Crinum Asiaticum Linn 2

|

Ini perjalanan yang sulit
Mencintaimu sedang aku lemah
Bukan termasuk cerita
Bila aku mati hatinya
sedang ragaku bebas

(Radin Bahrul Alam)


Ketika aku memutuskan berhenti sejenak dan berpaling pada kota ini, aku meyakini garis takdir turut mengikuti langkahku. Pun ketika aku bertemu Crinum Asiaticum Linn, itu bukan merupakan suatu kebetulan belaka.
Kuceritakan tentangnya,

Pagi itu aku terdampar di kota ini. Bersama kereta tua yang lelah, stasiun yang padat, dan cuaca yang tidak bersahabat.
Pagi dan kehidupan dimulai.
Semua orang keluar dari rumah.
Mengais rezeki, mengais ilmu.
Atau sekadar menjalani rutinitas.
Aku sebagai bagian dari dunia yang gersang ini kemudian berjalan ke tempat itu. Aku sebut saja ruang rindu. Aku menunggu disana, untuk kelanjutan petualanganku yang baru.
Entahlah. Mimpi semalam membuatku memutuskan untuk menunggu di kota ini.
Menunggu giliran pertunjukan drama cerita dunia.
Dan aku sebagai aktor, mengikuti aliran kisahnya, hingga diberikan instruksi dan kumainkan instrumennya. Kresendo.
Dan layar selesai, peranku berganti.
Parodi kekacauan dunia kemudian ditampilkan. Tangis dan tawa. Peperangan. Konspirasi. Politik. Kriminalitas.
Petikan iramanya rancu. Nadanya sumbang.
Jenuh.



Aku kembali pada peranku.
Di ruang rindu.
Satu-persatu orang-orang berdatangan. Orang-orang dari mimpi semalam.
Di ruang rindu ini ada sembilan orang termasuk aku. Sama-sama mendapat ilham dari mimpi yang sama.
Seharusnya ada beberapa orang lagi disini. 
Namun pemeran-pemeran yang lain sepertinya datang terlambat.
Dan kami harus menunggu hingga pemerannya lengkap.

Dalam penantian yang jenuh itu, kutanya pada orang di sudut ruang rindu,
"Kau mendapat mimpi yang sama. Kau tahu apa arti mimpi semalam?"
Orang di sudut ruang menggeleng.
Aku bertanya pada orang lain di sudut yang lain.
Dia menggeleng juga.

Aku menyerah.
Mungkin aku harus menemukan sendiri makna mimpi semalam.
Aku bertapa. Respatining pandhikan, pangrungu.

Lalu skenario berlanjut.
Beberapa jenak dalam pertapaan, muncullah dia.
Pemeran terakhir telah datang.
Apa yang kupercaya bukan kebetulan, bukan pula merupakan putaran dadu.
Datanglah ia. Crinum Asiaticum Linn itu.

Seumpama dewi turun. Bumi gonjang-ganjing. Tubuhku bergetar.
Sempurna sekali parasnya.
Aku terpukau.
Oh, demi Cleopatra, Pitaloka Citraresmi, dia jauh lebih anggun daripada keduanya.
Matanya seumpama berlian, cerah tiada cela.
Bibirnya merah ranum.
Hidungnya, wajahnya.
Oh. Seperti malaikat turun pada malam-malam kemuliaan, kedatangannya membuai keindahan.
Aku dibuatnya terpaku. Tak mampu berkata-kata selain hanya memuji kecantikan makhluk didepanku ini.
Dia berbicara. Memperkenalkan diri.
"Hai teman-teman. Aku Crinum. Senang bisa mengenal kalian."
Oh. Tuhan. Lembut sekali kata-katanya. Merdu lirih suaranya.

Entah apa pasal Tuhan mempertemukanku dengannya.
Sungguh aku ingin menggapainya, memoles kesempurnaannya dengan kidung-kidung asmaradhana.
Ingin kulantunkan tembang-tembang cinta untuknya, untuk kecantikannya.
Meskipun aku punguk yang merindu bulan.
Namun,
Sungguh.
Aku ingin menggapainya.

Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback