Kerinci 3805. Pilar Langit Sumatra

|

"Gunung ini begitu magis Gin. Banyak hal yang tidak kamu ketahui. Banyak hal sangat membingungkan, banyak hal sangat menyeramkan. Juga ada kebudayaan unik yang mesti kamu eksplor. Tentang penduduk Kersik Tuo, Tentang mitos hobbit asli Kerinci, Suku Anak Dalam, perkebunan teh yang mengagumkan. Juga tentang penguasa rimba Kerinci Seblat. Harimau Sumatra. Jadi ini bukan sekadar pendakian." (Randy)
 

Siulak, Senin 1 September 2014

Aku sehari dua hari lalu bahkan tidak pernah memikirkan akan bermalam dan mengenal daerah bernama Siulak. Semua terjadi seperti arus. Dari satu orang aku mendatangi suatu tempat, bertemu orang dan diajak ke tempat yang lain. Di tempat itu aku kemudian mengikuti arus lagi. Sampai kepada sebuah tempat yang mungkin telah kami impikan sejak lama. Sebuah perjalanan dengan misi yang sama, meskipun dilalui dengan jalan memutar, membelok, menanjak, akan kami lalui. Sebuah petualangan para pria dengan berbagai karakter dan budaya. Semua dipersatukan oleh misi yang sama. Kerinci.

Siulak. Sebuah tempat yang sangat jauh, bukan destinasi wisata, bukan tempat-tempat bersejarah, mungkin. Hanya kecamatan biasa dengan kebiasaan yang khas. Sebuah tempat yang benar-benar aku tidak pernah mengenal atau berencana mendatangi sebelumnya.

Sekali lagi, mungkin aku akan tertawa suatu saat nanti. Bagaimana mungkin, di pagi ini aku terbangun, 300 km dari pembaringanku kemarin. 500 km dari pembaringanku dua hari lalu. Dan lebih dari 2000 km dari pembaringanku pekan lalu.

Tapi inilah petualangan. Semua hal bisa terjadi dalam petualangan. Semua keputusan diambil secara bijak dalam waktu yang singkat. Keputusan iya atau tidak, sekarang atau nanti menjadi sangat penting dalam mencapai sebuah tujuan pada petualangan.

Baiklah, aku tidak akan membicarakan itu lebih panjang.

Pagi ini kami sedang melakukan packing. Mengecek perlengkapan yang akan dibawa. Melengkapi yang sekiranya belum lengkap. Bang Randy dan Bang Mario dari setengah jam lalu belum kembali dari pasar. Mereka membeli tambahan logistik seperti air mineral, beras, telur, sarden, mie instan, dan beberapa botol spirtus untuk bahan bakar kompor trangia.

Akhirnya baru pada pukul 10.30 pagi semua perbekalan siap.
Sebelum kami berangkat, kami dibriefing sebentar oleh pamannya Badai. Beliau pernah mendaki Kerinci, meskipun itu sudah sangat lama, tahun 90an.

Beliau menjelaskan medan pendakian seperti apa, tempat nge-camp yang paling bagus di pos berapa, kemudian lama waktu pendakian, letak sumber air, serta estimasi jarak dari basecamp sampai puncak.
Beliau juga menjelaskan apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang selama mendaki Kerinci.

Terakhir beliau berpesan,
"Kalau bawa telur, atau apapun itu nanti sebaiknya dibungkus dengan rapat, jangan sampai ada bau menyengat yang keluar dari carrier kalian. Ingat, disana ada mitos yang sangat diyakini oleh penduduk Kerinci."

Beliau tidak membicarakan detail mengenai mitos tersebut. Kami juga sengaja menghindari percakapan mengenai mitos itu. Kami tidak akan membicarakannya disini karena itu bisa mengganggu petualangan kami dan membuat kami jadi tambah was-was serta takut tentu saja.

Tapi kami semua memahami bahwa mitos yang dimaksud adalah tentang orang pendek.



Karena sekarang, saat aku menulis tulisan ini aku sedang tidak berada di Kerinci, maka akan aku jelaskan sedikit mengenai orang pendek Kerinci yang aku rangkum dari berbagai sumber, termasuk sumber dari warga lokal Kerinci yang secara tidak langsung aku wawancarai setelah kami turun gunung. Sebuah mitos turun-temurun yang sangat diyakini keberadaannya, bukan hanya oleh masyarakat Kerinci, penelitian internasional yang melibatkan National Geographic pun pernah dilakukan guna membuktikan keberadaan orang pendek ini.

