Angin terbangun dari duduknya.
Matanya melotot, napasnya tersengal. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya. Angin terdiam beberapa saat, pandangannya mati di satu titik. Di titik itu, ya. Tepat di titik itu baru saja bayangan Sakura menghilang.
Semenit dia memandangi titik itu. Sampai dia berkedip.
Perlahan dia mulai tersadar. Realitasnya telah kembali.
Angin menyadari keadaannya saat ini. Jasadnya sedang terduduk jongkok di suatu siang di bangku panjang taman kota Pararaton.
Dia berpikir sejenak, memikirkan sejak kapan dan untuk alasan apa dia berada disini saat ini.
Ingatannya kembali. Dia memahami alasannya.
Rupanya sudah dua jam dia berada disini.
Angin menghela napas panjang.
Ingatannya kembali. Dia memahami alasannya.
Rupanya sudah dua jam dia berada disini.
Angin menghela napas panjang.
Baru saja Angin mengalami waham. Ini sudah yang sekian kalinya dalam sepekan terakhir.
Dia merasakan pikirannya tak mampu lagi dikendalikan. Dia tiba-tiba tercebur dalam fantasi tanpa mampu menghindarinya.
Realitas dan delusi sudah membolak-balikkan hidupnya sebulan ini. Saat ini bahkan jarak diantara keduanya sangatlah tipis. Apa yang dialami dalam delusinya begitu nyata. Seolah-olah itulah realitas sesungguhnya.
Dia merasakan pikirannya tak mampu lagi dikendalikan. Dia tiba-tiba tercebur dalam fantasi tanpa mampu menghindarinya.
Realitas dan delusi sudah membolak-balikkan hidupnya sebulan ini. Saat ini bahkan jarak diantara keduanya sangatlah tipis. Apa yang dialami dalam delusinya begitu nyata. Seolah-olah itulah realitas sesungguhnya.
Angin hanya mampu mendeteksi kehadirannya. Setiap kali dia mengosongkan pikiran dan pandangan, alam delusi mulai menyeretnya. Semakin kosong maka semakin kabur. Realitas dan delusi membaur. Dia kemudian benar-benar berada dalam pengaruh khayalan.
Dia bisa tersadar, tapi dia tidak pernah tahu kapan seharusnya tersadar.
Seperti hari ini.
Dia tiba-tiba terseret dalam fantasi, kemudian dengan tiba-tiba pula dia tersadarkan.
Dalam keadaan yang mengenaskan.
Angin memandangi kedua telapak tangannya. Dibalik-baliknya telapak tangan itu.
Dalam delusinya barusan dia menggenggam kedua tangan Sakura.
Baru saja dia merasakan kehadiran Sakura dengan jelas didepannya. Mereka mengobrol banyak, Angin bercerita tentang petualangannya, Sakura mendengarkan dengan antusias. Kemudian Sakura pergi. Angin melepaskan genggaman Sakura.
Benar-benar nyata.
Menyedihkan.
Angin tersadar bahwa itu semua hanyalah bualan pikirannya.
Angin mengepalkan kedua tangannya. Mencoba membunuh sisa-sisa ilusi yang masih mengikat. Ditinjunya bangku tempat dia duduk.
"Aaargh...Bangsaaaaat" Angin berteriak.
Kemudian diam.
Perlahan Angin mulai tersenyum simpul. Semakin lama senyumnya semakin melebar hingga akhirnya tawanya pecah. Dia tertawa terbahak-bahak, keras sekali. Kemudian diam dan tersenyum kembali. Tawa yang pilu. Senyum yang aneh. Kemudian berteriak dan mengumpat entah sembarang kata. Angin tidak peduli. Dia kembali tertawa. Orang-orang melihatnya dengan pandangan aneh. Angin lebih tidak peduli.
Perlahan Angin mulai tersenyum simpul. Semakin lama senyumnya semakin melebar hingga akhirnya tawanya pecah. Dia tertawa terbahak-bahak, keras sekali. Kemudian diam dan tersenyum kembali. Tawa yang pilu. Senyum yang aneh. Kemudian berteriak dan mengumpat entah sembarang kata. Angin tidak peduli. Dia kembali tertawa. Orang-orang melihatnya dengan pandangan aneh. Angin lebih tidak peduli.
Dia kembali berteriak.
"Brengsek. Aaaaarrgh"
Angin mengacak-acak rambutnya.
Terlalu lelah dia dipermainkan oleh pikirannya.
Dia kesal karena tidak berdaya.
Terlalu lelah dia dipermainkan oleh pikirannya.
Dia kesal karena tidak berdaya.
Angin bangkit. Berjalan gontai meninggalkan bangku taman.
Mukanya sayu, rambutnya acak-acakan. Pandangan matanya menyiratkan derita.
Angin benar-benar lelah dan tidak berdaya menghadapi khayalannya sendiri.
Tragis.