Menuju Salak. A Deep Grief. A Deep Condolences.

|


"Akan ada hari dimana kamu tidak akan lagi bertemu denganku.. Hanya tinggal nama dan kenangan selama kamu mengenalku. Bila kenangan itu buruk tolong maafkan dan ikhlaskanlah. Bila kenangan itu baik simpanlah." 

Jogjakarta, 27 Mei 2016
Ba'da Jumatan aku berjalan menyusuri jalan Humaniora menuju Lembah. Aku baru saja mengambil tenda dari sekret sebagai persiapan terakhirku. Segalanya telah lengkap, aku akan berangkat menuju Bogor dua jam lagi.

Sepanjang perjalanan singkat itu aku berkali-kali terbersit bayangan negatif yang sangat mengganggu. Betul-betul membuatku sangat ragu sekaligus takut untuk berangkat ke Bogor. 
Kiranya apalagi yang akan membuatku membatalkan pendakian ke gunung Salak? Apakah aku akan sakit lagi? Apa aku akan mengalami suatu kecelakaan? Aku membayangkan Jakarta, Stasiun Pasar Senen, lorong, begal, copet, senjata tajam dan darah. Rasanya aku begitu lemah. Apakah aku akan sanggup melawan? Aku juga membayangkan gunung Salak. Misteri, kengerian, lembab, basah, tersesat, dan macan tutul yang diceritakan Pak Ahmad tahun 2007 silam.

'Semua akan baik-baik saja Gin'. Aku mencoba menghibur diri, pikiran negatif itu kubuang jauh-jauh. Aku telah sampai di parkiran Lembah dan satu hal yang pasti harus kulakukan saat ini adalah menyelesaikan packing lalu segera berangkat ke Stasiun. Waktuku tinggal dua jam. Semua akan baik-baik saja.

Nantinya aku akan betul-betul menyesali usahaku menghibur diri dengan mengatakan "semua akan baik-baik saja". 
Terkadang kamu harus mempercayai firasat, perasaan, pertanda. Mereka adalah penghubung antara hati orang-orang yang memiliki ikatan.
Aku memandangi tiketku sekali lagi dan memastikan diri telah duduk ditempat yang semestinya. Gerbong kedua kursi 20A, tepat disamping jendela.
Kereta berangkat.
Aku betul-betul meninggalkan Jogjakarta.

...........
Empat hari sebelumnya.
Angin: kemarin jadi ke gunung Salak Mal?
Kemal: ga jadi Gin. Elu sih gak dateng
Angin: ya sori lagi sakit. Kan gw juga udah bilang ke Iyam kalo gw ga dateng
Kemal: Tapi kayaknya gue tetep naik kesono abis UAS
Angin: Sama siapa?
Kemal: Sendirian
Angin: Ha, serius lo? Salak lho Mal.
Kemal: Haha
Angin: Kalo mau gue temenin dah. Tapi lo subsidi berapa gitu
Kemal: Ayok lah, beneran? transport gue tanggung dah

Pada hari berikutnya (selasa) aku memesan tiket kereta secara online sambil menemani kedua temanku, Arma dan Rofiq latihan presentasi karena hari rabu besok mereka berdua akan sidang skripsi. 
Aku memesan tiket untuk hari jumat, tiga hari lagi. 
Selesai memesan tiket aku mengirim kode booking ke Kemal dan 5 menit kemudian dia mengirim bukti transfer. Temanku, Iyam yang saat itu kebetulan sedang di stasiun aku minta mengeprint tiketku. Oke. Fix. Aku akan ke Bogor dan Insya Allah mendaki gunung Salak akhir pekan ini (setelah sebelumnya gagal karena sakit).


#
Hari rabu sore tim dikjut dari Mapala PLP berangkat menuju Bogor melakukan pengabdian. Aku dan Rofiq turut mengantarkan kepergian mereka.
"Fiq, nggak berangkat hari ini?"
"Aku nyusul besok jumat Gin. Mau nyicil revisian dulu, tadi pagi banyak banget koreksiannya"
"Udah pesen tiket?"
"Belum Gin, naik bis kok. Jadi lebih fleksibel"

"Bro, kamu mau tau nggak?" Aku lalu membuka dompet, mengeluarkan tiket kereta.
"Apaan?"
"Aku mau ke sana juga. Besok jumat berangkat ke Bogor. Tapi kayaknya kita gak bakal ketemu di gunung."
 "Bajiguur.. serius?"  
"Tapi jangan kasih tau ke temen-temen ya. Mungkin aku nanti akan meninggalkan sesuatu di puncak buat kalian. Biar surprise lah"

#
Hari kamis aku baru bisa packing karena selasa-rabu aku menghabiskan dua hari itu bersama Arma dan Rofiq yang sibuk mempersiapkan sidang, lalu melihat sidang mereka dan menemani revisian di perpus sampai rabu malam. Aku sekaligus mencoba menyelesaikan pekerjaanku membuat soal 'tes potensi akademik' yang masih menjadi tanggungan.

...............
Dan akhirnya,
Saat ini aku berada kereta ini, menyaksikan terbenamnya matahari dari jendela. Senja begitu indah, diorama kehidupan pinggir rel bergerak-gerak dari satu tempat ke tempat lain, menyuguhkan pemandangan tepian desa, persawahan, jalan raya, kota, dan banyak lainnya. Lalu gelap perlahan turun dan pemandangan luar mulai temaram. Kaca jendela tidak lagi menyuguhkan pemandangan luar yang semakin menghitam, tapi malah membuatnya merefleksikan bayangan si pemandang. Aku memandangi diriku sendiri di jendela kereta. Lalu bosan.

Aku mengecek handphone dan membalas beberapa pesan. Mencoba berkomunikasi dengan orang yang kukenal saja. Lalu aku membuka Facebook dan membaca postingan teman-dari-temanku    
"Arma semoga kau tenang di alam sana, semoga diterima semua amal ibadahmu, bla bla..."
Sungguh, untuk ukuran bercanda kalimat itu terlalu berlebihan. Kalau tidak bercanda sepertinya tidak mungkin. 2 hari lalu dia masih bersamaku dan Rofiq sampai jelang maghrib ngerjain revisi dan minta di install-in beberapa software di laptop barunya.
Ah, mungkin itu kalimat kiasan. Dia memang kukenal begitu filosofis, mendalami kalimat dari dasarnya, dari sudut yang tidak terpikirkan. 
Mungkin maksudnya "Semoga tenang telah menyelesaikan skripsi dan semoga amalmu, ilmumu bermanfaat." Hanya itu yang aku pikirkan, lalu aku like aja postingan itu.

Aku menonaktifkan handphoneku, membuka beberapa kertas yang mesti aku isi dengan soal-soal. Tugasku yang kemarin belum rampung. Aku mulai membuat butir soal pada subtes sinonim, antonim, penalaran, pemahaman wacana, logika, analitis, dan klasifikasi. Besok lusa akan diujicobakan lalu akan kami analisis apakah soalku-dan soal-soal tim 'pembuat soal' lainnya layak untuk menjadi butir dalam tes tersebut. 
Namun belum ada setengahnya terselesaikan, aku mulai bosan mengerjakan. Mungkin aku lebih suka menyeleksi dan menggugurkan butir soal, memilih mana yang bagus atau tidak daripada membuat soal satu-persatu. 

Aku meninggalkan pekerjaanku dan kembali mengaktifkan handphone.

Lalu semua bergerak begitu cepat. Berita-berita masuk puluhan, ratusan. Beberapa teman menghubungiku secara personal lewat Line, Whatsapp, Fb. Banyak panggilan masuk yang aku lewatkan.
Apa yang terjadi?
Apa yang sebenarnya tengah terjadi?
Aku membaca pesan di grup perlahan-lahan, satu persatu. Berita, kronologi, konfirmasi, lalu klimaks.

Dan air mataku jatuh....
Kuucap kalimat innalilahi wa inna ilaihi raajiun
Aku menangis di tempat dudukku, memandangi jendela kereta dengan pilu.
Apa yang tidak aku percaya dua jam lalu adalah kenyataan yang sebenarnya terjadi. Begitu mengagetkan, begitu tiba-tiba.
Armaa!

Meninggal? 
Bukan perkara hebat kalau tafsirannya hanya meninggalkan untuk jangka waktu hari, minggu, atau bulan. Tapi mengetahui arti sebenarnya bahwa 'selamanya tak akan bisa bertemu lagi' dengannya adalah suatu hal yang sangat amat berat untuk diterima.

Ini serius?

Lalu wajahnya bermunculan di awang-awang, kenangan-kenangan bersamanya berhamburan dalam lamun. Lebih banyak tawa dan canda diantara persahabatan kami. Kenangan manis yang justru begitu nyesek untuk dikenang. Janji-janjiku yang belum sepenuhnya kutepati, rencana-rencananya yang belum sempat terlaksana. Semua terlambat. 

Apa yang terjadi padamu dua hari ini kawan?

Lalu dadaku begitu sesak. Lorong kereta serasa sumpek. Seisi gerbong serasa hanya dipenuhi karbondioksida. Aku beranjak dari tempat dudukku, berjalan ke belakang menuju toilet dan membasuh muka. Aku berdiri di sambungan dua gerbong, memandangi jendela luar yang semuanya hitam. Air mataku kembali mengalir.
Kuucap dzikir, kukirimkan doa untuknya, kumohonkan ampunan. Hanya itu yang dapat aku lakukan.

"Pulang Gin."
"Pulang ya.. Turun dari kereta lalu naik bis." 
Isi sebuah pesan yang dikirimkan seorang sahabat.

Inginku memang seperti itu, tapi tidak mungkin untuk pulang. Sudah terlalu larut dan kereta sudah memasuki Jawa Barat. Sementara jenazah dikebumikan besok pukul 11.00.

sahabat macam apa aku ini, bahkan untuk sekadar melayat-pun tidak datang.
 
Kubalas pesan itu,
 "Aku akan melaksanakan sholat ghoib untuknya nanti di puncak Salak. Insya Allah!"   

Aku kembali ke kursiku. Duduk dan menenangkan diri. Meskipun tetap saja bayangan saat-saat bersamannya menggelayut terus-menerus di awang-awang. Kubiarkan saja. 

Kereta terus melaju ke barat semakin jauh meninggalkan Jogjakarta, semakin jauh dari kuburan sahabatku. Dua jam lagi kereta akan sampai di Stasiun Pasar Senen. Aku harus menghubungi Kemal untuk menjemput.

Pukul 01.00 kereta merapat di Stasiun Senen. Aku sudah ditunggu Kemal, mahasiswa UI kawanku sejak SMP. Dia langsung mengantarku ke Depok. Jalanan Jakarta meskipun lewat tengah malam masih saja ramai namun lancar.
Pukul 02.00 kami sampai di kos Kemal. Aku ceritakan padanya soal kondisiku yang sedang berduka, namun tidak akan mempengaruhi jadwal pendakian. Aku justru akan mendedikasikan pendakian ini untuknya (Arma, kawan yang aku ingat kalau naik gunung selalu nyeker). Aku juga menanyai Kemal soal kesiapannya untuk mendaki Salak. Peralatan, konsumsi, obat-obatan P3K, semuanya sudah lengkap.

Dini hari ini aku meminta untuk ditelpon oleh seseorang yang sangat memahami perasaanku, yang mengerti arti memiliki, dan sama-sama sedang merasa kehilangan seorang yang amat berarti. Kami berbagi cerita dan saling menguatkan.
Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback