Bandara Militer Ranai, Kamis 28 Agustus 2014
Berat rasanya, sebentar lagi aku akan meninggalkan kepulauan ini. Sebuah tempat jauh dari Jayakarta, tiga-empat hari perjalanan kapal. Sebuah tempat yang empat puluh hari lalu sangat asing bagiku, namun kini tak ubahnya seperti tanah saudara-saudaraku sendiri. Tanah terjauh dari gugusan kepulauan Nusantara.. Mungkin Gadjah Madapun tak pernah mengenal tempat ini.
Inilah kota Ranai, sebagian kecil dari Nusantara. Tapi bagian yang tak terpisahkan. Menjadi kota terbesar dari Kabupaten Natuna Archipelago, Propinsi Kepulauan Riau. Daerah kaya gas alam yang setahun-dua tahun kedepan membuat negeri Tirai Bambu terpikat menggaetnya.
Aku berada disini, diantara penduduk-penduduk Melayu yang sangat ramah, bersiap meninggalkan pulau. Pengabdianku sudah selesai.
Bandara Ranai pagi ini ramai. Satu pesawat militer sudah terparkir di landasan. Dan itu satu-satunya pesawat. Jenis Herkules tua yang mungkin usianya sama dengan usia Bapakku. Masih terlihat gagah, dengan cat loreng khas tentara nasional. Serta sebuah tulisan Indonesian Air Force samar terlihat di badan pesawat. Tak ketinggalan cat merah putih di bagian ekornya menandakan kalau ini pesawat adalah milik Indonesia. Beberapa polisi militer mondar mandir disekitar pesawat, dengan baju biru muda yang khas. Beberapa prajurit tentara dengan seragam loreng juga terlihat.
Itu adalah pesawat barang. Semestinya. Biasanya mengantarkan dokumen, senjata, logistik, dan perlengkapan TNI. Bukan mengangkut manusia karena didalamnya tidak ada kursi.
Namun aku berada disini, saat ini dengan lima kawanku, dan hampir seratus limapuluh warga Natuna akan menaiki pesawat itu.
Bukan dikomersilkan, katanya. Tapi untuk membantu warga yang ingin berkunjung ke pulau seberang atau merantau ke ibu kota Propinsi.
Disini akses keluar-masuk pulau sangat terbatas. Hanya ada 2 kapal besar setiap bulan yang berlabuh. Sehari hanya ada 1 atau 2 pesawat komersil yang mendarat di bandara. Dan untuk menebus satu bangku tiket pesawat harganya terlalu tinggi untuk nelayan sederhana seperti kebanyakan penduduk Natuna.
Maka pesawat barang ini adalah alternatif. Hanya sebulan sekali memang. Hanya di akhir bulan. Namun kedatangannya sudah ditunggu berhari-hari. Kubilang alternatif, karena harganya lumayan murah, setengah atau sepertiga dari harga tiket pesawat komersil.
Tujuan pesawat ini juga kebanyakan destinasi favorit warga Natuna, yaitu Tanjung Pinang, Medan, dan Pekanbaru.
Maka pagi ini, aku bersama lima kawanku, dan seratus lima puluhan warga Natuna sedang bersiap menaiki burung-besi-sepuh itu. Satu persatu kami (dan barang-barang kami) ditimbang. Bukan pakai timbangan elektronik atau timbangan canggih seperti di Ibukota Jayakarta. Timbangannya tak ubah seperti timbangan berat badan yang terpasang di kamar mandi. Hanya itu. Tak ada takaran pasti berapa kilogram beban yang boleh dibawa. Hanya kata seorang penjaga, (Polisi Militer) bilang bahwa setiap kita hanya diperkenankan membawa barang satu tas. Tidak boleh lebih. Tapi terserah seberapa berat tas yang dibawa. Sepertinya tidak masalah. Yang penting hanya membawa satu.
Karena aku dan keempat kawanku belum ada yang pernah menaiki pesawat seperti ini, tidak tahu menahu soal aturan berat tas, maka kami kelimpungan.
Aku membawa Carrier, ditambah sekardus oleh-oleh. Begitu juga kawanku.. Bahkan ada yang lebih parah. Menenteng dua kardus, kanan-kiri. Niatnya untuk oleh-oleh dan dibagikan ke sahabat-sahabat kami di tanah jawa. Tapi demi kemaslahatan bersama, dan demi penerbangan pesawat tua itu lancar di angkasa, maka kami harus menaati aturan.
Jadilah barang-barang kami titipkan ke bang Rei.. Orang yang sangat berjasa selama pengabdian kami. Termasuk tadi pagi dia yang mengantar kami ke bandara ini. Kami membongkar lagi barang kami. Mungkin ada yang bisa disesalkan di tas-tas besar kami. Sisanya, yang tidak dapat dibawa mau tidak mau memang harus ditinggal. Sayang juga sebenarnya. Cenderamata dari kebaikan warga pulau sebagian tidak dapat kami muat.
Akhirnya kami memasuki burung-besi-sepuh itu dari perut bagian belakangnya yang terbuka lebar. Pukul 08.15. Bersesal-sesal dengan barang-barang, tas-tas kami ditumpuk begitu saja, kardus, surat-surat, sebuah motor, dan seratusan manusia. Kami duduk di sela-sela tumpukan kardus, dudukin aja, begitu kata orang-orang berseragam loreng.
Kami sebagian duduk, yang beruntung mendapatkan tempat untuk pantat. Sisanya mau tidak mau berdiri, berpegang pada apapun. Burung-besi-tua berangkat. Sangat kasar rodanya ketika take-off dan suaranya berisik setengah mampus. Sempat tidak yakin apakah rongsokan tua ini bisa terbang dengan selamat atau tidak.
Burung-besi-tua sukses terbang di ketinggian 5000an kaki. Kata bapak berbaju loreng yang ikut di pesawat, burung ini memang terbang lebih rendah dari pesawat komersil, tapi beliau enggan memberi alasan. Beberapa orang mulai menyamankan diri didalam pesawat. Satu-dua pria berbaju loreng mengeluarkan benda yang membuatku agak terkejut. Mereka memainkan ponsel. Hei. Bukannya itu dilarang? "Nggak papa mas" Begitu kata orang disampingku, melihatku agak heran, sepertinya seorang disampingku paham apa yang sedang ada dibenakku. "Udah biasa".
Entahlah, mungkin karena aku merasa percaya pada omongannya, aku ikut mengeluarkan ponsel. Begitu juga kawanku, Ojan melakukan hal yang sama. Dua kawan perempuanku dan dua teman laki-laki yang lain entah ada di bagian pesawat sebelah mana.
Aku mulai memainkan lagu, sebagai pengusir kebisingan. Namun apalah daya, headsetku kalah desibelnya dengan suara mesin.
Aku memperhatikan sekeliling. Kanan, kiri, atas, bawah, depan, belakang. Kabel-kabel di pesawat terlihat memanjang diatas. Tidak ada penutup. Seperti sudah dikuliti, menjulur kemana-mana. Seperti urat nadi yang terbuka, siapapun bisa menariknya, (kalau dia mau mencelakakan seratus lima puluh orang).
Pukul 09.50 pesawat dengan sangat kasar mendarat di Tanjung Pinang. Ibu kota Kepulauan Riau. Semua berguncang. Ini pendaratan terburuk seumur-umur. Beberapa kardus jatuh dan menimpa penumpang. Kemudian suara decit rem yang ditarik dengan kekuatan penuh membuat kuping ngilu.
Toh akhirnya pintu belakang dibuka. Selamat sampai Tanjung Pinang. Syukur alhamdulillah. Kami semua diminta turun. Tapi tidak boleh jauh-jauh dari pesawat.
Penumpang yang turun di Tanjung Pinang keluar dari bandara. Beberapa petugas seragam loreng menurunkan barang-barang yang mesti diturunkan di bandara ini. Aku agak khawatir bilamana carrierku ikut terbawa oleh petugas. Bisa repot.
Tapi ternyata yang turun lebih sedikit daripada yang akan naik. Akupun tidak menyangka, di bandara ini ada beberapa penumpang yang dinaikkan juga. Tujuan mereka Medan atau Pekanbaru.
Maka bukannya berkurang beban, tapi malah bertambah. Burung-besi-tua muatannya terlalu banyak. Semoga Tuhan memberkati perjalanan kami selanjutnya, batinku.
Selang setengah jam kami dipersilakan naik pesawat lagi. Kali ini sial. Aku tidak dapat tempat untuk sekadar mengistirahatkan pantat. Aku berdiri. Yap. "Cuma berdiri dari Tanjung Pinang sampai Medan. Nggak lama. hanya 1000 Km" Batinku, menghibur.
Pesawat take-off lagi dengan kasar, seperti sebelumnya. Dengan suara berisik sama parahnya.
"Pernah naik metromini atau kopaja nak?" Seorang bapak disampingku bertanya padaku.
Aku menjawab, mencoba mengalihkan kebungkaman. "Pernah pak. Beberapa kali. Saya dulu sering bolak-balik Jakarta-Bogor."
"Bisa dibilang ini Metromini jalur udara, haha" Dia berkelekar
Aku ikut tertawa saja.
"Nanti kamu akan merasakan yang lebih parah. Tunggu saja." Sepertinya bapak ini beberapa kali pernah naik Herkules.
Tapi betul memang. Selang beberapa menit kemudian, hal terparah dan menyebalkan terjadi. Pilot dengan tiba-tiba menurunkan ketinggian. Seenaknya. Hal itu membuat jantungku seolah tertinggal ratusan kaki diatas sana, sedangkan tubuhku sisanya sudah berada dibawah. Faaak. Kami semua mengomel, setelah teriak tak karuan dan tertawa. Suasana didalam pesawat jadi Grrr.... Semua berkomentar, menyalahkan pilot. Beberapa pria berbaju loreng senyum-senyum saja. Termasuk bapak disampingku.
"Ini yang mau saya bilang tadi. Masih ada kelanjutannya nak. Nanti saat melewati kepungan awan. Akan terasa menggeronjal seperti melewati jalan berlubang, tapi ngebut. Lihat saja"
Lagi-lagi ucapannya benar. Pesawat melewati gumpalan awan dan membuat bergetar seperti bus melewati jalan berlubang dalam keadaan mengebut. Semua bergetar. Seisi pesawat berguling. Beberapa kardus jatuh lagi.
Penderitaan itu akhirnya berakhir setelah pukul 12.00 pesawat landing di Bandara Soewondo, Medan. kami semua disuruh turun dan seperti sebelumnya, ada petugas yang menurunkan barang, dan ada yang memasukkan barang. Ada tambahan beberapa orang yang naik lagi. tapi lebih sepi dari yang tadi.
Kali ini aku dapat tempat duduk. Diatas sebuah kardus yang dibungkus menggunakan isolasi kuning bertanda alamat Halim Perdana Kusuma. Pesawat berangkat lagi, tujuanku sekarang semakin dekat. Pekanbaru.
Setelah mengudara satu jam dari bandara Soewondo, pesawat kemudian turun di sebuah bandara yang sepertinya bukan di Pekanbaru. Mendaratnyapun hanya berhenti semenit, dan pada menit berikutnya langsung terbang. Rupanya pesawat singgah di sebuah daerah yang bernama Dumai, 100an Km dari Kota Pekanbaru, dan mengangkat 3 personil tentara.
Membuatku agak heran juga, Ha, pesawat turun hanya untuk mengangkut 3 orang, kemudian tinggal landas lagi? mainan macam apa ini.
Akhirnya penderitaan benar-benar usai setelah burung-besi-tua sukses mendarat di landasar TNI AU Roesmin Nurjadin, pangkalan militer disamping bandara Sultan Syarif Kasim II. Aku sempat setengah percaya, baru tadi pagi kami di Natuna, kemudian masuk "metromini", bergoyang-goyang, dan sekarang jelang sholat ashar aku sudah berada di Pekanbaru. Ribuan kilometer dari tempatku tadi pagi.
Siang ini kami sholat di masjid kecil depan bandara, menunggu barang kami di sortir. Dan alhamdulillah semua lengkap. Bahkan notebookku yang aku khawatirkan pasti bakal pecah berantakan nyatanya sehat-sehat saja.
Setelah solat dhuhur-ashar, kami sudah dijemput orangtuanya Ojan yang memang asli Pekanbaru. Menggunakan dua mobil dan kami berenam akan menuju rumah saudaraku untuk menginap sehari dua hari kedepan.
Petualanganku masih berlanjut. Ketika dua hari kemudian kawan-kawanku meninggalkan Pekanbaru menuju kota Pararaton, aku malah bersiap melanjutkan petualanganku ke tanah minang dan mendaki Kerinci.