Badai Gunung Sumbing

|

Wonosobo, 18-19 Januari 2014
Buat gue, kurang lengkap rasanya kalo udah muncak Sindoro tapi belum nginjak gunung Sumbing. Pasalnya kedua gunung itu saling berhadapan. Kalo gunung Sindoro, dari Temanggung ada di kanan jalan, maka gunung Sumbing ada diseberangnya. Kedua gunung itu dipisahkan oleh jalan Magelang-Wonosobo.
Basecamp kedua gunung itu hanya terpisah sekitar 1 Km.

Gue memutuskan untuk menaiki gunung Sumbing, seminggu setelah Sindoro.
Badan masih pegel, stamina belum balik, tapi niat gue buat melengkapi petualangan kali ini membuat gue lupa akan tuntutan fisik.
Maka gue nyari partner. Beberapa orang yang gue ajak naik Sindoro seminggu sebelumnya menolak. Dengan alasan kaki mereka masih pegel, badan masih linu, dan sebagainya.
Tapi akhirnya gue dapet 2 rekan buat pendakian kali ini. Yang satu temen gue naik Sindoro minggu lalu, Tonggeng, yang satu lagi anak mapala dari Unpad, Mbah.

Akhirnya Sabtu, 18 Januari gue sama Mbah berangkat dari Jogja pake motor. Sedangkan Tonggeng berangkat dari Magelang naik bus jurusan Wonosobo yang langsung berhenti di deket basecamp Sumbing.



Gue hanya perlu mengikuti jalanan yang gue lalui pekan sebelumnya. Jadi nggak butuh waktu lama buat gue mencapai Garung, Kalikajar, Wonosobo. (Basecamp Sumbing). Pukul 12.00 kami bertiga sudah ada di basecamp, registrasi, dan bersiap naik.

Setelah sholat dhuhur dan pemanasan, akhirnya kami memulai pendakian.
Cuaca kurang bersahabat. Mendung tebal, dan gerimis rintik-rintik.
Tidak seperti pendakian Sindoro yang cuacanya baik, tidak hujan.
Maka dari basecamp itu kami sudah memakai jas hujan.

Pendakian Gunung Sumbing dari Garung memiliki dua jalur, yaitu jalur lama dan jalur baru.
Kami memutuskan memilih jalur lama, karena kami terlalu malas buat belok kanan dan sedikit memutar untuk mengikuti jalur baru yang katanya lebih landai.
Perjalanan menuju pos 1 langsung menanjak. Ini benar-benar membuat semangat kami menurun.
Beberapa kali kami harus berhenti untuk menarik napas.
Mbah kelihatannya yang paling bagus staminanya disini. Karena dia anak mapala. Maka dari start, dia langsung jalan dengan kecepatan yang nggak bisa gue ikutin.
Jalanan dari basecamp sampai pos 1 sebenarnya masih dapat dilalui kendaraan bermotor. Bahkan ada yang menawarkan ojek dari basecamp ke pos 1 dengan biaya 20.000 per orang. Kami memutuskan unuk berjalan saja.

Setelah sampai pos 1 kami istirahat sejenak. Cuaca kembali normal, meskipun kabut masih mengantung di seluruh sudut pandang. Gue melepas jas hujan gue dan gue masukkan ke dalam carrier. Perjalanan menuju pos berikutnya masih terus menanjak. Beberapa langkah awal gue sering kehabisan napas dan beberapa kali istirahat. Capek.
Hingga akhirnya gue menemukan moment itu. Moment yang membuat gue bisa dengan mudah melanjutkan perjalanan. Moment ketika gue menemukan ritme yang pas dalam pendakian ini. 
Gue sering seperti itu. Di awal pendakian biasanya napas gue belepotan. Mudah capek dan sering istirahat. Tapi ketika gue menemukan ritme napas yang pas, gue merasa pendakian berjalan dengan mudah, nggak gampang capek, dan jarang istirahat.
Kalian juga bisa mencobanya. Ketika pendakian menemui jalur yang menanjak, cobalah pada langkah kaki kanan, tarik napas yang dalam, bisa melalui mulut ataupun hidung. Jangan dibuang dahulu. Masukkan seluruh udara kedalam paru-paru, rasakan kesegaran udara pegunungan, dan pada langkah kaki kiri, keluarkan dengan perlahan. Begitu seterusnya. Niscaya kalian akan merasakan kenikmatan pendakian dan nggak gampang capek.
Sampai pos 2 kami tidak berhenti. Titik-titik air turun perlahan dari kabut tebal gunung Sumbing. Bukan gerimis, tapi mampu membuat pakaian kami basah. Mbah sama Tonggeng mengeluarkan jas hujan mereka. Sedangkan gue nggak. Gue memilih menikmati titik-titik air hasil kondensasi kabut satu-persatu membasahi tubuh gue. Gue merasakan kesegarannya.
Jelang pukul 5 sore kami sampai di Pestan, pertemuan antara jalur lama dan jalur baru. Dari titik ini pendakian ke puncak menjadi satu jalur saja. Di titik ini kami memutuskan mendirikan dome. Kami akan nge-camp disini malam ini.
Belum selesai kami mendirikan dome, hujan turun deras. Membuat kami kelabakan.
Semua barang kami masukkan terlebih dahulu kedalam dome, tinggallah kami bertiga menyelesaikan pendirian dome, memasang cover dome dan pasaknya.
Maka selesailah dome ini. Gue, Mbah sama Tonggeng kebasahan. Pakaian yang kami kenakan basah kuyup.
Akhirnya setengah jam kemudian kami bisa ngopi dengan tenang didalam tenda.
Malam menjelang dan hujan semakin deras.
Pukul 8 malam badai menerjang dome. Meskipun disamping kiri kanan dome banyak pepohonan, namun badai kali ini datang dari arah atas (puncak). Membuat kami semua was-was. Khawatir bagaimana nanti kalau dome kami terbang. Kalau pasaknya satu-persatu tercerabut.
Di dalam dome itu kami hanya bisa berdoa. Bagi Mbah dan Tonggeng, ini adalah pendakian pertama mereka mengalami badai seperti ini. Meskipun mbah anak mapala, tapi dari pengakuannya dia belum pernah mengalami badai ketika naik gunung.
Badai reda hampir dua jam kemudian. Kami semua bersyukur. Setengah jam kemudian kami tidur.

Gue terbangun pukul 3 pagi. Badai kembali menerjang, dengan kekuatan yang setara dengan badai semalam. Tapi bedanya dini hari ini badai tidak disertai dengan hujan. Setengah jam gue nggak bisa melanjutkan tidur karena khawatir. Ini badai bener-bener bikin cemas.

Untungnya badai agak reda. Gue melanjutkan tidur dan bangun pagi pukul 5.
Pagi ini sepertinya tidak ada tanda-tanda akan menjadi cerah. Sejak pagi kabut tebal membungkus gunung Sumbing. Hujan gerimis disertai angin dengan kecepatan sedang masih terus mengguyur. Pagi itu kami sarapan dengan nasi kemarin yang dimasak lagi, dengan lauk tempe yang juga tempe kemarin. Jangan lupakan kopi hangat dan beberapa batang tembakau. Aiissh.. Nikmatnya.

Hujan disertai angin masih terus mengguyur hingga pukul 7. Namun dengan intensitas yang lebih ringan.
Kami memutuskan membuka dome dan melanjutkan perjalanan.
Tak disangka, perjalanan ke puncak kembali menemui badai. Jelang watu kotak bahkan badai sangat menakutkan. Kami beberapa kali bersembunyi dibalik batu untuk menghindari terjangan angin yang bisa saja menerbangkan kami ke jurang di kiri jalan.
Meskipun tidak disertai hujan, namun badai kali ini yang paling menakutkan bagi gue. Sebelumnya, 2 tahun yang lalu gue pernah mengalami badai juga pas pendakian, tapi di gunung merbabu.
Badai reda ketika kami sampai di watu kotak. Bahkan sinar matahari menyingsing selama beberapa detik.
Setelah mencapai watu kotak, perjalanan terus menanjak. Dengan tanah berbatu, sedikit vegetasi.
Badai kembali menerjang. Kali ini sangat kuat. Gue udah kedinginan. Tangan gue mati rasa. Mbah sama Tonggeng staminanya semakin menurun. Jalan mereka terlihat lebih lambat.
Tapi kami memutuskan untuk terus berjalan. Karena kalo diem di tempat, itu lebih berbahaya karena tubuh akan semakin dingin.
Perjalanan ke puncak benar-benar menantang.
Meskipun begitu, pukul 10.30 kami akhirnya menginjakkan kaki di puncak tertinggi gunung Sumbing.
Tidak ada pemandangan yang terlihat. Seluruh penjuru mata angin dibungkus kabut putih tebal. Jarak pandang hanya mampu menembus radius 15 meter. Badai masih terus menerjang.
hanya 10 menit kami di puncak. Menikmati soda, berfoto seadanya. Bahkan tidak sempat kami menyalakan sebatang tembakaupun, karena derasnya terjangan badai.

Turun. 
Baru 2 menit kami jalan turun, kaki gue kram. Sial. Kaki kanan gue sama sekali nggak bisa digerakkan. Sakit sekali. Gue meminta istirahat 5 menit. Meluruskan kaki dan memijit-mijit bagian yang sakit.
Tdak butuh waktu lama akhirnya gue bisa jalan lagi. Syukurlah..
Perjalanan kebawah sampai basecamp memakan waktu 4 jam. Ini sangat lama menurut gue.
Yah, mau bagaimana lagi, medan gunung Sumbing nggak memungkinkan buat lari turun kebawah, karena licin dan berundak-undak.
Akhirnya pukul 3 sore gue, mbah, dan tonggeng sampai juga di basecamp.
Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback