Pada akhirnya kuselesaikan simpul terakhir sayap-sayap imitasi di pundakku, dan kutanggalkan seluruh lencana. Sekuat teriakan menantang kumulonimbus, mencari mata baru dalam jalan keagungan para pahlawan. (Ammar Ed)
Pekanbaru, Sabtu 30 Agustus 2014
Empat dari lima temanku (penumpang Herkules sialan itu) pagi ini sudah berangkat ke tanah Jawa menggunakan pesawat yang lebih layak. Seorang lagi, Ojan, baru akan kembali ke kota Pararaton dua pekan kedepan. Sementara aku masih akan melanjutkan petualanganku. Tujuanku adalah pilar langit sumatra, Gunung Api Kerinci 3805 mdpl.
Ini sudah aku rencanakan semenjak aku masih di kota Pararaton. Aku sengaja membawa peralatan gunung sebelum berangkat mengabdi ke Natuna, seperti yang aku tulis sebelumnya disini.
Maka hari ini aku menunggu kabar dari sahabatku, namanya Bang Dino. Dia adalah mahasiswa pasca sarjana di kampus yang sama denganku. Dia berasal dari Padang. Dulunya, sewaktu S1 dia kuliah di Universitas Andalas dan menjadi salah satu anggota Mapala yang disegani disana.
Dia sedang di kota Pararaton saat ini, namun hubungannya dengan Mapala masih terus berlanjut. Dia yang nantinya akan menghubungkanku dengan anak-anak Andalas.
Sambil menunggu telpon darinya, aku menghabiskan pagi ini dengan mengelilingi kota bersama Ojan. Pekanbaru bukan kota wisata, tidak ada tempat spesial seperti kebun binatang, pantai, gunung, atau museum peninggalan sejarah. Maka aku hanya berkeliling saja, mengenang tempat-tempat yang dulu pernah aku ingat.
Dulu aku terlahir di kota ini, dan selama empat tahun pertama menghabiskan masa kecil di kota ini pula. Meski sekarang ayah ibuku kembali ke tanah jawa, namun beberapa saudara masih tinggal disini, berjejer-jejer tiga rumah sederhana adalah kepunyaan keluargaku. Aku dan keempat kawanku dari kemarin tinggal di rumah yang paling tengah.
Pukul 13.00 siang akhirnya panggilan masuk datang dari Bang Dino.
"Gin, aku sudah komunikasi sama teman-teman di SDU, mereka mau ke Kerinci besok. Kalau bisa sore ini juga kamu berangkat ke Padang." Begitu katanya. SDU adalah mapala Peternakan Unand, kepanjangannya Svarna Dwipa Ungu. Bang Dino adalah salah satu anggotanya (dulu).
Walaupun terkesan mendadak, tapi aku sudah menantikan telpon darinya sehari dua hari lalu.
Akupun langsung mengiyakan.
Maka aku mempersiapkan segalanya. Rencananya aku mau kesana menggunakan sepeda motor kakakku, demi menghemat biaya. Namun pada akhirnya rencanaku ditolak mentah-mentah dengan alasan, aku belum punya SIM, aku juga belum mengenal daerah ini, dan perjalanan yang panjangnya lebih dari 300 km.
Maka menggunakan travel adalah kesepakatan terbaik.
Aku berangkat setelah sholat Maghrib-Isya dan akan menikmati jalanan panjang nan ramai melintasi 2 propinsi, melewati Bangkinang, Koto Panjang, Perbatasan Riau-Sumbar, Kelok 9, Payakumbuh, Bukittinggi, dan kota Padang. Sebenarnya perjalanan siang hari lebih menyenangkan karena bisa menyaksikan keindahan jalan lintas propinsi ini dengan cahaya yang lebih terang, apalagi sewaktu melewati kelok 9.
Kelok 9 adalah ruas jalan yang menghubungkan dua punggungan bukit Cagar Alam Air Putih dan Cagar Alam Harau. Keindahannya terletak pada jembatan layang besar, mahakarya anak Indonesia sepanjang 2,5 km yang menghubungkan kedua bukit yang memiliki beda tinggi yang sangat ekstrem dengan cara berkelok-kelok enam kali bolak-balik.
Sialnya, saat aku mencapai daerah kelok 9, sekitar 3,5 jam perjalanan dari Pekanbaru, aku malah terlelap dan melewatkan keindahan jembatan itu. Aku baru terbangun saat mencapai wilayah Bukittinggi, pukul 02.30 pagi.
Sial. Aku merutuki diriki sendiri. Semestinya aku terjaga ketika melewati tempat itu, batinku. Maka aku bertekad, nanti ketika perjalanan pulang aku mesti terjaga.
Saat itu juga aku kemudian menghubungi temanku, namanya Iman. Kawan SMA yang sekarang kuliah di Andalas. Sebelumnya memang aku sudah beberapa kali menghubungi dia, termasuk tadi malam sebelum aku berangkat. Aku memang berencana tinggal di kosan dia selama aku berada di Padang.
"Nanti turun aja di Pasarbaru Gin, depan pusdiklat BRI. Disitu nanti aku jemput" Begitu ujarnya di sambungan telepon
"Mungkin aku sampai Padang waktu dinihari Man, gimana? Kamu masih bangun toh?"
"Santai aja Gin, aku sama bos biasa tidurnya habis subuh, haha" Bos adalah kawan kami satu angkatan sewaktu SMA, dia satu kos dengan Iman, kuliah di Andalas juga.
Perjalanan masih panjang. Kota Bukittinggi dinihari ini begitu sepi. Salah satu kota yang dari dulu ingin kudatangi, kota kelahiran Mohammad Hatta, tokoh nasional yang sangat aku hormati. Ingin rasanya aku turun dari mobil travel ini, menjejakkan kaki di tanah ini, kemudian berjalan ke rumah peninggalan Bung Hatta yang sekarang jadi museum, mungkin sekadar mengenang bahwa seorang anak desa dahulu pernah bermain-main disini. Seorang anak desa yang memiliki gagasan diatas rata-rata pemikiran semua orang saat itu. Seorang anak desa yang kalem, namun berani menggugat pengadilan Den Haag, Belanda dengan pidatonya yang terkenal, Indonesian Vrij. Haha... Seorang pemuda seusiaku, bayangkan, bersekolah di negeri penjajah dan kemudian menggugat si penjajah. Meskipun pada akhirnya dia di penjara, dibuang, diasingkan, tapi kemenangan kemudian memihak kepadanya, bersama kawan sekaligus rivalnya, Sukarno, bersama seluruh bangsa Indonesia tentunya.
Disini, di Propinsi Sumatra Barat ini lahir pula Agus Salim, Buya Hamka, Natsir, ulama besar, politikus, dan diplomat handal. Serta tokoh-tokoh Nasionalis seperti Moh Yamin dan Sjahrir juga lahir dan berdarah minang.
Sumatra Barat adalah propinsi yang religius, rata-rata masyarakat minang adalah muslim. Banyak surau-surau dapat dijumpai di setiap kampung. Kanan-kiri jalan raya dihiasi kata-kata mutiara asmaul husna. Dibentuk seperti pohon lampu berwarna putih dan ditulis lafadz nama-nama Allah dalam aksara arab, latin, dan artinya dalam bahasa Indonesia.
Pagi mulai merekah. Beberapa surau mulai mengumandangkan adzan subuh, dan akhirnya segala penjuru terdengar nama Allah diagungkan.
Perjalananku pun mencapai ujungnya. Ketika adzan berakhir, aku telah sampai pada tujuanku.
Aku diturunkan di tempat rendezvous. Kemudian membayar biaya travel sebesar 100.000 dan supir meninggalkanku sendirian.
"Man, Aku sudah di Pasarbaru. Kamu segera kesini ya!" Aku menghubungi lagi kawanku.
Tak lama kemudian, tidak sampai lima menit seseorang bertubuh gempal yang amat kukenal datang dengan motor dan senyum yang sama seperti beberapa tahun lalu.
"Kumaha damang bro?" Aku mencoba menyapanya dengan bahasa Sunda, dia orang Tasik. Kemudian kami bersalaman.
"Baik, baik... Haha. Ayo langsung ke kos aja Gin"
Akhirnya aku dibonceng ke kosnya. Dekat, hanya tiga menit.
Kemudian di kosnya, tak sempat aku tidur barang semenit. Hanya beristirahat sambil leyeh-leyeh dan bercerita kemana-mana dengan Iman dan Bos. Merutuki nasib karena nggak lulus-lulus, sekaligus menertawakan diri karena tidak pernah berikhtiar lebih buat menyelesaikan skripsi.
Masih seperti dulu, kedua kawanku ini memang gemar anime, manga, jepang-jepang, dan suka JKT48. Tak heran kamar mereka dipenuhi poster idola mereka, dan poster-poster salah satu klub bola yang didukung Bos, Liverpool.
Pukul 06.00 Iman mengajakku sarapan, disaat itu bang Dino kembali menelpon.
"Gin, kamu sudah di Padang kan?"
"Iya bang. Kasih aku nomor anak SDU yang mau ke Kerinci bang!"
"Oke, nanti aku kirim lewat sms aja ya"
Kemudian aku dihubungkan dengan seseorang yang bernama Jeff.
Uda Jeff ini salah satu pengurus di mapala tersebut. Maka aku kemudian menghubunginya. Si Uda kemudian menanyai lokasiku, dia berniat menjemputku. Tapi aku pikir sebaiknya aku saja yang mendatangi sekret Mapalanya, biar nanti diantar sama Iman, daripada merepotkan. Lagipula aku masih belum membeli beberapa logistik untuk pendakian.
Akhirnya kami menyepakati bahwa jam setengah sembilan kita berkumpul di sekret mapala svarna dwipa.
Selesai sarapan aku kemudian mencari minimarket terdekat untuk melengkapi logistik pendakian. Aku agak terkejut mendapati kenyataan bahwa yang namanya indomaret dan alfamart tidak eksis disini. Sama sekali tidak ada. Aku tanyai Iman, alasannya.
"Memang nggak boleh Gin. Dilarang. Ya kalo ada minimarket kayak gitu kasian toko-toko kelontong kecil disini. Mereka pasti tergusur, kalah saing. Padahal di Padang ini orang berdagang kelontong itu banyak. Kasian kan kalau perekonomian mereka terkalahkan kapitalisme pemilik modal dari Jakarta?"
"Ooo gitu..." Aku membenarkan saja. Begitu rupanya. benar juga.
Akhirnya aku membeli logistik pendakian di salah satu warung kelontong yang lumayan lengkap. Semua hal yang ingin aku beli saat itu tersedia. Semua sudah lengkap.
Pukul delapan pagi aku meminta Iman mengantarkanku ke sekretariat mapala Svarna Dwipa. Aku kemudian bertemu dua orang asing yang nantinya akan mendaki Kerinci bersama. Dua orang asing yang kemudian menjadi sahabat baruku. Dua orang yang sangat menyenangkan untuk diajak bertualang.