Welcome to the Black Parade

|



Jogjakarta, Sabtu 10 Mei 2014

Hari ini gue mau susur GOA.
Namanya Goa Songilap, Song Gilap, atau Goa Gilap. Letaknya di dusun Klumpit, Desa Kenteng, Kec. Ponjong, Kab. Gunung Kidul. Goa ini tipenya horizontal, pintunya cuma satu, dan panjang dari pintu sampai ujung sekitar 3-4 Km.

Kalo naik gunung biasanya ada pendakian masal, kalo kali ini susur goa masal, anak-anak sih nyebutnya fun caving. Ceritanya gue satu dari 20an anak dari kampus yang berpartisipasi ikut fun caving ini.

Ini sebenernya caving pertama gue. Gue seumur-umur belum pernah masuk goa. Gue cuma punya bayangan goa itu kayak tempat semedinya Wiro Sableng atau Si buta dari goa hantu. Trus di dalem goa itu lembab, banyak kelelawarnya, banyak tulisan-tulisan dari zaman prasejarah yang digambar pake darah, banyak juga yang namanya Stalaktit sama Stalakmit kayak di pelajaran geografi SMP.

Tapi semua berubah ketika gue akhirnya nyebur kedalamnya.



Dari hari senin, pas pengumuman disebar gue langsung tertarik. Kapan lagi masuk goa coba. Akhirnya gue langsung hubungi si penyebar woro-woro, mantan kadiv caving. 
"Dab, aku melu fun caving sebtu sesuk yo!"
Nggak pake lama langsung di konfirmasi. Persyaratannya gampang. Selasa jogging dan kamis briefing sama bayar 60k.

Akhirnya gue ikutin prosedurnya, jogging GSP 7 puteran, sama briefing di hari kamis.
Pas briefing itu gue baru tau kalo ternyata perkap caving sama perkap gunung itu jauh bedanya. Perkap khasnya caving ada kayak sepatu boots, helm, pelampung, headlamp.

Kalo pelampung sama helm sebenernya udah disiapin sama panitianya. Tinggal boots yang nggak gue punya. Tapi untung aja temen gue yang anak peternakan punya. Biasa dipake buat ke kandang. Nggak papalah, gue pinjem. Bau tai kuda atau sapi juga bodo amat.

Meskipun gue udah ngelengkapin semua persyaratan perkap sama panitianya, tapi tetep aja perkap gue masih "rasa" gunung pas berangkat ke basecamp. Gue bawa carrier lengkap sama matrasnya sama sepatu gunung.

Kami berangkat dari kampus jam delapan pagi lebih dikit. ada sepuluh motor, yang satu berangkat duluan. Semua totalnya 19 orang. Tapi yang niat buat masuk goa cuma 13 orang termasuk gue.

Iring-iringan motor keluar dari kampus lewat Gejayan, trus ke Jl. Solo, belok kanan di perempatan Janti, naik fly over dan lurus terus ngikutin plang ijo arah Wonosari. Dari wonosari masih jalan terus, masuk-masuk ke jalan kecil dan beberapa kali belok yang gue nggak apal nama daerahnya tapi kalo kesana lagi gue inget arahnya. Maka sampailah kami di basecamp, rumah pak Rt di dusun Klumpit itu.  Kami sampai sekitar pukul sebelas.

Bapak Ibu pemilik rumah sangat akrab dan menyambut kami dengan hangat. Mereka sebelumnya emang udah sangat akrab sama kadiv caving dan bahkan udah dianggap kayak anaknya sendiri. Kami dijamu gorengan sama teh anget sama kedua orang ini.

Bayangan gue tentang kemiskinan pelosok gunung kidul sama sekali berubah ketika gue ada di rumah ini. Mereka rupanya orang berada. Meskipun rumahnya sederhana, tapi mereka memiliki fasilitas seperti televisi, dvd player, kulkas. Dan yang lebih membuat gue heran ketika gue masuk tolilet mereka. Ini serius benar-benar pelosok, apakah warga Gunung Kidul benar-benar miskin? Soalnya toilet mereka mewah sekali. Didalam toilet ada Shampoo dengan merk dove, pelembut wajah merk Ponds, pelembab merk Tresemme, pencuci mulut semacam Listerine.
Bisa aja sih ini cuma gambaran sampel penduduk yang bisa dianggap "mampu" untuk kawasan ini karena mereka berdua memang tergolong pemangku jabatan, meskipun hanya ketua RT.
Karena masih banyak warga yang gue jumpai memang benar-benar hidupnya sangat sederhana.

Tapi memang ada satu masalah bagi warga sini, tidak memandang yang kaya maupun miskin semua mempunyai persoalan yang sama. Air.
Gunung Kidul memang selalu bersoal dengan air. Ini baru gue rasakan nanti setelah gue keluar dari goa dan butuh air tapi nggak ada.

Setelah gue berkeliling di rumah pak Rt dan mencicipi beberapa potong gorengan dan segelas air teh, gue minum obat batuk yang gue bawa dari Jogja, komix. Setelah minum obat itu gue merasakan kantuk yang luar biasa.

Gue emang kurang enak badan hari ini.
Kemaren idup gue lagi absurd. Gue kemaren dikosan ngabisin Cola sebotol gede ukuran 1.5 liter, Super setengah bungkus, Makanan ringan dengan MSG entah berapa. Dan tidur jam 2 dini hari bangun jam 5. Jadilah gue hari ini malah ngantuk, pusing, pilek, sama batuk-batuk.

Karena kata PeO kita mau berangkat abis dhuhur, gue mutusin buat tidur. Lumayan sejam. Semoga nanti lebih fresh abis bangun.

Gue bangun pas adzan dhuhur, masjidnya ada tepat di depan rumah pemilik basecamp ini.
Gue kemudian ambil air wudhu dan sholat jamaah.

Baru abis dhuhur kami siap-siap turun goa.
Pakaian goa mulai dikenakan, kayak helm, headlamp, pelampung, sama sepatu boots.
Karena gue pake kemeja panjang, tampilan gue di cermin malah keliatan kayak mandor proyek. Hadeeh.

Dari basecamp ini kami masih harus jalan sekitar setengah jam buat nyampe mulut goa.
Dan setelah sampe diatas tangga menuju goa, kami berhenti. Melakukan pemanasan sebentar dan dijelaskan teknis masuknya.
Dari 13 orang dibagi menjadi 2 Kelompok. Gue ada di kelompok kedua.

Sepuluh menit setelah kelompok pertama masuk, gue akhirnya turun ke dalam goa bersama 5 orang lainnya. Sebelum memasuki mulut goa, kami melewati beberapa ratus anak tangga yang udah tersusun rapi. Setelah itu kami menuruni bebatuan dan masuk kedalam mulut goa yang langsung memamerkan gegelapan.

Welcome to the black parade - My Chemical Romance. Itulah lagu pertama yang gue puter ketika masuk kedalam goa. Ya, selamat datang di parade hitam. Selamat datang di dunia bawah tanah. Parade kegelapan goa karst.

Gue emang sengaja bawa hape pas masuk. Walaupun kata mantan kadiv itu "extremely prohibited". Sangat dilarang. Bukan karena apa, kasihan hapenya. Kecuali lo punya hape yang tahan sama aer.
Inilah kebodohan yang gue lakukan. Gue masuk kedalam Goa pake hape lengkap sama headsetnya.

Ini emang kebiasaan gue, kalo di gunung gue pasti gini juga. Dan lagu yang gue puter biasanya Viva la Vida atau Requiem for a Dream. Kalo backpacker biasanya lagu-lagunya iwan fals atau lagu cadas Avenged Sevenfold. Walaupun gue nggak bisa maen alat musik, tapi bagi gue musik itu udah kayak candu. Apalagi kalo lagi petualang, musik adalah bagian yang nggak terpisahkan.

Tapi yang jadi masalah hape gue nggak tahan sama aer. Sedangkan goa ini didalamnya ada sungainya. Bodoh. Gue udah coba mengakali dengan gue bungkus pake daun pisang berlembar-lembar dan gue tutup pake plastik dua lapis. Tapi ketika gue masuk kedalam sungai setelah turunan bebetuan tadi, yang dalemnya sekitar 2 meter hape gue cuma bertahan selama lima menit. Setelah dua lagu berikutnya kok diem. Mampus gue. Ternyata ada satu hal yang gue lupain. Tekanan air.

Ya. tekanan di dalam air membuat plastik yang cuma gue puntir-puntir kemasukan air dengan sangat cepat. Kemudian melewati bungkusan daun pisang dan merembes terus masuk ke hape yang ada di kantong celana gue. Dan sek. seketika itu juga hape gue tenggelam dalam kubangan air dan gue cuma menyaksikan kebodohan eksperimen gue setelah naik ke permukaan. Gue merumuskan kesimpulan bahwa hape gue nggak suka sama aer, setelah dia sakaratul maut di genggaman gue. (Sekarang dia lagi menjalani rawat inap di salah satu tukang service hape di Gejayan. Semoga lekas sembuh.)

Setelah lewat sungai 2 meter tadi (airnya bisa naik sampe 3 meter kalo lagi banjir), gue kemudian melewati jalanan yang becek dan berlumpur. Tapi mulai kelihatan bagusnya di kiri sama kanan dinding goa. Temen gue, mantan kadiv caving gue tanya macem-macem karena ini pertama kalinya gue masuk goa.
Dia jelasin lumayan detil. Yang atas itu namanya stalaktit, yang bawah stalakmit, kalo yang atas sama bawah menyatu, itu disebut pillar. Kalo yang dibawah itu bentuknya kayak tanduk, sebutannya horn. Itu gorden, itu sengkeden. Kalo ruangan besar di depan namanya Chamber. Dia jelasin sambil nunjuk-nunjuk, gue cuma ngangguk-angguk.

Kami terus jalan. Headlamp sangat membantu gue mengenali objek-objek di dalam goa. Ada makhluk-makhluk kecil penghuni goa kayak kepiting, jangkrik, sama makhluk lain. Kalo kepiting yang gue temuin warnanya pucat albino. Maklum, karena di dalam goa ini sama sekali nggak ada cahaya matahari yang bisa masuk. Jalanan kali ini berair lagi, tapi cuma setinggi betis.

Kami akhirnya sampai di ujung goa sekitar jam setengah empat. Disitu kami kemudian istirahat, minum air putih dan upacara. Saat upacara semua lampu headlamp dimatikan. Jadi sama sekali gelap, pekat. Nggak ada seberkas pun cahaya yang tertangkap sama mata gue.

Setelah upacara kami foto-foto. Gue sama beberapa temen kemudian naik kedalam ruangan yang sempit diatas kami, tapi sangat bagus dan ada air terjun kecilnya. Ruangan ini kayak kamar, ukurannya paling sekitar 2 x 2 meter. Tingginya ada 10 meter diatas tempat kami upacara tadi.
Di ruangan ini kami menikmati jernihnya air yang keluar dari dinding goa yang dingin dan sejuk. Tapi gue sama sekali nggak niat buat meminumnya. Gue takut aja kalo airnya mengandung kapur atau semacam zat kimia dasar goa yang nggak gue kenal.

Setelah beberapa menit diatas kami kemudian turun ke tempat upacara dan siap-siap buat balik ke basecamp. Karena jenisnya goa horizontal, maka mudah saja bagi kami buat melewatinya. Hanya tinggal jalan kaki selama 2 jam kami akan sampai di ujungnya. Dan dua jam berikutnya kami jalan akan sampai di mulut goa lagi. Hal ini berbeda sekali jika goanya jenis vertikal yang katanya butuh alat khusus semacam tali-temali buat turun goa.

Karena pintu goa juga cuma satu, maka kami tinggal mengikuti saja langkah kaki kami ketika masuk tadi untuk kembali ke basecamp. Biasanya pulang lebih cepat daripada masuk, karena ketika pulang kami fokusnya cuma untuk keluar dari tempat ini, nggak pake foto-foto atau berhenti dulu.

Maka pukul lima lebih seperempat kami sampai di basecamp dan siap-siap buat ganti baju.
Namun ada satu hal yang menjadikan gue trenyuh. Tempat ini sangat tandus. Air di permukaan sangat sedikit. Warga sering kehabisan air dan harus berjalan berkilometer ke danau buat ambil air.
Begitu juga sore ini.
Rumah pak RT sama sekali kehabisan air. PAM yang seharusnya lancar kali ini nggak ngalir.
Kami nggak bisa, jangankan buat mandi, buat ke toilet buang air kecil saja kami harus menggunakan air minum untuk thoharoh. Kami benar-benar nggak bisa mandi. Badan gue sebenernya gatel juga karena masuk air sungai di bawah permukaan yang airnya keruh karena kami obok-obok. 

Akhirnya gue cuma ganti baju doang.
Baju kotor gue bungkus pake plastik dan gue masukin ke carrier. Hape gue, gue keluarin dari kantong dan gue lihat layarnya kayak mainan bocah yang diisi air trus dibalik-balik bentuknya jadi macem-macem.

Kami kemudian makan malam, sholat maghrib, isya dan storing alat. Setelah itu balik ke Jogja.

Tanah ini begitu indah, berbukit-bukit yang menjulang tinggi. Dan memiliki banyak goa yang menghujam jauh di dalam tanah. Hanya saja, semua terlihat tandus dan gersang. Disana-sini berdebu, anginnya pun tidak dingin sebagaimana ayalnya dataran tinggi. Angin disini berhembus, tapi jenisnya angin kering.

Doa gue sebelum balik, semoga di tanah yang tandus ini Tuhan memberikan lebih banyak curah hujan. agar mereka tidak perlu jauh-jauh hanya untuk mencari air buat masak atau mandi. Semoga curah hujan lebih banyak, sehingga tanaman tidak gersang, jalanan tidak berdebu, hewan-hewan tidak mati kehausan.
Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback