Basecamp. Langkah Pertama

|

Kujalani petualangan ini
Untuk mensyukuri keajaiban
Untuk dunia yang tak pernah seimbang berputar
Untuk cahaya-cahaya
Ah, untukmu telah memenuhi partikel jiwaku
(Ed-Zou)

Sukowati, Juli tanggal 9. Hari Rabu.
Ini hari yang sangat bersejarah. Hari ini pemilihan presiden.
Siapa pemimpin Indonesia selama lima tahun kedepan ditentukan hari ini. Adalah dua pasangan capres cawapres yang berkompetisi. 2 pasangan sama-sama bersaing ketat memperebutkan bekas singasana pak Beye. Kedua pasangan memiliki basis pendukung yang sama kuat, sama ngototnya. Periode kampanye yang sangat melelahkan, debat-debat, black campaign, dan trik-intrik dua stasiun televisi yang memuakkan.
Bagi empat orang calon presiden dan wakil presiden, hari ini mungkin menjadi hari yang paling mendebarkan. Tidak bisa tidur semalam, dan terus berdegup cepat jantungnya menyaksikan pertaruhan. Pertaruhan. Iya. Berapa banyak tenaga sudah terbuang, janji ditebar, dan miliaran rupiah digelontorkan. Demi hari ini. Demi jam 7-12 pagi hari ini.
Demokrasi bung. Inilah demokrasi. Sebuah penemuan yang dikata paling fenomenal di dunia.
Aku sepagi ini berada di antrean terdepan. Diberi lembar kertas bergambar empat orang itu. Masuk bilik dan mencoblos salah satu pasangan kemudian keluar dan mencelupkan jari manis ke tinta.
Tidak ada yang spesial. Hanya begitu. Hanya melaksanakan kewajiban dan hak sebagai warga negara.
Aku berada di antrean terdepan. Bukan berarti aku antusias dengan pemilihan macam ini. Aku berada di antrean terdepan karena sesaat lagi petualanganku akan dimulai. Aku harus bergegas. Melaksanakan kewajiban sebagai warga negara, dan secapat kemudian harus meninggalkan kota ini. Petualanganku akan dimulai siang ini ba'da Dhuhur. Dan itu dimulai dari kota Pararaton, dua jam setengah perjalanan dari kota Sukowati.
Aku bergegas. Perlengkapanku sudah siap semenjak beberapa hari lalu dan sudah berada di kota Pararaton. Maka aku hanya perlu membawa diri serta restu kedua orangtua dari kediamanku ini.
Aku berangkat menuju terminal terdekat di kota ini. Kemudian naik bus sampai Surakarta. Dari Surakarta masih perlu satu kali lagi naik bus hingga akhirnya aku sampai di kota Pararaton pukul sebelas pagi.
Kami akan mengabdi sampai Akhir Agustus ke sebuah pulau yang sudah kami rencanakan semenjak November tahun lalu. Nama pulau itu Rinai, Propinsi Pulau Tujuh. Salah satu deretan kepulauan terdepan milik bangsa ini. Pulau paling utara sisi barat, berbatasan dengan laut milik 4 negara Asean.
Aku segera berangkat ke kampus. Tempat pertemuan 23 mahasiswa yang akan mengabdi ke kota Rinai. Aku membawa carrier, blue ransel milikku yang semestinya berkapasitas 60liter tapi kupaksa muat 70liter. Kuhitung beratnya 25kg. Serta kutenteng sebuah bola sepak yang nantinya akan aku mainkan bersama anak-anak kota Rinai.




Termasuk paling sedikit barang bawaanku ini, kalau dibandingkan dengan rekan-rekan se-timku.
"Kau mau naik gunung Gin?" Salah satu temanku menegur.
Style-ku hari ini memang terlihat seperti mau mendaki gunung. Menggendong ransel besar, memakai sepatu gunung, dan mengenakan jaket.
"Ya.. aku sepertinya akan mendaki Gunung Rinai. Nanti disela-sela program pengabdian kalau sempat." Begitu jawabku. Gunung Rinai adalah satu-satunya gunung yang menopang kota Rinai. Gunung ini berada tepat ditengah-tengah pulau. Sementara disekeliling lerengnya adalah rumah-rumah penduduk yang langsung berbatasan dengan laut teduh antara selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan. Aku memang berniat mendaki gunung itu. Selain target utamaku, KERINCI tentu saja.
Maka separuh blue ranselku isinya adalah perlengkapan gunung. Aku membawa sleeping bag, kompor, nesting, gas, dan berbagai macam perlengkapan gunung lainnya namun tidak termasuk tenda.
Selepas dhuhur ada sedikit pengarahan dari perwakilan rektorat di teras gedung terbesar di kampus ini. Sedikit bla-bla-bla tentang apa yang boleh dan tidak boleh, wajib dan tidak wajib dilakukan selama pengabdian.
Setelah itu kami memasuki bus yang memang kami sewa untuk mengantarkan kami ke pelabuhan Priok, pelabuhan terbesar di Negara ini. Keberangkatan dari kota Pararaton inilah awal mula petualanganku.
Seisi bus penuh dengan barang-barang. Buku-buku, alat peraga, logistik, sampai printer pun kami bawa dari kota Pararaton ini. Ini pengabdian. Kami tidak mau merepotkan pemerintah setempat dengan meminta-minta.
Bus melaju melewati ring selatan kota Pararaton, terus menyusuri sisi selatan pulau jawa, berjalan ke barat mengejar matahari senja. Lama. Terus ke barat. Namun belum juga kami dapat matahari itu. Semakin jauh ke barat, dia pun semakin menjauh. Hingga akhirnya oleng juga si matahari. Namun sekali lagi kami gagal menangkapnya. Karena sebelum kami sempat menangkap matahari itu, dia terlebih dahulu tenggelam.
Kami berhenti sejenak. Capek juga mengejar matahari senja. Kami berbuka puasa di rumah makan pinggir jalan yang harganya selangit. Kemudian melaksanakan sholat maghrib isya. Perjalanan dilanjutkan. Bus ukuran sedang ini melaju dengan kecepatan yang sedang pula. Perjalanan menuju Pelabuhan Priok masih jauh. Mungkin dini hari baru sampai.
Perkiraanku sepertinya meleset. Tengah malam pukul 12 bus baru sampai Bandung. Masih 3 jam untuk melewati tol kemudian sampai ibukota. Masih 2 hingga 3 jam setelah itu untuk kemudian sampai pelabuhan. Sehingga aku mengira baru pukul 6 nanti pagi bus sampai pelabuhan.
Maka aku kemudian tidur saja. Dalam rentang waktu yang masih panjang ini tidak banyak hal yang bisa aku lakukan selain memandangi jendela dan tidur.
Bangun dari tidur aku terkejut. Banyak sekali peti kemas di kanan-kiri, depan, belakang. Ratusan. Tidak, ribuan bahkan lebih. Truk-truk besar beroda banyak juga terparkir. Bus rupanya sudah merapat di pintu masuk pelabuhan.
Aku cek waktu di ponselku, aku lebih kaget lagi. Masih pukul 3.30 dini hari. Betulkah ini? Se-ngebut apapun seharusnya jam segini masih sampai ibukota.
Aku buka GPS dan kemudian memahami kebodohan kalkulasiku. Rupanya dari Bandung bus tidak perlu keluar tol dan masuk jalanan ibukota. Jalan tol dari Bandung memang sampai Ibukota. Namun masih nyambung terus sampai utara, sampai pelabuhan Priok ini. Jadi semenjak dari Bandung tadi bus cuma lewat jalan tol. Pantas saja cepat.
Masih kantuk, muka kumal dan berminyak tapi kami harus turun. Sudah sampai pelabuhan. Barang-barang sejumlah 50an kardus serta puluhan koper dan tas kami turunkan dari bus. Agak heran juga aku awalnya karena kami membawa buah-buahan besar seperti melon dan semangka, air satu galon penuh, magic com, dan makanan kering. Tapi ternyata berguna juga di kapal nanti.
Kami ditinggal begitu saja sama sopir bus. Sialan.
23 orang ini akhirnya seperti gelandangan saja duduk diteras depan, dekat pintu masuk dermaga. Dengan setumpuk barang yang sangat amat banyak disekelilingnya.
Hal ini membuat orang-orang 'penghuni' pelabuhan memincingkan mata. Ada apa gerangan 23 orang yang kelihatan terpelajar ini berada di pelabuhan. Jam segini pula.
Beberapa calo mendatangi kami. Mereka adalah kuli angkut pelabuhan. Merayu dan bermanis-manis menawarkan jasa.
"Kapal berangkat siang, mungkin lepas dhuhur." Begitu jawab seorang calo ketika ditanya kawanku.
"Bukannya jadwalnya pukul 9 pagi bang."
"Jangan percaya sama jadwal. Biasanya seperti itu."
Sudah pukul 4 pagi rupanya.
"Aku mau sahur dulu. Disini ada warung bang?" Aku tanya sama abang calo yang ternyata aslinya dari Gunung kidul itu.
"Ada. Diatas, lantai 2. Naik aja tangga itu."
Aku makan sahur sambil nonton pertandingan semi final piala dunia antara Belanda melawan Argentina. Sehari sebelumnya tim jagoanku menang telak melawan tuan rumah Brazil dengan skor 7-1 sehingga berhak maju ke final melawan salah satu dari dua tim yang sedang aku tonton saat ini.
Pertandingan berjalan alot. Sampai subuh kedudukan masih imbang. Sampai perpanjangan waktu sudah habispun masih imbang. Akhirnya dilanjutkan dengan adu penalti. Dan aku kecewa karena bukan Belanda yang maju ke final.
Selepas subuh aku bingung. Tidak banyak hal yang dapat dikerjakan. Mau jalan-jalan tapi kita harus jaga barang yang jumlahnya seabrek. Beruntung waktu luang ini bisa aku gunakan untuk tilawah. Tapi habis tilawah aku diajak main kartu.
Pukul delapan kawanku yang bawa tiket datang.
Dari kota Pararaton kami berjumlah 26 orang.  2 orang sudah berangkat duluan, seorang lagi ditugasi membeli tiket sehingga sudah stay di ibukota sejak 3 hari lalu. Sementara 23 orang termasuk aku berangkat kemarin naik bus.
Gerbang dermaga dibuka. Kawanku menyerahkan 24 tiket ke petugas. Kemudian kami mengangkati semua barang masuk ke ruang tunggu. Aku dan kawan-kawanku, terutama yang pria, bolak-balik sampai lima kali mengangkati barang. Itu masih sampai ruang tunggu. Belum keatas kapal.
Kapal sudah sandar, tapi sialnya kapal bernama Bukit Raya itu berada 300 meter dari tempat kami berada saat ini. Faaak.
Dalam keadaan puasa dan teriknya matahari siang Pelabuhan Priok yang begitu garang, kami memiliki tekad yang jauh lebih garang. Darah muda penuh gelora dengan semangat mengabdi. Semua orang mendapatkan energi untuk mengangkat puluhan kardus, tas, koper, galon. Bolak-balik. Saling membantu. Dari ruang tunggu ke pinggir kapal. Dari pinggir kapal diangkat ke atas dek 3.  Berjejal-jejal dengan puluhan, ratusan penumpang lain yang memandang penuh iba.
Capek, tentu saja. Menggendong carrier atau tas dibelakang, membawa kardus dengan tangan depan, bolak-balik 5 kali. Bukan cuma aku, semua juga merasakan hal serupa. Tapi akhirnya semua termuat didalam dek kapal.
Bagiku, berada di Pelabuhan ini tak ubahnya seperti berada di Basecamp pendakian ketika akan mendaki gunung. Melakukan registrasi, meminta izin, dan menyerahkan tiket. Dan ketika Kapal Bukit Raya ini angkat sauh, ketika cerobong asap melengkingkan suara "buuuum" maka dari situlah langkah pertamaku dimulai. Seperti meninggalkan Basecamp, langkah setelah ini adalah alam liar yang ganas, bisa terjadi hujan, badai, dan kemungkinan tersesat.
Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback