Inilah petualangan di dalam pikiranku
Untuk sekedar mendampingi kealpaan
Bahwa esok aku tak sendiri merasa paling tertipu
(Ed-Zou)
Kamis 11 September 2014
Selepas turun dari pick up tukang sayur itu kami kemudian berjalan. Cisurupan pagi ini benar-benar ramai. Ini pasar. Segala macam orang berkumpul disini. Dari ustadz sampai bangsat juga ada. Tumplek blek bertransaksi bermacam kebutuhan. Lalu lalang manusia sudah macam kerumunan semut. Bukan lagi puluhan atau ratusan orang. Mungkin seribuan orang hari ini sudah muter-muter sekitar Pasar Cisurupan.
Pasar adalah seburuk-buruknya tempat. Begitu kata Rosul kami. Dan itu memang benar.
Orang-orang berteriak. Mengumpat. Menyinyir menawar harga dengan beragam cara. Tertawa terbahak bertemu kawan lama.
Bukan cuma manusia yang mengisi riuhnya pasar. Tikus-tikus got juga ikutan mondar mandir, mencari rezeki dari tumpukan sampah yang membusuk di sudut pasar. Kumuh. Debu bertebaran disana sini. Ah, jangan lupakan lalat, kucing liar, bau ikan, bau terasi, bau segala macam bau.
Diantara brengsek-brengsek pasar itu tersebutlah kami, empat orang nomaden yang baru saja turun gunung. Dengan pakaian kumal, bau badan, muka kusut, tapi berjalan acuh seperti perlente. Ibarat gembel kami berjalan menyusuri pinggiran pasar. Pandangan orang tidak perlu digagas. Kami ini memang petualang. Berkotor-kotoran selagi muda.
Formasi kami masih empat orang. Tidak bertambah atau berkurang setelah turun Papandayan.
Gue, Edzou, Reja, sama Cumi. Edzou dia yang paling menjiwai petualangan nomaden seperti ini. Dia terobsesi pada Alexander Supertramp yang bertualang sampai Alaska dan mati ngenes keracunan tanaman kentang. Kalau Reja, dia sejarawan nyasar yang lagi mendalami beladiri biar jadi jagoan kayak Bruce Lee. Cumi, kerjaannya dari smp nggak pernah ganti, jadi kiper sepakbola. Dan gue, mahasiswa tingkat akhir yang lagi menikmati petualangan panjang tapi tiap hari ditelpon emak disuruh pulang.
Kami hanya berjalan saja. Menggendong tas ransel berbobot 15an kilo. Kami sedang kelaparan. Semenjak kemarin baru sekali makan nasi, itupun kemaren siang saat kami masak di pondok salada, Gunung Papandayan.
Maka berjalannya kami adalah dalam rangka mencari warung nasi yang bener-bener murah dan bisa bikin kenyang.
Tapi sialnya baru sebentar kami jalan, seorang tukang ojek yang kemarin pagi nganter kami ke basecamp Papandayan datang ke hadapan kami. Awalnya gue kira dia bakalan marah karena kami nggak jadi turun naik ojeknya, tapi malah naik pickup sayuran. Maka gue dalam pikiran udah nyiapin jawaban yang emang bener-bener logis dan bukan hanya itu tetapi juga menyudutkan si tukang ojek.
Bagaimana enggak? Awalnya kami punya kesepakatan dengan mereka, untuk mengantar rombongan dari Cisurupan ke basecamp Papandayan, kemudian menjemput keesokan harinya (hari ini) jam sembilan pagi dan mengantarkan kami ke basecamp gunung Cikuray di Cikajang. Tapi hampir satu jam kami menunggu di basecamp Papandayan dan mereka belum datang juga untuk menjemput kami. Dikasih nomor Hp memang, tapi bahkan sinyal Telkampret pun nggak menjamah wilayah basecamp, jadi kami mau nggak mau naik pickup sayuran yang kebetulan mau turun dan membatalkan perjanjian kemarin pagi secara sepihak.
Tapi anggepan gue salah. Dia nggak marah. Mungkin dia sadar kesalahan yang udah dia lakukan. Dan si tukang ojek menanyai kami dengan santai. "Jadi ke Cikuray nggak kang? Katanya mau naik ojek?"
Agak kesel juga gue jawab. "Kagak jadi A'. Kita udah nungguin Aa hampir sejam tapi nggak dijemput. Kami tetep ke Cikuray, tapi nggak naik ojek."
Akhirnya kami tinggalkan saja tukang ojek itu.
Tapi nggak lama kami jalan dateng lagi calo brengsek yang nawarin jasa angkutan. Ditawarin pake beragam cara dari halus sampai agak memaksa. Dan gue jadi tambah kesel.
"Nggak bang. Kita mau makan dulu. Mau beli logistik dulu. Udah abang cari penumpang lain aja."
Gue bener-bener kesel. Disini calo angkot betebaran. Satu orang pergi dateng lagi yang lain. Nanya hal serupa, nawarin jasa angkot. Udah gue kasih tahu kalau kita mau makan dulu. Mau beli logistik dulu. Tapi tetep aja ngeyel. Bahkan ada yang sampai niat nungguin kita makan sampai selesai. Bener-bener nggak nyaman kalo diperlakukan kayak gitu.
Tapi toh akhirnya kita nemuin juga warung makan di pasar Cisurupan itu. Dan prasmanan, alias ngambil sendiri nasi sama lauknya. Nggak pake lama kami akhirnya makan dengan porsi kayak tukang bangunan yang kecapean seharian kerja.
Sembari makan, ngecharge hape yang udah ngedrop adalah pilihan tepat.
Warung ini lumayan murah. Gue abis 10.000. Dapet nasi ayam, kentang balado, sayuran, sama minum teh.
Setelah makan kami berjalan lagi ke pinggiran jalan. Dan ternyata si tukang angkot masih setia nungguin. Oh god. Bener-bener niat nih orang. Padahal kami belum punya satu tujuan yang pasti. kami masih dilema antara pilihan tiga jalur pendakian.
Yang pertama adalah jalur resmi via Cilawu. Ini jalur yang paling umum dilewati. Ada basecampnya, ada registrasi resmi, dan jalur pendakiannya juga udah gue download di GPS hape gue. Tapi jalur ini jauh dari tempat kami berada saat ini. Harus tiga kali ganti kendaraan, yaitu ke terminal Guntur di Garut kota, kemudian ke cilawu, dan terakhir naik ojek atau pickup ke basecamp.
Yang kedua jalur Cikajang. Ini yang paling deket sama tempat kita saat ini. Cuma perlu naik angkot satu kali. Tapi gue nggak punya referensi sama sekali mengenai jalur ini. Setahu gue jalur ini nggak resmi meskipun jalurnya kelihatan jelas.
Yang ketiga adalah jalur Bayongbong. Ini lebih parah. Kami sama sekali nggak tahu jalur yang satu ini. Juga nggak populer di internet. Cuma ada beberapa catatan pendakian yang lewat jalur ini, tapi kurang meyakinkan.
Kami lama berpikir dan akhirnya entah kenapa abang tukang angkot pergi meninggalkan kami. Mungkin kesal juga dia kelamaan nungguin.
Akhirnya ada satu tukang angkot yang datang dan dia bener-bener meyakinkan kami buat naik lewat jalur Cilawu. Kemudahan transportasi, jumlah uang yang mesti dikeluarkan, tempat nge-camp, jalur yang kelihatan jelas, dan izin pendakian yang resmi adalah alasan yang logis, dan kami sepakat untuk naik via Cilawu.
Tawar menawar dilakukan oleh Reja. Dia memang sengaja kami manfaatkan buat itu, karena cuma dia yang bisa berbahasa Sunda, bahasa yang dipakai oleh masyarakat sini. Dengan adanya kesamaan bahasa, memungkinkan terjadinya penawaran harga seefektif mungkin.
Dan memang benar. Yang biasanya dari Cisurupan ke terminal ongkosnya 7000 dia bisa nawar jadi 5000 per orang. Dengan alasan kata warga sini tarifnya memang segitu.
Akhirnya kami sampai terminal Guntur jelang waktu Dhuhur. Butuh setengah jam lebih dikit dari Cisurupan sampai terminal.
Kami nggak buru-buru ganti angkot yang ke Cilawu. Kami mau belanja dulu kebutuhan logistik yang udah nipis karena dipake di Papandayan. Kami ke warung kelontong dan belanja beberapa bahan seperti mie instan, roti kering, air minum, sarden, kornet, rokok, minyak goreng, telur, dan sebagainya. Tapi di warung ini kurang lengkap sehingga kami memilih melanjutkan belanja di minimarket di dekat terminal.
Setelah kebutuhan lengkap akhirnya kami berangkat naik angkot dengan tarif 5000 dan berhasil ditawar jadi 4000. Sampai Cilawu.
Masalah nggak selesai sampai di Cilawu. Ternyata tarif ojek dari Cilawu ke basecamp yang sering disebut "pemancar" sangat mahal, yaitu 35000 per orang.
"Njir. Mahal amat. Nggak bisa kurang tuh? Duit segitu bisa nyelametin petualangan gue sehari lebih lama. Eman-eman kalo cuma dipake buat naik ojek." Kata gue kaget abis nanyain tarif.
Akhirnya kita jalan kaki. Gue lihat di peta GPS gue kalo ditarik garis lurus jarak antara kedua titik cuma 5 Km. Itung-itung buat pemanasan, kata gue.
Di jalan kami nanya warga, "Punten bu, kalo ke pemancar masih jauh?" Padahal baru jalan lima menit.
"Tebih.." Dan entah apalagi yang ibu ini ucapkan. Cuma itu yang gue pahami. Tebih, artinya jauh. Dengan ekpresi muka yang mengernyit agak heran campur kasihan, itu berarti sangat.amat.jauh.sekali.
Akhirnya kita istirahat di masjid kampung. Mencuci muka yang udah berdebu karena dua hari nggak mandi. Kemudian wudhu, ganti baju, Sholat dhuhur-ashar, dan istirahat sejenak.
Selepas sholat kami berbincang beberapa patah kata dengan jamaah warga sini.
"12 Kilometer." Begitu kata bapak yang ditanyai berapa jarak dari sini ke basecamp Pemancar.
Mampus. GPS gue bilang cuma 5 Km. Tapi itu kalo ditarik garis lurus. Sementara medan sesungguhnya jalanan berliku. Dan menanjak.
Tapi demi hemat 35.000 kami semangat jalan kaki.
Untungnya ada truk yang lewat. Entah mau mengambil teh atau urusan lainnya akhirnya kami diizinkan ikut sampai pos penjaga. Ini juga berkat kemampuan Reja lobi-lobi pake bahasa sunda.
Gue kira udah deket antara pos penjaga kebun teh PT Perkebunan Nasional Dayeuhmanggung dengan pemancar. Setelah registrasi bayar 10.000 per orang, kami kemudian diberi petunjuk dimana pemancar itu berada. Ternyata memang jauh. Kami disarankan naik pickup atau ojek. Tapi gue pengen jalan.
Akhirnya kami melanjutkan jalan kaki dengan memotong melewati perkebunan teh. Luas sekali perkebunan ini ternyata. Baru berjalan sampai jam empat sore kami udah kecapean. Bisa dimaklumi, kami seharian kemarin abis dari Papandayan dan belum istirahat.
Maka kami istirahat sejenak di pematang kebun teh. Menikmati hijaunya perkebunan, hawa dingin, dan sinar matahari yang tipis jelang sunset. Sebatang tembakau menemani.
Dikejauhan pemancar kelihatan, seperti menara-menara yang dipasang diujung bukit, berbatasan langsung dengan tempat tenggelamnya matahari. Masih ada satu, dua, tiga, entah berapa bukit lagi jauhnya dari sini.
Pemancar dikejauhan itu adalah menara televisi nasional dari berbagai macam stasiun yang sengaja dipasang di ketinggian bertujuan agar seluruh kota mampu menerima sinyalnya. Ada sekitar tiga menara yang terlihat dari tempat gue duduk.
Anak-anak mulai menyerah. Melihat jauhnya menara pemancar membuat mental mereka down.
Reja kemudian diminta turun beberapa meter dan menanyai warga minta tumpangan motor biar dianter sampai pemancar. Hasilnya, tidak ada yang bersedia mengantar.
Kami malah dikasih tahu, kalau bisa maghrib sudah sampai di pemancar.
"Disini bahaya, kalau malam banyak bajing loncat. Hati-hati"
Bajing loncat adalah istilah perampok yang merampas menggunakan kekerasan. Memang, di ladang teh seluas ini hal itu bisa saja terjadi. Penerangan yang minim dan jalanan yang sepi adalah tempat yang paling sempurna untuk melancarkan aksi.
Hal ini membuat kami khawatir. Melanjutkan jalan kaki sampai pemancar setidaknya membutuhkan waktu hingga dua jam. Itu artinya kami bakal sampai di pemancar setelah isya. Dan itu bukan opsi yang bagus.
Maka Reja lagi-lagi kami minta mencari pickup dengan cara turun kembali ke pos penjaga. Untung ada warga yang bersedia mengantar sampai pos penjaga.
Lama kami menunggu Reja hingga akhirnya dia datang jam setengah enam menggunakan pickup dengan tarif 35000 per orang.
"F'ck. Percuma kita jalan hampir sejam. Ternyata tarifnya sama aja" Gue menggerutu. Kesal.
Matahari sudah terbenam. Kabut turun. Makin keatas makin tebal hingga jarak pandang hanya 15an meter saja. Seperti benar-benar memasuki dunia lain, kayak di film silent hill. Benar-benar putih berbaur dalam gelap, dan magis. Kabut bercampur hawa dingin pegunungan. Membuat kami harus mengeluarkan jaket dari dalam carrier. Jalanan belum beraspal. Masih berbatu kerikil yang tersusun lumayan rapi. Jalanan berliku, menanjak. Kanan kiri masih perkebunan teh yang semakin lama semakin tidak terlihat karena gelap.
"Sebanding lah. 35000. Jalanannya aja kayak gini. Gelap lagi." Begitu kata Cumi. Gue membenarkan.
Akhirnya kami sampai di pemancar jelang waktu isya. Kami mendirikan tenda di sebelah warung dan bisa beristirahat setelah itu. Pendakian akan kami mulai besok pagi.
Jumat 12 September 2014
Cukup sarapan pake bubur ayam instan, segelas kopi, sama beberapa batang tembakau kami percaya diri punya tenaga buat mendaki sampai siang. Memang kami sengaja nggak masak nasi biar cepet makannya, cepet buka tenda dan segera jalan.
Maka pagi betul, baru pukul tujuh kami sudah siap jalan. Kami kemudian pemanasan di halaman depan pemancar.
Ada empatbelas bocah dari Jakarta yang pengen naik bareng karena belum tahu jalurnya. Dari tampilannya kelihatan banget anak kota dengan segala bayangan hedonismenya. Pakaian tidak standar, packing tidak rapi, buang sampah dan puntung rokok sembarangan. Beberapa diantaranya gue yakin baru pertama kali naik gunung. Dikiranya gunung ini tempat wisata bagi mereka.
"Ah. Sekarang naik gunung jadi mainstream."
Si Cumi buru-buru mengiyakan permintaan mereka untuk naik bareng.
Gue nggak setuju karena kita punya plan sendiri. Membawa mereka sama saja merusak plan yang udah dibikin semalem. Merusak ritme jalan juga.
Gue bilang, "Yaudah. Gak papa kita berangkat bareng. Tapi kalo mereka lambat kita tinggal. Kita udah punya plan sendiri. Nggak mungkin kita nungguin mereka istirahat. Kebanyakan istirahat kita nggak mungkin bisa tek-tok."
Tek-tok adalah istilah naik gunung sampai puncak dan turun kembali sampai basecamp dalam waktu satu hari (di hari yang sama).
Akhirnya kami berangkat bersama mereka. Setelah melakukan registrasi di posko jaga dan ngasih tahu rencana pendakian ke petugas.
Awal pendakian medan langsung sulit.
Melewati kebun teh yang menanjak curam. Benar-benar start yang melelahkan.
Jarak antara pemancar hingga batas kebun teh hanya 800 meter. Tapi elevasi di pemancar adalah 1518mdpl dan di batas kebun teh 1774 mdpl. Itu artinya ketinggian 1774-1518=256 meter ditempuh dalam jarak 800 meter. Kalo diukur pake matematika kemiringan jalur dari pemancar ke batas kebun teh berarti
Sin (x)=256/800
Sin (x)= 0.32
x = invers dari Sin (x)=0.32 atau sin^-1 (Sin pangkat -1 dari 0.32)
x= 18.6 derajat.
Dianggap aja konstan, artinya kemiringan antara dua tempat terus-menerus seperti itu, 18,6 derajat.
Kalau mau ngitung lagi berapa usaha yang harus dilakukan,
perpindahannya 800 m,
berat badan gue 60 kg,
berat carrier gue 15 kg,
gravitasi 10 ms^-2
dan kemiringan 18,6 derajat. Cos (18.6)= 0.023
Silakan dihitung... berapa Joule energi yang harus gue keluarkan buat perjalanan dari pemancar sampe batas kebun teh.
Ah.. bullshit lah sama fisika. Yang jelas gue capek. Njir.
Dan gue juga laper karena kalori yang gue makan pas sarapan tadi udah mau habis karena joule-joule energi yang gue keluarkan buat jalan.
14 pendaki hura-hura mulai tertinggal jauh dibelakang.
Setelah perjalanan 1 jam kami sampai di pos 2. Istirahat sejenak, bikin nutrisari sama makan roti.
Setelah pos 2 bakalan ada sumber mata air terakhir di gunung ini. Setelah lewat pos 3 sudah nggak ada lagi mata air sampai puncak. Jadi kalau kalian naik Cikuray pastikan air yang kalian bawa cukup buat minum sama masak.
Setelah melewati pos 4 dan menjelang pos 5 kami bertemu anak-anak yang baru saja turun.
Ada tiga orang anak laki-laki. Gue mengira-ngira usia mereka paling masih 15 tahunan atau kurang dari itu. Bertemu dengan kami dan dengan songong seolah-olah mereka yang paling tahu soal gunung. Salah satu dari mereka berujar.
"Woy.. Kalian mending kalo ngecamp di pos 5 aja. Banyak kayu, bisa dipake buat bakar-bakar."
"Hati-hati juga, jalannya terjal. Kami aja tadi terpeleset diatas."
"Kita mau turun dulu bang. Diatas nggak ada yang bagus!"
Dalam hati gue membatin. "Oalah. Anak'e sopo kui? Gak tau diajari sopan santun po piye?"
Kalo gue nuruti emosi udah gue labrak mereka. Sama sekali nggak beretika.
Tapi kalo gue kayak gitu berarti gue sama juga bocah kayak mereka.
Biarlah. Zaman emang udah berubah. Bocah udah lupa sama kebocahannya. Semoga labilisasi mereka segera berakhir dan jadi dewasa pada waktunya.
Kami melanjutkan jalan. Bocah ababil udah turun jauh.
Medan masih terjal. Sama sekali nggak ada bonus. Perlahan namun pasti satu-persatu pos kami lewati dan akhirnya pukul 10.45 atau setelah perjalanan 3 jam lebih kami sampai di pos 6.
Pos 6 ini bisa dipake buat nge-camp meskipun nggak terlalu luas.
Kami nggak nge-camp disini. Niat kami masih sama. Tek-tok.
Di pos ini kami masak nasi. Lauknya kornet sama telur. Masak kopi anget meskipun cuaca lagi panas. Juga teh kayu Aro yang gue bawa dari Kerinci pekan lalu.
Setelah itu kami makan dan langsung melanjutkan langkah terakhir memuncaki gunung Cikuray.
Masih butuh satu jam lebih dari Pos 6 ke puncak. Treknya masih sama kayak tadi, terjal nggak ada bonus.
Kami berangkat pukul 12.00 dan sampai puncak pukul 13.30.
Puncak gunung Cikuray, puncak ke 8 gue, 2821 mdpl.
Di puncak gunung ini sudah ada bangunan tembok berbentuk kotak berukuran sekitar 3x3x3 meter. Didalam bangunan bisa dipake buat pasang 1 tenda. Bangunan ini berwarna hijau, diatasnya ada bendera merah putih.
Gue naik keatas bangunan. Berfoto-foto, melihat jejeran gunung papandayan, dan gugusan gunung lain yang gue nggak tahu namanya. Cuaca cerah, panas, namun angin lumayan kencang.
Agak lama kami di puncak, hampir satu jam.
Kami kemudian turun pukul 13.20 dan langsung lari sprint kebawah. Gue masukin sepatu gue ke carrier dan ganti pake sandal gunung, kaos kaki, dan diiket belakang. Medannya cocok untuk lari, bergelantungan, dan lompat-lompat. Maka kami kemudian dalam waktu 2 jam sudah sampai di basecamp pemancar, pukul 16.30.
Setelah sampai Pemancar kami kemudian mandi dan sholat. Dan langsung naik pickup bertarif 40.000 sampai terminal Guntur.