Orang kerdil atau orang pendek, atau dalam bahasa lokal disebut Uhang Pandak adalah makhluk sejenis humanoid kerdil yang memiliki ukuran tinggi badan hanya sekitar satu meter dan tubuhnya dipenuhi banyak bulu. Mereka berjalan dengan dua kaki. Biasanya membawa peralatan perburuan semacam tombak. Orang pendek dipercaya hidup di pegunungan Kerinci Seblat.
Legenda Mengenai Uhang Pandak sudah secara turun-temurun dikisahkan di dalam kebudayaan masyarakat "Suku Anak Dalam". Mungkin bisa dibilang, suku anak dalam (Kubu) sudah terlalu lama berbagi tempat dengan para Orang Pendek di kawasan tersebut. Walaupun demikian, jalinan sosial diantara mereka tidak pernah ada.
Sejak dahulu, suku anak dalam bahkan tidak pernah menjalin kontak langsung dengan makhluk-makhluk ini, mereka memang sering terlihat, namun tak pernah sekalipun warga dari suku anak dalam dapat mendekatinya.

Dari penuturan bapak yang aku temui di Kerinci, dikatakan bahwa beberapa pendaki sering dijahili orang pendek. Waktu itu ada sekelompok pendaki yang sedang summit attack dan meninggalkan tenda mereka di salah satu shelter. Ketika mereka kembali setelah turun dari puncak, mereka menemukan bahwa kondisi tenda mereka seperti habis dimasuki sesuatu. Persediaan makanan mereka banyak yang menghilang, terutama sarden dan telur. Mereka kemudian menemukan jejak-jejak aneh, persis seperti yang diceritakan penduduk kerinci mengenai mitos orang pendek.

Mengenai penelitian dari National Geographic Society aku kurang begitu paham, namun setahuku, dan dari cerita Bang Dino, mereka memasang banyak kamera serta kamera infrared di sekitar hutan TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) di tempat-tempat strategis dan tempat yang pernah ada kesaksian munculnya orang pendek.
Dari salah satu kamera yang merekam jebakan, makanan yang digunakan untuk menjebak menghilang, tapi anehnya tidak ada rekaman apapun mengenai binatang atau makhluk yang mengambil makanan itu.

Sampai sekarang misteri makhluk kerdil Kerinci tetap menjadi misteri yang paling menakutkan serta membuat penasaran warga sekitar Kerinci. Hanya sebagian orang beruntung yang dapat melihat keberadaan makhluk ini.

Baiklah, itu tadi sedikit kisah tentang "mitos" yang dikatakan pamannya Bang Randy.

Aku sendiri tidak pernah mempercayai ataupun merasa takut terhadap apapun mitos di gunung, baik di gunung-gunung Jawa ataupun di Kerinci ini. Meskipun banyak teman seperjalananku yang menceritakan pengalaman mereka, meskipun saat aku mendaki ada teman yang dihantui, meskipun dari penuturan juru kunci gunung ada kawanku yang diikuti makhluk halus bahkan sampai basecamp. Aku selalu menolak untuk percaya. Aku sebatas hanya meyakini dan menghormati keberadaan jin. Lebih dari itu menurutku hanya bualan untuk menakut-nakuti. Prinsipku hanya jika aku tidak mengganggu mereka, mereka tidak akan menggangguku.

Adapun pagi ini, kami berempat sudah berada dalam angkutan kota, jurusan Sungai Penuh-Kersik Tuo. Kami nanti berhenti di Kersik Tuo. Sebuah lereng dengan perkebunan teh luas, paling luas se Indonesia. Penghasil daun teh terbaik, teh kajoe aro.

Perjalanan dari Siulak membutuhkan waktu 30 menit menuju Kersik Tuo. Melalui jalanan berliku yang banyak lubangnya. Kami sampai di Kersik Tou pukul 11.30.

Penanda bahwa kami sampai di Kersik Tuo adalah adanya Tugu Macan berukuran tinggi sekitar tiga meter dan dibawahnya ada tulisan "Simpang Tugu Macan TP.PKK Kersik Tuo". Angkot berhenti di simpang ini dan melanjutkan perjalanan lurus. Sementara basecamp pendakian Kerinci belok ke kiri, masih sekitar 5 km.

Tentu dari sini tidak ada kendaraan umum yang bisa mengantarkan kami ke basecamp. Kami mesti menyewa angkot atau pick-up sayur, atau naik ojek. Berjalan kaki bukan pilihan yang bagus. Meskipun melewati kebun teh dengan pemandangan yang mengesankan, namun jarak 5 km bisa menguras banyak tenaga. Lebih baik tenaga tersebut digunakan untuk mendaki Kerinci setelah dari basecamp.

Akhirnya kami mendapatkan angkot kosong yang kami cegat dan kemudian bang Randy bernegosiasi dengan sopir menggunakan bahasa Jambi. Aku juga turut membantu negosiasi dengan menggunakan bahasa jawa halus.

Bahasa jawa? Yap.
Penduduk Kerinci mayoritas menggunakan bahasa jawa sehari-hari. Begitu juga dialek, seperti sapaan, salam, mempersilakan orang, mereka menggunakan bahasa jawa. Kebudayaan mereka juga kebudayaan jawa. Upacara-upacara sakral seperti pernikahan juga menggunakan adat jawa. Bahkan ketika aku sampai daerah ini kemarin sore, aku menyaksikan sendiri klenengan jawa di salah satu rumah yang sedang menggelar hajat.
Aku sempat terkejut juga kemarin ketika sampai Kersik Tuo, mengetahui bahwa ada daerah di sumatra yang menggunakan bahasa dan kebudayaan jawa sehari-hari.
Aku lebih terkejut lagi mengetahui sopir kami menanyaiku menggunakan bahasa jawa, setelah aku menyebut darimana asalku. Awalnya aku mengira sopir travel kami orang minang, karena selalu menggunakan bahasa minang selama di Padang. Ternyata sopir travel kami adalah orang jenius yang menguasai lima bahasa sekaligus, bahasa Indonesia, bahasa Minang, bahasa Jambi, bahasa Jawa, dan bahasa Bangko.

Kemudian aku menanyai sopir tersebut mengapa masyarakat Kersik Tuo menggunakan bahasa Jawa. Aku juga menanyai Badai dan bang Randy yang asli Kerinci.
"Mereka adalah keturunan jawa Gin. Leluhur mereka asli jawa. Sewaktu penjajahan Belanda, mereka didatangkan ke Kerinci untuk menjadi kuli perkebunan teh kayu aro. Selama bergenerasi-generasi bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa tetap dipertahankan oleh masyarakat pendatang itu.  Begitu asal mulanya Gin" Badai saat itu menjelaskan. 

Mereka rata-rata sampai sekarang masih bekerja di perkebunan teh kayu aro. Sebagian lainnya bekerja di ladang sayur layaknya penduduk lereng gunung.

Perkebunan teh kayu aro adalah perkebunan teh terbesar di dunia dengan luas wilayah mencapai 3000 Hektare. Perkebunan ini bernaung dibawah PT Perkebunan Nasional VI. Berada di ketinggian antara 1400-1700 mdpl dengan curah hujan sangat tinggi mencapai 3000 mm/tahun.

Perkebunan teh kayu aro adalah penghasil daun teh terbaik di dunia. Sayangnya, untuk teh kualitas terbaik yaitu grade I hanya diperuntukkan untuk pangsa ekspor ke negara-negara Eropa dan Amerika dengan harga selangit. Orang Indonesia hanya bisa merasakan teh dengan kualitas nomor 2 dan 3 yang harganya sangat murah.

Kembali lagi pada negosiasi dengan sopir angkot.
Setelah harga disepakati kami kemudian menaikkan carrier ke angkot tersebut dan kemudian diantar kemuju basecamp Kerinci yang terletak di tengah-tengah perkebunan teh.

Setelah melakukan registrasi kami kemudian memulai pendakian.
Perjalanan dimulai dengan memasuki pintu rimba pada pukul 13.00. Masih melewati ladang penduduk sampai mendekati pos 1. Hari ini cuaca cerah agak berkabut, namun jalan setapak begitu becek dan lembab. Ini adalah salah satu daerah paling lembab se Indonesia. Curah hujan begitu tinggi meskipun saat ini sedang musim kemarau.

Setengah jam perjalanan kami kemudian sampai di pos 1. Nama posnya Bangku Panjang dengan ketinggian 1889 mdpl.
Kami melanjutkan perjalanan, kali ini masuk hutan belantara dengan vegetasi yang sangat lebat. Hutan hujan tropis yang khas dengan daun-daun tinggi dan banyak tanaman merambat.
Pukul 14.00 kami sampai di pos Batu Lumut 2020 Mdpl. Kami istirahat, sholat dan snacking selama hampir 30 menit.

Setelah itu perjalanan dilanjutkan secara terus-menerus sampai Shelter 1. Kami sampai di Shelter 1 2504 Mdpl pada pukul 16.30 dan kemudian mendirikan tenda. Shelter 1 merupakan areal datar yang terbuka seluas hampir seribu meter persegi, cukup untuk mendirikan belasan tenda.

Di Shelter 1 kami bertemu dengan satu rombongan pendaki dari Jawa Barat yang sedang melakukan ekspedisi. Mereka mendirikan dua tenda.
Gunung Kerinci ini berbeda dengan gunung-gunung di Jawa yang sangat ramai. Semenjak dari basecamp kami tidak bertemu dengan satu rombongan pendaki-pun. Rombongan dari Jawa Barat inilah satu-satunya kelompok pendaki yang kami temui.

Sore menjelang maghrib hujan gerimis turun. Rombongan pendaki tenda sebelah mengunjungi tenda kami. Kami memasak kopi dan berbagi dengan mereka. Kawan baru lagi. Cerita-cerita baru lagi. Mereka adalah rombongan pecinta alam yang sangat menyenangkan.

Salah satu dari mereka menceritakan tentang bagaimana dia bergabung dengan SAR. Membantu pencarian korban kecelakaan pesawat di Gn. Salak beberapa tahun lalu. Hal itu membuatku berpikir, bagaimana selama ini aku hanya mendaki gunung demi tujuanku saja. Aku belum pernah melakukan misi kemanusiaan, atau membantu setidaknya menanam pohon atau bersih gunung. Aku merasa memiliki kewajiban untuk melakukan hal-hal seperti itu.
Selama ini memang banyak orang mendaki gunung. Namun banyak pendaki yang memang hanya sekadar mendaki gunung. Aku jadi merasa sedikit tersinggung.

Di gunung kalian bisa menemukan pendaki gunung dan pecinta alam. Keduanya berbeda menurutku. Pendaki gunung itu seperti wisatawan. Hanya mendaki demi puncak, tidak mengindahkan sop pendakian, tidak membawa perbekalan memadai, banyak membuang sampah sembarangan, serta tidak menghormati mitos dan kepercayaan penduduk setempat.
Sementara pecinta alam adalah mereka yang melakukan pendakian demi sebuah misi, mempunyai perencanaan yang matang, manajemen perjalanan yang baik, pakaian dan perlengkapan sesuai sop, dan tentu saja menjaga kelestarian lingkungan.

Menurutku, pendaki yang sedang mendaki gunung Kerinci, gunung Raung di Jawa Timur, gunung Cartenz di Papua, atau Leuser di Aceh, mereka adalah pecinta alam sejati yang sesuai dengan definisi yang aku sebut diatas. Karena kalian tidak bisa main-main dengan alam Gn. Raung atau kalian jatuh ke jurang yang sangat dalam. Kalian akan mati kedinginan di salju Cartenz kalau asal-asalan memilih pakaian. Begitu juga Leuser. Kalau kalian tidak mempunyai perencanaan yang matang dan mendaki Leuser secara asal-asalan, kalian akan mati di gunung yang membutuhkan waktu 2 minggu untuk menyelesaikan perjalaannya itu. 

Shelter 1 Kerinci, Selasa 2 September 2014

Pendakian gunung Kerinci kami lanjutkan pagi ini. Tujuan kami pagi ini masih mengambang, antara Shelter 2 atau Shelter 3. Tapi yang jelas hari ini kami belum akan muncak.
Pendakian dimulai agak siang, sekitar pukul sembilan kami baru bongkar tenda. Menang sengaja demikian karena kami sudah mengestimasi jarak dan waktu perjalanan. Jika target kami Shelter 2, kemungkinan sampai sana pukul 12.00 siang. Kalau menargetkan Shelter 3 kemungkinan sampai pada pukul 3 siang. Itupun dengan ritme santai dan tidak terburu-buru. Paling lambat pukul 4 kami sudah bisa mendirikan tenda.

Akhirnya kami berangkat pukul 09.30. Bang Randy yang membawa tas kecil (daypack) meminta tukar denganku yang membawa carrier. "Aku mau lihat Gin. Apa aku masih kuat bawa carrier atau nggak." Ujar Bang Randy dengan nada bercanda.
Aku tertawa saja. Dia terlihat kuat dari fisiknya, tentu saja. Dia masih 25 tahun. Masih masa muda.

Perjalanan dilakukan dengan sangat santai. Kami bercerita saja selama perjalanan. Bagaimana asal mula bang Randy dipanggil Zombie. Mengapa Badai yang anak gunung, mapala aktif, anak asli kerinci malah belum mendaki Kerinci. Kalau aku sendiri menceritakan pengalamanku di Natuna sebulan dua bulan lalu. Yah, cerita mengenai hal-hal yang ringan itu membantu dinamika tim. Membuat kami lebih akrab.   
Tak terasa kami sudah sampai di Shelter 2, sekitar 2900 mdpl pada pukul 12.30 siang, Meleset setengah jam dari waktu perencanaan.

Kami kemudian snacking disini. Badai mengeluarkan kompor, kami masak air dan menyeduh kopi. Cuaca sangat sejuk, matahari tertutup kabut awan. Saat ngopi adalah saat terbaik untuk berdiskusi. Kami mendiskusikan akan melanjutkan perjalanan ke Shelter 3 atau nge-camp di Shelter 2 saja. Kami mempertimbangkan beberapa hal.
"Setahuku Shelter 3 tempatnya terbuka, nggak bagus buat nge-camp." Ujar bang Mario.
"Iya, Nge-camp disini aja. Ada sungai juga di lembahan di kiri jalan. Kalau membutuhkan air bersih tinggal ngambil." Aku mendukung ucapan bang Mario.
"Tapi dari sini masih jauh ke puncak. Besok kita kerepotan kalau mau ngejar sunrise." Ujar bang Randy.
"Kita besok berangkat lebih pagi aja bang. Jam 3 gitu." Badai memberi alternatif.
Akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam disini malam ini.
"Yaudah kita bikin tenda sekaranga aja bang. Kita udah fix mau nge-camp disini kan?" Ujarku.
"Nanti aja." Kata bang Mario
"Nanti aja Gin. Dihabiskan dululah kopinya. Nggak usah buru-buru." Badai menambahi.

Saat kami bersantai-santai inilah kemudian hujan turun. Hutan hujan tropis, biasanya hujan datang bersamaan dengan datangnya kabut. Seperti kabut tebal yang terkondensasi. Hujan biasanya turun dengan sangat cepat, kemudian deras selama satu hingga dua jam. Setelah itu reda lagi. Namun terkadang hujan turun lebih lama dari itu.

Kami kelabakan. Tenda belum didirikan. Barang-barang yang semestinya tidak boleh basah masih berserakan. Kami menutupinya dengan ponco. Tidak ada diantara kami yang membawa jas hujan. Kami akhirnya melepas baju dan sepatu, menaruh baju, carrier, dan barang-barang lain dibawah lindungan ponco. Sementara itu kami berempat berhujan-hujanan sambil mendirikan tenda.

Aku mau menyalahkan mereka namun tidak tega. Aku dari awal sudah bilang untuk segera mendirikan tenda, tapi mereka malah bersantai-santai. Kami kemudian tertawa-tawa saja menyadari kebodohan kami.

Akhirnya semua beres jelang pukul dua siang. Hujan masih turun dengan intensitas ringan, namun kami dan segala barang-barang serta perlengkapan kami sudah aman berada di dalam tenda.

Pukul tiga sore hujan reda. Aku dan bang Randy berinisiatif mengambil air di sungai untuk keperluan memasak. Sepanjang pendakian, kami melewati punggungan yang berada di kanan sungai. Jadi ketika kalian mendaki Kerinci, tidak perlu membawa banyak air, karena di sebelah kiri jalur pendakian ada sungai yang mengalir sepanjang musim.

Kami menuruni punggungan tempat nge-camp. Dibawah sudah terlihat air yang mengalir. Sungainya tidak besar, hanya jalur air selebar satu meter. Jalanan menurun agak terjal dan licin karena habis hujan. Banyak burung-burung di sekitar aliran air sungai. Suasananya agak gelap karena begitu rimbunnya pepohonan, dan karena ini adalah lembahan.
Aku melihat bang Randy begitu terburu-buru saat mengambil air. Dia bahkan tidak menoleh ke kanan dan kiri. Aku malah bersantai-santai dan menceburkan kaki ke aliran sungai sambil menciduk air dari aliran yang lebih atas. Memasukkan air ke botol-botol kosong sampai penuh dan kemudian beranjak.

Bang Randy masih terburu-buru saat naik. Seperti ingin segera pergi dari sini.
Dia tidak menjelaskan alasannya sampai besok sore saat kami sampai basecamp.

Pukul 17.00 kami selesai masak dan makan. Aku keluar dari tenda melihat pemandangan luar.
Sore ini begitu sejuk, magis, dan mengagumkan. Setelah hujan reda, terlihat pelangi melengkung dengan anggun di salah satu horizon. Di ufuk barat cahaya senja menguning, berbaur warna dengan biru langit, hijau dedaunan yang semakin menghitam karena redupnya cahaya. Punggungan-punggungan bukit di seberang terlihat mengesankan. Terbungkus sedikit kabut senja, awan, warna kuning, orange, biru, hitam. Sangat damai.

Kami menghabiskan senja dan malam dengan bercerita, menikmati kopi, beberapa batang tembakau, dan biskuit. Namun tidak sampai larut malam karena plan kami besok adalah berangkat saat dini hari pukul tiga.

Shelter 2 Kerinci, Rabu 3 September 2014

Kami terbangun agak kesiangan. Ini sudah pukul 04.00 pagi. Mestinya kami bangun satu jam lebih dini. Namun tidak ada keuntungan menyesali yang telah lalu. Kami lekas merapikan segala hal dan mempersiapkan perbekalan untuk summit. 
Badai membawa daypack berisi air minum, ponco, beberapa biskuit kering, dan peralatan P3K.
Sementara aku, bang Randy, dan bang Mario masing-masing membawa tas selempang kecil berisi peralatan elektronik, senter, headlamp, handphone, GPS, kacamata, kamera, survival food, masker, dan perlengkapan ringan milik pribadi lainnya.

Semua telah siap, kami pemanasan, berdoa, dan bergegas mendaki.
Pagi ini begitu dingin. Sangat dingin. Mungkin suhu mencapai 5 derajat celsius, maka bergerak adalah cara terbaik melawan dingin.
Kami menyibak gelap dan heningnya rimba Kerinci dengan cahaya-cahaya lampu senter. Menuju atap tertinggi pulau Sumatra.
Pukul 05.30 pagi kami sudah sampai di Shelter 3. Sebuah tempat terbuka dengan pohon-pohon edelweis setinggi satu hingga dua meter. Ada beberapa tempat yang terlindung dari angin, namun bagiku memang disini tidak cocok untuk nge-camp.
Kami sholat subuh disini. Ditengah ributnya angin pagi dan dinginnya batas vegetasi gunung Kerinci.

Shelter 3 adalah camp terakhir sebelum puncak. Setelah melewati shelter 3 kami mencapai batas vegetasi. Batas vegetasi biasanya ditemui di gunung-gunung berapi aktif. Batas vegetasi adalah tempat dimana tumbuhan terakhir dapat bertahan hidup. Selepas batas vegetasi tidak ada lagi tumbuhan apapun karena suhu di dalam tanah yang begitu panas (karena mendekati kawah) dan tidak memungkinkan akar tumbuhan untuk bertahan hidup. Biasanya setelah batas vegetasi, pendakian melewati tanah pasir, batu-batuan kerikil, dan batu besar yang 'hidup'. Yang aku maksud hidup adalah batuan, pasir, dan kerikil yang sewaktu-waktu dapat longsor karena tidak memiliki pegangan yang kuat. Salah satu saat paling berbahaya dalam mendaki gunung aktif adalah ketika summit dan melewati jalanan berpasir, karena pendaki dapat terkena longsoran, baik pasir, kerikil, atau batu besar yang sangat berbahaya. Selain itu uap belerang yang beracun juga sangat berbahaya dan dapat membuat sesak napas pendaki.

Pada pukul 06.30 pagi kami sampai di Memoriam. Sebuah tempat yang terdapat beberapa plakat berisi tulisan tentang saudara atau rekan yang meninggal di Kerinci. Salah satunya berbunyi "Tempat berpisahnya saudara kami, Yudha Sentika. Terpisah sejak 23 Juni 1990. Elpala Jakarta."

Dari memoriam itu, tinggal setengah jam lagi menuju puncak.
Akhirnya kami sampai di puncak Kerinci, puncak tertinggi di Sumatra, 3805 meter diatas permukaan laut pada pukul 07.00 pagi.

Kami berdoa, mengucap syukur, dan berfoto-foto di tanah tertinggi di Sumatra. Sebuah impian kami berempat, yang sudah sejak lama kami nantikan, akhirnya terwujud pada pagi ini.

Puncak Kerinci begitu dingin. Tempatnya sangat terbuka. Kawah sedalam 600 meter berada di tengah-tengahnya. Dari dasar kawah, asap belerang keluar terus-menerus. Meski begitu, asap belerang mengarah keatas dan tidak menerpa kami. Di sekeliling kami kabut menutupi hampir seluruh horizon. Hanya beberapa pemandangan yang terlihat dari puncak Kerinci.
Semestinya kalau cuaca sedang cerah dan tidak berkabut, dari puncak Kerinci ini terlihat gunung tujuh, danau atas, danau bawah, dan beberapa bukit Taman Nasional Kerinci Seblat.

Kami hanya sepuluh menit berada di puncak. Kami memutuskan untuk turun dan kembali ke Shelter 2 tempat kami nge-camp semalam.
Perjalanan turun dari puncak Kerinci mesti berhati-hati karena melewati jalan yang licin. Kami berjalan beriringan dengan ritme yang lebih pelan.

Pukul 08.30 pagi kami sudah sampai di Shelter 2, kemudian memasak nasi dan sarapan pagi.  
Pukul 10.30 tenda sudah dibongkar dan kami bersiap turun menuju basecamp.
Perjalanan turun lebih cepat dua kali dibanding saat naik. Kami sampai di Shleter 1 pada pukul 12.00.
Kami istirahat sebentar dan melanjutkan jalan.
Pada pukul 13.30 kami sampai di Pondok Panorama, sebuah pos antara pos 1 dan Shelter 1. Disini kami beristirahat, sholat dan menghabiskan perbekalan seperti snack dan biskuit.
Di pos ini kami bertemu beberapa orang pendaki senior yang baru mau naik. Salah satu dari mereka menasihati kami untuk tidak nge-camp disini. Kami memang tidak berencana untuk nge-camp karena sedikit lagi kami sudah sampai basecamp. Mungkin mereka mengira kami mau naik, dan bukan turun. Namun aku agak heran dengan pernyataan mengapa kami tidak boleh nge-camp di Pondok Panorama, 2225 mdpl. Bang Randy menyuruhku untuk tidak bertanya lebih jauh.
Dia dari kemarin bersikap agak aneh dan menghindari pembicaraan mengenai mitos atau larangan-larangan. Mungkin dia takut, batinku. Haha.

Di tempat ini banyak tupai liar yang sangat jinak terhadap manusia. Mereka tidak mau dipegang, namun ketika aku mengulurkan makanan, mereka malu-malu tapi mau satu-persatu mendekatiku. 
Mereka sangat suka dengan biskuit isi kacang yang aku berikan. Jumlah mereka sangat banyak dan memiliki tempat persembunyian yang tidak jauh dari pos.

Kami beristirahat sampai pukul 14.00 kemudian melanjutkan perjalanan turun.
Pada pukul 14.30 kami menemukan suatu objek yang membuat kami berempat menghentikan langkah. Bulu kuduk kami berdiri seketika dan ketakutan menjalari sekujur tubuh. Aku melihat beberapa wajah kawanku pusat pasi. Kami melihat ke kanan dan kiri. Kewaspadaan kami meningkat sampai maksimal.

Kami menemukan jejak binatang bercakar dengan ukuran yang besar. Jejak ini tercetak begitu jelas, menyimpang dari jalur pendakian kami. Mengarah dari sungai di kanan menuju ke kiri jalur pendakian. Jejak ini masih baru, beberapa rumput tersingkap.
Jelas. Ini jejak Harimau Sumatra.

Aku sempat memotretnya. Kemudian kami cepat-cepat berlari dan secepat mungkin menuruni gunung ini. Setengah jam kemudian, pada pukul 15.00 kami sampai di pintu rimba dengan napas sangat tersengal-sengal.

Kami meminum air dengan sangat rakus. Kemudian duduk di salah satu rumah gubug di ladang sayur dekat basecamp. Menenangkan diri.

Setelah tenang bang Randy bercerita,
"Kamu tau Gin, kenapa aku kemarin buru-buru saat mengambil air?
Sungai adalah tempat bertemunya hewan-hewan. Disana dapat dengan mudah kamu menjumpai burung, celeng, dan juga harimau kalau beruntung. Makanya aku takut Gin, kalau-kalau saat kita ngambil air di sungai waktu itu, tiba-tiba ada harimau yang sedang kehausan dan menuju sungai. Untung kalau cuma kehausan. Kalau kelaparan juga, habislah kita. Kamu juga tau Gin, kenapa bapak tadi melarang kita nge-camp di Pondok Panorama? Karena disana adalah spot paling rawan berjumpa harimau. Disana dekat dengan sungai. Disana elevasinya tidak terlalu tinggi, tidak terlalu rendah juga. Kamu juga harus tahu, Harimau bisa memanjat. Tidak ada guna kita menghindar dengan cara memanjat pohon. Meskipun Harimau Sumatra terkenal pendiam dan cenderung menjauhi manusia, namun saat terdesak mereka sangat berbahaya.
Belum lagi mitos orang pendek, Shelter 2 menurutku adalah yang paling rawan Gin, itulah alasan sebenarnya mengapa aku mengajak untuk nge-camp di Shelter 3. Yah, kamu ini, utungnya nggak tau cerita Harimau Sumatra dan mitos orang pendek. Jadi kamu santai-santai saja" Bang Randy menceritakan segala hal yang membuatku penasaran dari kemarin  

Bang Randy kemudian menceritakan mengenai orang pendek juga, seperti yang sudah aku tulis diatas. Aku merasa tidak tahu apa-apa dan dengan polosnya mendaki Kerinci tanpa memahami mitos dan kearifan lokal serta hewan-hewan yang ada didalamnya. Aku hanya tahu sekilas mitos-mitos ini sebelum mendaki Kerinci. Sementara untuk hewan buas tidak pernah ada bayangan.

Setengah jam kemudian datang bapak-bapak menawarkan ojek untuk kami. Ada dua orang. Aku dan Badai yang pertama. Kemudian bapaknya kembali lagi dan menjemput bang Mario dan bang Randy.

Selama perjalanan itulah aku mengobrol-ngobrol dengan bapak tukang ojek menggunakan bahasa jawa halus. Bapaknya terkesan. "mriki kantun sekedhik ingkang saget krama inggil mas." Bapak itu bilang kalau di Kersik Tuo hanya sedikit yang paham bahasa jawa halus. Sehari-hari, dengan orang tua pun mereka terbiasa menggunakan bahasa ngoko. Makanya kemudian bapaknya ini terkesan denganku, seorang asing yang mengajak dialog menggunakan kromo inggil. Jarang-jarang.

Aku kemudian menanyai pekerjaan beliau, asal muasal mengapa penduduk Kersik Tuo menggunakan bahasa jawa, kemudian pertanyaan berlanjut mengenai mitos orang pendek. Semua seperti yang sudah aku tulisa diatas.

Pukul 16.30 kami semua sudah bersiap menuju rumah pamannya bang Randy. Aku sudah mandi di salah satu mushola, sudah sholat dan berganti pakaian.

Aku ditelpon oleh budheku, ditanya sudah sampai mana, disuruh segera kembali lagi ke Pekanbaru. Padahal saat itu bang Mario dan bang Randy mengajakku untuk ikut serta melanjutkan petualangan, mengunjungi Suku Anak Dalam dan Mendaki gunung tujuh. Aku sempat berpikir untuk tidak mengindahkan perintah budheku.

Namun panggilan telpon dari tanah jawa, dari temanku kkn membuatku mengurungkan niat melanjutkan petualangan.
"Woi.. Gin, lagi dimana? Laporan KKN buruan diselesaiin!"

Sial.






Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback