Menuju Salak. Preambule

|


Saat waktunya tiba nanti mungkin aku akan mendongengkan pada anak cucuku tentang masa mudaku. Mungkin aku akan menceritakannya dengan penuh semangat yang membara, diselimuti kebanggaan yang tak terelakkan.. Atau mungkin aku akan selipkan dalam sela ceritaku
“ jangan sampai kamu seperti aku”

(Arma Setyawan)

Jogjakarta bulan Mei.
Siapa tak mengenal gunung Salak? Siapa tak mengenang tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi tahun 2012 yang menewaskan seluruh penumpangnya? Siapa tak mengetahui berita-berita pendaki hilang, nyasar, lalu ditemukan tinggal jenazah yang kaku dimakan dingin? Siapa pula tak mengenal kemagisan misteri dunia tak kasat mata yang dikisahkan secara turun-temurun? Atau kisah makhluk halus yang konon sering menyasarkan pendaki?
Gunung setinggi 2211 meter yang terletak di Kabupaten Bogor dan Sukabumi ini begitu sakral dan disakralkan penduduk sekitar. Seperti gunung Slamet di Jawa Tengah, gunung Argopuro di Jawa Timur, atau Gunung Lawu yang digambarkan sebagai kerajaan jin.

Terlepas dari kisah misteri yang kalau dikisahkan bisa beribu-ribu versi, beribu lembar, gunung ini secara fisik memiliki medan yang begitu terjal, memiliki dinding-dinding vertikal, jurang yang dalam, kawah belerang aktif, vegetasi yang sangat lebat karena curah hujan yang sangat tinggi, jalur yang begitu banyak cabangnya, daun-daun berduri, lumpur, lembab, dan berbagai hewan buas seperti ular, monyet, babi, bahkan macan tutul masih ada dan dapat dijumpai.
Bisa disimpulkan bahwa gunung Salak adalah salah satu gunung yang "sangat menyeramkan".

Mungkin karena alasan-alasan tersebut yang membuatku sempat ragu ketika melempar wacana di grup whatsapp ikatan alumni SMA...
 "Kita naik Gunung Salak yuk setelah kumpul alumni".
Namun akhirnya kalimat itu terkirim juga dan beberapa saat kemudian mendapat tanggapan kesetujuan dari beberapa teman.  

Dan woow.. Aku merasa semua bulu kudukku berdiri.
Itu artinya pendakian segera dimulai bung.
Itu artinya petualangan lagi menyusuri gunung-gunung yang penuh tantangan. 
Itu artinya "bukan sembarang pendakian".
 


Lalu jadwal ditentukan, Sehari setelah selesai acara pertemuan alumni.

Disamping mendaki gunung adalah kegemaranku, aku memandang bahwa kumpul alumni tidak cukup hanya dilakukan didalam gedung. Kumpul alumni akan lebih terasa hangat dan menyatu apabila dilakukan diluar ruang. Mendaki bersama, bercerita dengan kawan lama, menghabiskan 2 hari bersama, bercerita tentang segala hal, kuliah, cewek, lulus, kerjaan  dan sebagainya aku rasa akan sangat menyenangkan. Lalu gunung Salak menjadi pilihan pertamaku karena alasan sangat dekat dengan sekolah kami dan masalah perizinan yang 'sepertinya' tidak se-ribet gunung Gede-Pangrango yang perlu booking online dan surat-surat keterangan yang mesti lengkap..

Awalnya aku melempar wacana itu untuk memancing Radin dan Ammar agar ikut serta, namun sepertinya mereka berdua nggak bisa ikut karena kerjaan.
Sial. Padahal dari semua yang berencana ikut, beberapa masih meragukan dari segi jam terbang mendaki, kelengkapan alat pendakian dan kondisi fisik yang tidak begitu aku ketahui ketahanannya. Bagaimana aku melakukan pendakian tanpa Radin atau Ammar? Gunung Salak pula!

Namun setidaknya masih ada waktu untuk mempersiapkan segalanya.
Pertemuan alumni dilangsungkan di sekolah kami di Bogor pada tanggal 21-22 Mei. Masih ada sekitar tiga minggu untuk mempersiapkan.

Aku sendiri masih mengawang-awang. Aku belum mengenal medan gunung Salak. Sebagai 'pengajak' pastilah bakal yang paling repot, meskipun aku yakin teman-temanku pasti akan membantu. Setidaknya aku harus menentukan darimana start pendakian, rutenya seperti apa, transportnya bagaimana, estimasi jarak tempuh, tempat ngecamp dan finish dimana. 
Maka aku mulai mempelajari peta, mengumpulkan tracklog gps dan membaca catatan-catatan perjalanan dari internet.
 
Pada minggu kedua bulan Mei aku telah memesan tiket kereta berangkat bersama alumni yang kuliah di jogja dan Semarang. Segala hal telah dipersiapkan dengan matang dan insya allah akan sesuai dengan plan. Keberangkatan dibagi menjadi dua kloter, yaitu kloter pertama hari kamis tanggal 19 dan kloter kedua tanggal 20. Aku memilih tanggal 20.

Sementara itu...

Diklat lanjutan mapalaku (PLP) telah sampai tahap akhir dan suatu pergerakan besar akan segera dilakukan. Diklat lanjutan tahun ini mengambil tema 'Sapa bumi Pasundan'. Semua divisi akan melakukan during (operasional terakhir dari rangkaian dikjut) di Jawa Barat. Divisi gunung akan melakukan pendakian di Gunung Salak!
Aku tidak berpartisipasi sampai akhir dalam dikjut tahun ini. Karena memang sudah bukan tahunku dan saat-saat ini mestinya aku sibuk menyelesaikan tugas akhir. 

Meskipun kami akan mendaki gunung yang sama, namun rencana pendakianku bersama teman-teman alumni berbeda jadwal dengan pendakian mapala PLP serta menggunakan jalur yang berbeda pula.

Aku memilih tanggal pendakian antara 22-24 mei, lewat jalur gunung Bunder (biasa disebut juga dengan jalur Pasir Reungit). Sementara Mapala PLP berangkat dari Jogja tanggal 25, menjalani pengabdian beberapa hari baru kemudian melakukan pendakian lewat jalur Curug Nangka. Jadi ada selisih satu minggu antara rencana pendakianku dengan pendakian mapalaku. 

Aku tidak pernah membicarakan rencana pendakian ini ke semua orang di PLP dengan harapan mereka fokus dan tidak terganggu oleh rencanaku yang bisa saja dianggap 'ngerusuhi'. Meskipun begitu aku beberapa kali mengikuti diskusi bersama mereka sekaligus sharing dan mengenal lebih banyak tentang gunung yang akan kami daki.
...........

Hari keberangkatan tinggal seminggu. Aku pulang ke rumah berencana untuk pamit ke orangtua. Malam itu aku tidak merasakan keganjilan apapun, hingga akhirnya aku terbangun saat shubuh dan mengetahui tubuhku begitu kedinginan. Ini bukan kedinginan biasa. Rasa-rasanya aku tidak memiliki lagi panas tubuh. Seperti mengalami hipotermia, namun di suhu 15 derajat?

Aku kemudian menyadari aku sedang sakit. Suhu tubuhku kemudian naik-turun, aku mengalami demam. Sampai hari kedua demam masih belum turun. Aku memeriksakan diri ke dokter dan diberi beberapa obat namun masih belum turun juga panasnya. Panas masih kualami hingga hari ketiga. Aku kemudian dibawa ke dokter yang berbeda. Diberi obat lagi dan diperiksa apakah ada bintik-bintik di tubuhku. Sampai akhirnya sang dokter berkata bahwa kalau masih demam hingga hari berikutnya, lalu muncul tanda seperti demam berdarah, maka segera dibawa ke rumah sakit. Aku pernah mengalaminya duabelas tahun yang lalu dan itu sama sekali bukan pengalaman yang menyenangkan. Aku terus berdoa agar segera diberi kesembuhan. 

Hingga hari kelima panas belum turun. Malah diselingi batuk kering. Nafsu makanku sama sekali hilang. Bukan demam berdarah, bukan pula chikungunya yang menyerangku. 
Aku semakin khawatir. Apa gerangan sakit yang kuderita? Tidak mungkin hanya demam biasa atau batuk biasa. Aku menunggu dua hari kedepan kalau semakin memburuk aku harus dirawat-inapkan.

Aku sempat berpikir untuk mendatangkan ustadz yang mampu merukyah. Sepertinya aku terlalu sering naik-turun gunung dan bisa jadi salah satu penghuni 'asli' gunung ikut turun bersamaku. 
Pikiranku kemana-mana. Apakah hal ini pertanda aku harus membatalkan pendakian gunung Salak?
Apakah atas dasar sakit ini menjadi musabab bahwa waktuku telah habis? Aku bahkan terpikir menyerahkan sebuah wasiat kepada salah satu temanku. Bukankah kematian tidak ada yang tahu kapan akan datang?

Namun sepertinya aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Hari ketujuh akhirnya demamku menurun. Suhu tubuhku tiba-tiba normal seolah-olah tidak terjadi apapun selama seminggu ini. Hanya tinggal batuk ringan yang aku yakin dalam sehari-dua hari kedepan juga akan sembuh.
Sayangnya terlambat. Hari ini adalah hari Sabtu. Tiket keberangkatanku ke Bogor mestinya kemarin dan sekarang sudah hangus tak terklaim. Aku masih berkeinginan untuk ke Bogor dan merencanakan berangkat sabtu sore ini menggunakan bus dari Solo, namun kedua orangtuaku melihat kondisi fisikku yang masih lemas menyuruhku mengurungkan niat. Aku menuruti nasihat mereka.

Hal yang dapat kulakukan saat ini adalah meminta maaf kepada semua orang yang akan mendaki gunung Salak. Permintaan maaf ini aku titipkan pula ke temanku yang berangkat dari Jogja kemarin jumat.

"Guys. Kalian ke Gunung Salak tanpa gue yak."

Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback