Lihatlah sekitarmu!
Mereka itulah yang dimaksud dengan ‘orang yang berbeda’
Lihatlah orang-orang asing itu!
(Ammar)
Pekanbaru, Ahad 5 Februari 2012
Masih pagi betul waktu itu. Gue udah bangun karena hari ini gue akan melanjutkan petualangan ke sebuah daerah yang sangat terpencil di Provinsi Riau ini. Jarak dari sini lebih dari 100 Km.
Meskipun terpencil, tapi daerah itu terkenal menghasilkan kelapa sawit. Bahkan terhitung salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di provinsi ini.
Nama daerah itu adalah Kandis. Masuknya Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Di daerah itu tinggallah salah satu kerabat dekat gue.
Gue berangkat bareng 2 orang kakak sepupu yang sudah berkeluarga. Yang satu emang niat mau kesana buat benerin jaringan listrik rumah saudara gue, yang satu hanya pengen silaturahmi sama nganterin gue.
Masih pagi betul waktu itu. Setengah tujuh pagi kami sudah berangkat. Tiga kali naik angkot, kemudian menggunakan bus ukuran sedang lintas Pekanbaru-Dumai.
Satu hal yang nggak gue suka dari kota ini. Lintasan trayek angkot di kota ini pendek-pendek. Ya, bahkan ada yang hanya 5 Km, 7Km. Maka jangan heran, kalau kalian ingin bepergian melewati tiga nama jalan kalian harus ganti angkot sebanyak setidaknya tiga kali juga.
Bagi petualang seperti gue, trayek angkot macam itu banyak membuang waktu dan lebih boros duit.
Tapi hari ini nggak jadi masalah sih. Karena waktu lagi luang dan masalah ongkos udah dibayarin sama abang gue.
Gue nggak bawa blue ransel. Gue cuma bawa tas kecil karena gue cuma berniat dua hari di Kandis. Blue Ransel gue tinggal di rumah Budhe.
Seperti biasa, kalo naik bus atau kereta gue memilih duduk disamping jendela. Gue bebaskan pandangan gue menikmati setiap jalanan yang gue lalui.
Bus mulai berangkat pukul delapan. Pejalanan setidaknya membutuhkan waktu dua sampai tiga jam.
Jalanan Pekanbaru-Dumai sangat bagus. Aspalnya nggak berantakan kayak Lintas Timur Sumatra.
Jalanan ramai. Kendaraan-kendaraan besar lalu lalang. Truk-truk ekspedisi, Truk bermuatan Kayu gelondong, truk tangki berjalan pelan menempuh tujuannya masing-masing.
Di samping kiri-kanan jalan, rumah-rumah penduduk masih sangat sederhana. Seperti halnya di kiri-kanan lintas timur, disini rumahnya masih banyak berdinding kayu, beralas tanah dan beratap seng, khas rumah-rumah transmigrasi Orde Baru.
Pukul sembilan pagi. Bus melewati jalanan berkelok, menanjak. Truk-truk berjalan amat pelan. Gas buangnya menutupi pandangan, mengganggu pernapasan. Sudah terlihat perkebunan kelapa sawit di kanan-kiri jalan.
Daerah sini rawan kecelakaan. Gimana nggak? jalanan ramai gini, truk-truk besar lalu lalang, dan jalanan, meskipun lebar tapi nggak ada separator ditengah-tengahnya.
Jadi kalau kalian misalnya mau menyalip truk, trus nggak hati-hati, dan di seberang sana dari arah berlawanan ternyata ada truk juga, habislah kalian. Mau banting stir ke kanan, yang ada malah jurang.
Satu hal yang gue inget. Polisi disini nggak cuma ngasih peringatan kalau disini rawan kecelakaan pake tulisan. Tapi juga pake bukti.
Jadi didaerah yang rawan kecelakaan disini, dibuatlah semacam tugu setinggi 3 meter. Di kiri atau kanan jalan. Di tugu itu dipajang, sebuah mobil, atau motor yang wujudnya sudah berantakan akibat kecelakaan. Ada mobil sedan yang bumper depannya hancur, kacanya pecah semua, atau motor yang kondisinya sangat mengenaskan, pelek bannya jadi angka 8, stangnya bengkok.
Melihat kondisi macam itu, pasti pengendara yang melintas langsung berhati-hati, karena kebayang betapa mengerikannya kecelakaan yang menimpa pengendara mobil atau motor dalam diorama itu.
Jam setengah sepuluh bus berhenti. Nggak cuma kendaraan yang gue tumpangi ternyata. Semua kendaraan dari Pekanbaru arah Dumai berhenti. Macet.
Gue belum tahu penyebabnya sampai lima belas menit kemudian dari kejauhan, terlihat sebuah truk trailer balak (pengangkut kayu gelondong) berhenti tepat ditengah jalan, melintang menutupi seluruh bahu jalan dengan posisi terbalik. Puluhan kayu gelondong muatannya, yang panjangnya belasan meter dan diameternya setengah meter tumpah dijalanan. Sebagian kayu bahkan terpisah ratusan meter dari truk karena posisi truk berada di tanjakan.
Lima belas menit berikutnya bus sama sekali nggak bergerak.
Karena jalanan menanjak, kondektur memutuskan untuk turun dari bus dan mengganjal ban belakang bus agar bus nggak turun (nggelondor). Meskipun sudah direm pake rem tangan, tapi bus masih bisa nggelondor kalo nggak diganjal, begitu kata sopirnya.
Gue mulai bosen di dalam bus yang meskipun ber-AC tapi tetep terasa panas.
Maka gue turun dari bus.
Di seberang jalan kelihatan sebuah warung makan sederhana. Gue datangi.
Gue pesen minuman kaleng dan popmie. Gue dari tadi pagi belum sarapan emang.
Disitu, sekalian belanja, sekalian aja gue tanyain pemilik warungnya mengenai penyebab kemacetan ini.
Ternyata truk naas itu datang dari arah Dumai. Ketika melewati jalanan menurun itu tiba-tiba bannya pecah, kemudian truk terguling dan muatannya berantakan di jalan. Begitu katanya. Kejadiannya tadi malam sekitar pukul sembilan.
Saat ini polisi masih menyelidiki kejadian itu sembari menunggu truk derek datang. Pengendara dari arah Pekanbaru atau sebaliknya (dari Dumai) harus melewati jalanan desa yang memutar dan harus mengantre dengan sabar.
"Woi.. Gin. Bocah ini. Dicari kemana-mana ternyata malah jajan. Masuk lagi. Bus mau jalan ini." Abang gue manggil dari belakang bus.
Haha. Ternyata keluarnya gue dari bus bikin kedua abang gue panik.
"Iyo mas. Bentar" Jawab gue dari seberang jalan.
Lima menit kemudian bus udah dapat giliran masuk jalan desa yang memutar itu.
Memutarnya bus ternyata sangat jauh. Melewati jalanan desa tanpa aspal dan memutar hampir 10 Km hanya untuk melewati 2 Km jalan Pekanbaru-Dumai.
Satu jam kemudian bus sampai di tujuannya.
Semua penumpang turun dari bus.
Saudara gue yang dari Kandis, Mas Nard dari kejauhan melambaikan tangan. Tiga orang dengan tiga motor trail menjemput kami bertiga.
Gue awalnya agak heran karena pada bawa motor trail. Tapi setelah kami berjalan barulah gue sadar bahwa rumah mereka berada jauh di dalam hutan kelapa sawit. Masih 15 Km dari sini. Dan jalan yang dilalui masih berbentuk tanah liat tanpa aspal.
Beberapa kali melalui pos penjagaan dan dengan isyarat tangan dari Mas Nard gerbang kemudian dibuka.
Disini ada kompleks-kompleks perkebunan dan pemukiman. Setiap daerah diberi codename SP (gue nggak sempat nanya apa arti atau akronim SP). Daerah yang ditempati Mas Nard diberi codename SP-5.
Jarak antar SP sama halnya dengan jarak antar desa.
Jelang waktu Dhuhur kami sampai di tujuan.
Rumah Mas Nard begitu sederhana. Rumah transmigrasi seperti yang gue gambarkan diatas, dengan dinding kayu, atap seng. Tapi bedanya disini lantainya udah disemen.
Tapi jangan kalian kira disini orangnya miskin-miskin. Meskipun rumahnya sederhana, tapi pendapatan mereka setiap bulannya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Semakin luas perkebunan sawit yang kalian miliki, maka semakin besar pula pendapatan kalian setiap bulannya.
Gue membuktikannya sendiri dengan mata kepala gue.
Siang ini, habis sholat Dhuhur dan makan siang, Mas Nard berangkat ke sebuah kantor tak jauh dari sini.
Pulang-pulang 20 menit kemudian dia membawa sebuah plastik kresek besar warna hitam.
"Kresek itu isinya Gaji Mas Nard sama beberapa karyawannya Gin" Mbak Mey, Istrinya Mas Nard menjelaskan.
Dan beberapa menit kemudian datanglah belasan anak buah Mas Nard ngambil uang gaji. Duit-duit merah sama biru dibagikan secara merata.
Hahah.. Awalnya nggak nyangka juga gue, mereka bawa duit dalam jumlah banyak (100 juta-an mungkin ada) pake plastik kresek. Nggak pake koper atau apalah yang lebih layak gitu.
Begitulah kehidupan orang-orang disini. Mereka pekerja keras. Memiliki harta melimpah, namun tetap sederhana. Sebagian besar uangnya ditabung dan dikirimkan kepada keluarganya di Jawa. Dengan hasil keringat mereka. keluarga mereka di Jawa rata-rata sudah diberangkatkan ke tanah suci.
Malam datang menjelang dan suasana sangat mencekam. Ditengah hutan Sawit seperti ini apa saja bisa terjadi. Pencurian, Penculikan, Perampokan dan sebagainya sudah menjadi kasus yang lazim disini. Jarak antar rumah di SP-5 ini sangat jauh. Kondisi yang gelap dan jalanan yang tidak bagus membuat siapapun tidak berani keluar malam kecuali ada kepentingan mendesak.
Apalagi suasana habis gajian seperti ini, sangat rawan terjadi pencurian. Maka hal terbaik yang dapat dilakukan adalah berada di dalam rumah dengan pintu terkunci rapat. Meskipun malam belum larut, masih ba'da isya.
Hal seperti itu yang kami lakukan disini.
Kami ngobrol panjang semalaman, di dalam rumah.
Makanan, buah-buahan dan minuman melimpah.
Jangan lupakan beberapa bungkus tembakau. Meskipun kali ini gue nggak berminat menyentuhnya.
Gue menyalakan televisi.
Sebenarnya ada siaran langsung Liga Inggris malam ini. Namun sayangnya karena televisi disini menggunakan antena parabola, entah kenapa siaran sepakbola selalu disensor. Jadi ketika ada siaran langsung sepakbola, saluran Tv yang menyiarkan otomatis langsung no signal dan nampaklah semut-semut berlarian di layar. Mungkin saluran parabola macam ini dianggap ilegal dan melanggar hak siar. Entahlah.
Maka gue pindah-pindah channel. Sayangnya.. beritanya itu-itu saja.
Masih membahas partai pemenang pemilu yang Pengurusnya pada Korupsi.
Hah.. bangsat-bangsat seperti itu tidak selayaknya menjadi tontonan sehari-hari. Merusak pandangan saja.
Senin 6 Februari 2012
Gue bangun pagi dan sholat subuh berjamaah.
Pagi ini kami masih melanjutkan cerita semalam. Mas Nard dn Mba Mey udah lama nggak ketemu sama gue. Mungkin ada hitungan beberapa tahun kami nggak ketemu. Makanya ada aja yang diceritain sama mereka berdua.
Di beranda depan rumah, ditemani secangkir kopi dan kue basah. Dengan pemandangan pohon-pohon sawit yang tinggi menjulang. Sesekali lewat burung-burung berekor biru panjang yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tidak ada polusi udara. Tidak juga polusi suara. benar-benar pagi yang menyenangkan.
Pukul 8 pagi Mas Nard sama Mbak Mey udah rapi.
"Mas mau ke kota dulu Gin. Kamu main-main aja disini. Itu ada motor pake aja kalau mau keliling sekitar sini."
Kota yang dimaksud sama mereka itu adalah tempat berhentinya bus kemaren. Disana mereka biasanya belanja kebutuhan sehari-hari. Kalau hari ini mereka juga mau ke Bank. Nabung gaji yang diterima kemaren. "Biar lebih aman" begitu kata Mas Nard.
Kata bapak gue, dulu gue pernah kesini waktu masih kecil. Tapi gue nggak ada ingatan sedikitpun tentang daerah ini.
Maka pagi itu gue kemudian mandi dan jalan-jalan ke sekitar sini.
Meskipun ada motor, tapi gue memilih jalan kaki. Alasannya karena gue nggak bisa naik motor yang pake kopling. Hahah.
Benar-benar hutan Sawit yang luas. Sejauh mata memandang, yang terlihat cuma pohon penghasil minyak itu. Meskipun ada juga pohon lain seperti pohon mangga, pohon jambu, dan pohon pepaya yang tumbuh di pekarangan rumah warga.
Di jalanan itu tiba-tiba datang segerombolan kambing domba, datang dari salah satu rumah warga.
Jumlahnya banyak. Lebih dari 100 ekor. Tanpa ada tali di leher mereka.
Si gembala akhirnya muncul dari ujung belakang barisan dombanya.
Gue menyapanya, dan bertanya satu dua.
Ternyata 100an ekor domba itu yang punya 1 orang. Dan dia biasanya melepaskan begitu saja dombanya di tengah hutan sawit ini. "Nanti kalau sudah malam mereka akan pulang sendiri" Begitu kata si gembala.
Gue baru pulang ketika hp di saku celana gue berdering, dari Mbak Mey.
Sesampainya gue di rumah, Mas Nard langsung nodongin kertas di depan gue.
"Nih.. tiket pulang ke Jawa. jangan naik bus atau kereta lagi." Begitu katanya.
Ternyata mas Nard ke Kota juga buat beliin gue tiket pesawat.
"Tadinya mau tak beliin langsung ke Jogja, tapi kata Budhe kamu mau mampir dulu di Jakarta?"
"Haha.. iya mas.. makasih mas."
Rencananya emang sebelum balik ke Jogja gue mau mampir dulu ke UI nanti. Nemuin temen gue, namanya Ikki. Dia akan banyak gue ceritain nanti di petualangan gue selanjutnya.
Pukul 2 siang itu juga kami bertiga, diantar Mas Nard dan dua anak buahnya meninggalkan kediaman Mas Nard dan Mbak Mey.
Besok pagi abang gue pada masuk kerja soalnya.
Tadinya gue kesini cuma bawa tas kecil, pulang-pulang isinya jadi penuh. Sama makanan ringan, juga duit tentu saja.
Benar-benar keluarga yang hangat, baik hati dan sangat menyenangkan.
Perjalanan pulang dari Kandis juga cukup menyenangkan. Karena sopir travel yang mengantarkan kami sepanjang perjalanan memutar lagu-lagu kesukaan gue, Peterpan.
Kami sampai di rumah budhe jelang waktu datangnya Sholat Maghrib