Pagi ini aku berdialog dengan Tuan Gabriel
Kamu bisa menyebut Dia Gabriel, Jibril, Molekat, atau Malaikat, terserah.
Aku menghormatinya, dengan menyebutkan gelar Alaihissalam dibelakang nama Jibril.
Di sebuah ruangan luas berwarna putih tanpa ujung.
Entahlah, aku tidak begitu yakin, apakah ini ruangan, apakah ini waktu pagi.
Ruang dan waktu tak mengikat keadaanku saat ini.
Kamu sudah tahu kan, aku mati kemarin siang.
Tadi malam aku tidak diizinkan memasuki gerbang Rhoyyan, jadi aku sampai pagi ini masih berkeliaran saja
Untungnya pagi ini Tuan Gabriel berbaik hati meluangkan waktuNya berdialog denganku.
Kukatakan saja, Dia sudah menganggur selama 14 Abad disini.
Terakhir Dia bekerja adalah saat Sang Nabi terakhir SAW masih hidup.
Sekarang semua wahyu telah turun. Jadilah Dia menganggur.
Sekali dua kali Dia turun ke Bumi. Setidaknya setahun sekali, yaitu pada malam kemuliaan. Sekadar mengamini doa-doa penduduk bumi.
Tuan Gabriel mempersilahan aku duduk. Dia menyajikan buah tin dan buah zaitun padaku.
"Ceritakan kisahmu nak!" Dia berkata. Makhluk ini sepanjang hidupnya selalu bersinar. Namun sinarnya meneduhkan.
"Perlukah kiranya aku bercerita, sedang Tuan mengetahui segalanya."
Tuan Jibril tenang menjawab "Aku tidak mengetahui. Sungguh Tuhan-Kulah yang lebih mengetahui."
Aku hanya terdiam
Berkata Ia "Jangan sekali-kali engkau mati, kecuali dalam keadaan muslim"
Aku langsung menjawab. "Sungguh Tuan. Saksikanlah bahwa aku seorang muslim. Sesungguhnya Sholatku, Ibadahku, Hidupku, dan Matiku hanya karena Allah, rabb semesta alam."
Ia kembali bertanya "Apa yang sudah kau perbuat untuk bangsa dan agama-mu Nak?"
"Aku belum sempat Tuan" Aku menjawab pendek.
"Demi waktu, Sesungguhnya kamu termasuk golongan orang yang merugi" Berkata Tuan Jibril.
Ia melanjutkan "Kamu bukannya belum sempat. Sungguh kamu terlalu malas nak."
"Maafkan aku tuan" Aku tertunduk, merasa bersalah.
"Kini kau tidak ada harganya lagi. Jiwamu telah kembali pada-Nya. Kesedihanmu tidak ditangisi, perpisahanmu dinanti, kematian hati yang dirayakan dan kesusahan yang disenangi."
Aku masih tertunduk. Tidak berani menatap muka makhluk yang taat ini.
"Katakanlah, apa arti hidupmu? Kau bahkan tiada menebar kebahagiaan bagi sesama!
Katakanlah, siapa yang kau pedulikan, siapa yang kau cintai?"
Aku tidak bisa menjawab.
"Ooo.. lihatlah. Yayaya.. Namanya Venus bukan?" Tiba-tiba layar besar ada di depanku. Menunjukkan gambar Venus-ku sedang membaca buku di perpustakaan kesukaannya.
"Bukannya kalian saling mencintai? Kamu bertemu dengannya pertama kali, empat tahun sebelum kematianmu."
"Lihatlah, ia bahkan menjalani hidupnya, seolah-olah tidak terjadi suatu apapun."
Gambar berpindah.
"Hei, lihat. Itu Viola, dia juga pernah mencintaimu bukan? Lihatlah, dia malah asyik menonton Anime. Kematianmu benar-benar tidak berarti."
Gambar bergeser lagi. "Ah, kalau yang ini mungkin sudah jelas. Bunga Bakung itu bahkan tidak hadir dalam pemakamanmu."
Aku memandangi layar dengan wajah masam.
"Baiklah nak. Aku harus pergi. Malam nanti aku akan turun ke bumi pada 1/3 malam. Mendoakan makhluk-makhluk yang terjaga.
Sekarang nikmati saja jamuan terakhirmu itu, sebelum datang padamu hisab yang menentukan posisimu"
Tuan Jibril Alaihissalam meninggalkanku
Aku masih termenung. Kata-kataNya memang benar. Selama hidupku memang hanya kerugian yang kubuat.
Layar besar kini mengarah ke kuburanku.
Aku memandangi kuburanku.
Aku memandangi nama yang tertulis diatas nisan itu.
"Nama dalam nisan." Aku membatin.
Itulah satu-satunya penanda, bahwa aku pernah dilahirkan di dunia.
Itu juga satu-satunya yang diingat oleh beberapa pelayat, hari kelahiran dan kematianku.
Setidaknya kuburanku memiliki identitas.
Seorang anak manusia pernah suatu hari menjadi penduduk bumi.
Hanya itu yang dapat mereka ingat tentangku.