya kami disuruh nge-camp di basecamp dan baru diperbolehkan meminta izin lebih lanjut esoknya (pagi ini).

Aku tetap diam saja, tidak membantah, tidak pula mengiyakan. Kubiarkan pak Hamid menjelaskan segalanya sampai tuntas. Aku yakin beliau melakukan itu untuk kebaikan dan demi keselamatan kami juga. Memang telah banyak kasus orang hilang, nyasar, dan mati di gunung Salak. Merupakan tanggungjawab besar dan perasaan bersalah apabila Pak Hamid mengizinkan kami naik lalu dua-tiga hari kemudian menggotong jenazah kami. Mungkin hal-hal seperti itu yang menjadi pertimbangan beliau.

Aku sebenarnya ingin menjelaskan, bahwa kami adalah pendaki yang terdidik. Bukan pendaki kekinian yang hanya tahu naik gunung, muncak, lalu selfie. Kami berbeda. Kami memahami peta, gps, kompas. Kami pernah belajar survival, orientasi medan, dan sebagainya. Kami juga melengkapi diri dengan peralatan yang sesuai standar.

Namun aku memilih diam. Aku rasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk mendebat. Lebih bijak adalah mendengarkan nasihat dan semua perkataan pak Hamid, Abah, dan Kang Daus yang memang tahu betul tentang gunung Salak.
 
Disamping 'hanya' mendengarkan ceramah mereka, sebenarnya di dalam kepalaku telah terpikirkan sebuah solusi terakhir seandainya kami tidak diperkenankan naik lewat Jalur Pasir Reungit-Gunung Bunder ini. Solusi itu adalah nekat naik lewat jalur Curug Nangka, beberapa km dari sini. Aku rasa naik dari jalur tidak resmi malah lebih mudah. Tinggal naik dan turun saja. Sudah jauh-jauh dari Jogja masak nggak jadi naik.
Solusi yang betul-betul egois. Wajar, sebagai anak muda ketika dilarang biasanya memang malah nekat. Itu adalah kodratnya anak muda. Selalu menyukai tantangan, berani mengambil risiko dan tanpa pikir panjang.

Sampai akhirnya...
"Tapi bagaimanapun semuanya kembali lagi kepada kalian berdua. Yang jelas kami sudah melarang pendakian. Tapi kalau tetap memaksakan kehendak silakan... Kami tidak bisa terus-terusan melarang juga. Yang perlu diingat pendakian resmi yang dibolehkan hanya sampai kawasan Kawah Ratu. Kalau nekat keatas kami tidak..." Pak Hamid menggantungkan kalimatnya sambil menggelengkan kepala. Mengartikan bahwa 'bukan tanggung jawab saya kalau ada apa-apa diatas kawasan kawah ratu'.
Kami berdua tersenyum. Pernyataan beliau jelas sekali.
"Baik pak." Hanya itu yang aku jawab. Beliau melanjutkan,
"Jadi mau tetap naik?"
"Iya pak." Kami menjawab bersamaan.

Lalu kami membicarakan biaya perizinan, menulis identitas dan menandatangani beberapa hal. Salah satunya bermaterai.
"Paling telat besok pukul 15.00 sudah harus sampai sini lagi. Toleransi waktunya satu jam." Pak Hamid memberi instruksi tegas

Akhirnya pukul 08.30 kami mulai melakukan pendakian. Cuaca pagi ini begitu cerah.
Hal yang sangat aku sukai dan sangat berbeda dengan gunung-gunung lain di Jawa Tengah-Jawa Timur adalah bahwa di gunung Salak ini sumber air begitu melimpah.
Baru lima menit berjalan kami kemudian menyeberangi sungai. Lalu beberapa menit kemudian lagi-lagi ketemu sungai.
"Subhanallah. Kalau kayak gini mah kehidupan terjamin." Ujarku ketika kami melewati jalan yang kanan-kirinya sungai.
Pukul 09.00 kami sampai di sebuah pos yang dikenal dengan nama Lapangan.
Perjalanan dilanjutkan. Jalanan mendatar, menanjak tidak terlalu terjal. Medan berupa batu-batuan. Tepat di kanan-kiri jalur terdapat sungai yang suaranya begitu ramai, berisik, namun membuat rileks. Sepatu kami sudah basah kuyup sampai dalamnya karena beberapa kali melewati air.
Pukul 10.05 kami berdua sampai di kawasan kawah mati. Terlihat kapur warna putih dimana-mana. Batu-batu seperti ditumpuk sembarangan dan pohon-pohon disekitarnya mati bergelimpangan, sebagian masih berdiri namun hanya batang mati. Setengah jam kemudian akhirnya kami sampai di kawah ratu. Sebuah kawah yang sangat luas. Kapur dimana-mana, asap belerang mengepul dari segala penjuru, sungai di tengah kawah airnya berwarna putih bercampur belerang. Luasnya kawah membuat siapapun kebingungan menentukan kearah mana jalur selanjutnya mengarah.

Aku membuka gps, melakukan orientasi dan menentukan sebuah titik untuk dituju. Dan titik itu menyeberangi dua sungai. Satu sungai kecil dan satu sungai sedang yang airnya putih bercampur belerang. Kami menuju titik itu.
Menyeberang sungai yang banyak batunya adalah perkara mudah, apalagi airnya tidak begitu deras. Maka dalam sekejap kami sudah mencapai titik yang dimaksud. Namun titik itu ternyata hanya sebuah tempat datar kecil tidak ada bukaan jalur dimanapun. Aku terus mengikuti log di gps dan menemukan jalur sempit. Aku mengikuti jalur tersebut dan kembali ke jalur yang lebih besar.
Sial. Tracklognya ternyata malah memutar.
Setelah kembali ke jalur kami hanya tinggal berjalan saja. Jalanan masih mendatar, belum ada tanjakan berarti.
Pukul 11.55 kami sampai di titik yang biasa disebut Helipad. Sebuah tempat datar yang sangat luas menyerupai Helipad. (atau memang pernah difungsikan sebagai Helipad betulan?).
Pukul 12.15 kami sampai di pertigaan Bajuri. Pertemuan antara dua jalur pendakian resmi, Cidahu dan Pasir Reungit.
Disini kami beristirahat beberapa saat sembari mengobrol dengan rombongan lain. Disini juga kami memenuhi kembali botol air yang kosong karena setelah ini tidak ada lagi sumber air.
Orang yang kami temui memberi gambaran jalur pendakian setelah ini.
"Dari sini mulai terjal dan sumber air nggak ada lagi. Nanti juga ada tali. Kalau mau muncak ya 3jam-an lah kira-kira."

Betul. Tidak hanya terjal, kami beberapa kali juga melewati kubangan lumpur yang kalau diinjak bisa sampai betis tenggelam. Kami harus berhati-hati.
Jalanan membosankan. Jalur terjal yang kanan kirinya hanya pepohonan tinggi. Tidak ada pemandangan luas yang bisa kami saksikan. Jalur seperti ini sangat menyiksa, menguras tenaga dan membuat putus asa. Kami beberapa kali istirahat sejenak untuk sekadar mengambil napas kemudian lanjut jalan lagi. Stamina Kemal bagus, ritme napasnya juga bagus. Padahal aku yakin dia jarang olahraga. Paling hanya futsal dan itu mungkin nggak rutin. Kemarin sempat aku marahi karena aku suruh jogging dia nggak jogging. Tapi toh akhirnya dia nggak merepotkan, justru membuatku kesulitan mengikuti kecepatannya.
Dari beberapa teman SMA yang pernah naik gunung bareng rata-rata mereka memiliki stamina, kekuatan, ritme napas, dan ketahanan yang bagus. Aku menyimpulkan karena mungkin dulu kami diwajibkan mengikuti beladiri. Jadi sudah terlatih dan bisa diaplikasikan kapanpun.

Menjelang pukul empat sore gerimis turun dengan intensitas kecil. Namun angin kemudian datang dan membesar menjadi badai. Badai terus-menerus menerjang sampai kami tiba di Puncak Bayangan. Kami memutuskan untuk istirahat dan bermalam di tempat ini.

Kami mendirikan tenda di tempat yang terlindung dari angin. Dari tempat ini puncak gunung Salak sudah terlihat. Tinggal satu jam perjalanan lagi dari sini. Besok akan kami datangi

Tenda sudah berdiri, nasi dan lauk sudah matang. Saatnya makan.
Setelah makan aku membuka handphone dan ternyata masih ada sinyal. Aku menanyai Rofiq tentang plan PLP. 
Plan masih sama, besok pagi (senin) memulai pendakian dari Curug Nangka, sorenya nge-camp di pos 6. Besok lusa (selasa) muncak Salak 2 kemudian nyadel (nyeberang) ke puncak 1, dan 3 hari lagi turun di Pasir Reungit. 
"Fix. Aku nggak akan bertemu dengan mereka." Batinku.

Senin, 30 Mei 2016
"Mal, ayo mal. Bangun. Muncak woi" Aku membangunkan Kemal jam lima pagi habis sholat Subuh.
Yang kubangunin nggak bangun-bangun.
Akhirnya aku malah tidur lagi. Diluar emang dingin.
Jam 8 baru bangun, Niatnya sunrise di puncak tapi ujung-ujungnya ya cuma sepik doang. Magernya nggak ketulungan.
Pukul 8.20 mulai summit. Jalur semakin terjal dan terjal. Perjalanan bukan lagi mendaki namun memanjat. Terdapat beberapa tali di sepanjang jalur pendakian yang bisa digunakan sebagai alat bantu untuk naik.
Akhirnya pukul 09.00 sampai juga di puncak Salak 1. Ketinggian 2211 Mdpl. Aku melaksanakan niatku sholat ghoib untuk alm. Arma di puncak, ditemani Kemal. Setelah itu aku membuat sebuah tanda, mengukir kata menggunakan pecahan keramik makam mbah Salak untuk teman-teman PLP yang kalau sesuai plan, dua hari lagi mereka akan sampai di tempat ini. Aku mengukir kata "FUD PLP 16".

Selesai dua hal itu aku kemudian berfoto-foto dengan Kemal, lantas ngobrol basa-basi sama pendaki lain dan langsung turun. Kami baru bongkar tenda jelang pukul 12 siang. Itu artinya tenggat waktu yang kami miliki maksimal hanya 4 jam untuk sampai basecamp.
Perjalanan dari puncak bayangan ke basecamp tidak segampang yang diperkirakan. Jalur berbatu dan akar-akar pepohonan begitu banyak. Sebagian besar licin dan menyulitkan untuk jalan cepat atau lari. Belum lagi harus melewati beberapa kubangan lumpur.

Satu jam kemudian hujan turun lumayan deras dan kami menggunakan jas hujan. Perjalanan menjadi sedikir lebih lambat. Pukul 14.20 kami sampai di pertigaan Bajuri. Hujan sedikit reda lalu kami melaksanakan sholat Dhuhur-Ashar. Beberapa menit kemudian hujan kembali deras.
Perjalanan dilanjutkan tapi baru lima menit berjalan Kemal mendadak berhenti.
Aku ikut berhenti, memperhatikan seonggok mahkluk tepat ditengah jalan. Seekor ular. Warnanya hitam putih belang-belang, berukuran panjang sekitar 60 cm.
Wah. Berbisa ini. 
Kami menunggu ular tersebut pergi lalu melanjutkan perjalanan. Tidak hanya sekali, kami menemui ular sejenis sekali lagi dan mengulangi ritual 'menunggu ularnya pergi'. 

Kami sampai di Kawah Ratu 15.40. 
Satu halangan lagi menghadang, Sungai didepan kami airnya meluap karena hujan. Alirannya deras dan berbahaya untuk menyeberang. Aku mencari jalan dengan menyusuri ke hulu. Namun semakin keatas belerang semakin tebal dan membuat sesak napas. Aku kembali turun  ke bawah. Kami sempat terjebak hampir 20 menit di tempat ini karena tidak bisa menyeberang. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah lokasi yang terdapat banyak batu. Meskipun tetap saja airnya deras namun itu adalah kemungkinan terbaik untuk saat ini. Kami memberanikan diri menyeberang. Dengan berpegangan pada batu besar serta saling berpegangan akhirnya kami mencapai sisi seberang sungai.

Pada akhirnya kami baru mencapai basecamp pukul 18.30 saat seseorang memanggil kami dari samping basecamp,
"Mas Angin ya"
Aku kaget. Sial. Kami telat lebih dari dua jam. Pasti bakal dimarahin nih...
"Iya pak." Aku berteriak dari atas menjawab panggilan. Aku bergegas berlari mendatangi asal suara.

Dan aku kaget karena yang memanggilku bukan pak Hamid atau Kang Daus atau Abah. Tapi Dika, salah satu dari 5 orang anak PLP yang mau naik gunung Salak. Lalu aku melihat wajah Rofiq dan yang lainnya.

"Laaaah. Kok kalian bisa ada disini?"
Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback