Di jalanan kadang gerimis, kami anak siang ngiup di beranda rumah orang
Mengeringkan badan mengganti kulit dengan baju yang baru, membuang yang lama.
Hari sudah sore.
Kami masih dijalan kala itu. Keadilan sudah pulang.
Kami masih kelayapan.
(Radin Bahrul Alam)
Sekiranya ada sepuluh hari gue di pekanbaru.
di hari-hari pertama kedatangan, gue habiskan buat melaksanakan perintah bapak, mengunjungi kerabat dan sahabat bapak.
Meskipun banyak diantara mereka yang nggak gue kenal, gue nggak keberatan. Karena menyambung silaturahmi dengan orang-orang yang dicintai oleh orangtua kita merupakan suatu bentuk amal bakti anak kepada orangtua.
“Bentuk kebaktian kepada orang tua yang paling tinggi, menyambung hubungan dengan orang yang dicintai ayahnya, setelah ayahnya meninggal.” (HR. Muslim no. 2552)
Tiga hari sudah gue keliling.
Semua orang dalam daftar yang dikasih bapak sudah gue kunjungi.
Kecuali Satu orang yang nggak sempat gue kunjungi.
Karena sahabat bapak itu, sekarang udah jadi wakil wali kota.
Dan saat ini beliau lagi sibuk karena baru dilantik hitungan beberapa hari lalu.
Kota ini begitu sibuk. Pembangunan dimana-mana.
Di suatu titik, yang dalam ingatan gue, dulunya daerah ini masih lahan kosong dengan semak setinggi pundak gue (pundak anak-anak). Sekarang berdiri megah gedung-gedung perkantoran.
Yang paling mencolok adalah gedung perpustakaan kota, pembangunan bandara Sultan Syarif Kasim II (dulunya nama bandara ini Bandara Simpang 3), dan pembangunan fly over. Perpustakaan kota, berdiri tepat di tengah-tengah kota. Begitu besar, dan sangat mewah.
Pembangunan dimana-mana dan sangat intens ini salah satunya bertujuan untuk menyambut PON yang akan digelar di Propinsi Riau beberapa bulan kedepan.
Tapi yang menarik, Pembangunan flyover di Jl Sudirman, jalan paling sibuk di kota Pekanbaru sama sekali nggak bikin macet. Nggak kayak di Jakarta, ada galian dikit aja macetnya bisa ratusan meter. Emang sih, jumlah kendaraan disini lebih sedikit kalo dibanding Jakarta.
Disini ada Bus Trans Pekanbaru yang melayani trayek ke seluruh kota. Sama kayak di kota-kota besar di Jawa, Jakarta, Solo, dan Jogja. Tapi nggak kayak bus Transjogja atau Batik Trans Solo yang busnya ukuran kecil, Bus Trans Pekanbaru sangat besar. Seperti Transjakarta. Bisa muat 50 orang lebih. Gue nggak sempat nyoba bus itu, karena enakan naik motor. Tapi sepenglihatan gue busnya kurang efektif. Bus sebesar itu lalu lalang, tapi penumpangnya dikit.
Di hari ke 5 gue menyempatkan untuk mengunjungi perpustakaan daerah. Gue berangkat bareng abang gue (kakak sepupu).
Sebenernya gue lebih suka mengunjungi tempat-tempat kayak gitu, perpustakaan, bangunan bersejarah, museum, atau tempat-tempat yang "jarang banget dikunjungi anak muda". Daripada ke Mall, tempat wisata, rekreasi, dan sekadar hiburan.
Perpustakaan Kota Pekanbaru ini bangunannya gede. Bahkan lebih besar dari perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta. Arsitektur bangunannya pun menawan dan futuristik. Bentuk bangunannya menyerupai buku yang terbuka. Atau malah kayak tempat mushaf al Quran.
Gue masuk kedalam perpus. Banyak orang ngelihatin gue ketika gue masuk. Setelah gue amati ternyata sebabnya adalah karena pakaian yang kami kenakan. Gue pake celana jeans, kaos lengan panjang nonformal gitu, sedangkan kakak sepupu gue yang jalan di samping gue, pake jubah panjang warna putih, yang panjangnya sampai bawah, tapi diatas mata kaki, pake peci putih dan jenggotnya panjang. 2 orang yang berbeda karakter 180 derajat. Yang satu akademisi gembel, yang satunya kyai. Jelas aja menarik perhatian.
Tempat pertama yang gue cari adalah buku-buku sejarah sama novel fiksi. Hal ini beda banget sama kakak sepupu gue yang masuk langsung nyari buku-buku agama. Kumpulan hadits, Fiqih, Siroh Nabi. 2 orang yang usianya terpaut setahun, tapi dengan pendidikan yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda pula.
Perpustakaan ini baru diresmikan, jadi maklum saja, buku koleksinya nggak sebanyak perpustakaan Nasional di Salemba. kalo di perpusnas, semua buku yang diterbitkan oleh IKAPI dan ber-ISBN ada disana. Jadi jangan heran kalo ke Perpusnas, kalo mau nyari buku dengan tema yang berbeda harus naik atau turun lantai. Disini bukunya sebenernya banyak. Cuma ada banyak buku yang judulnya sama lebih dari satu buku. Ada juga tempat khusus yang isinya buku-buku melayu, gurindam, dan peninggalan kebudayaan melayu dalam bentuk teks banyak disimpan disini. Tentu saja ini jadi salah satu target gue. Akhirnya setelah sekian lama gue bisa nemuin tulisan kebudayaan Melayu yang menggunakan tulisan arab tapi pake bahasa Melayu. Adapun yang gue baca, gue agak lupa, tapi seputar petuah Raja-raja kerajaan Melayu kuno gitu.
Ternyata tulisan huruf Arab masih digunakan sampai sekarang. Semua nama jalan, nama gedung, dan banyak perkantoran di kota ini mencantumkan tulisan arab dibawah tulisan latinnya. Jadi misalkan nama jalan, Jl Durian gitu, trus dibawah tulisan latin itu ditulis juga menggunakan huruf Arab
(جالن دوريان)
2 hari selanjutnya gue habiskan di sebuah tempat terpencil. Di pedalaman hutan Kelapa Sawit.100Km jauhnya dari kota ini.