Naik Lagi

|



ya,
beribu mil beribu musim
aku berjalan
menyusur mata angin
kujalin asa sebagai mata
kupilin doa penawar duka
demi sebuah peran?

Rys Revolta




"Gin, naik yuk!" Suatu sore tawaran itu datang dari temanku.
Aku bertanya. "Naik kemana Div? Bukannya kalian mau ke Sulawesi?"
Dia, sebut saja Pak Kadiv menjawab, "Kami ke Sulawesi pekan depan. Pendakian kali ini ke Merbabu, minggu ini. Gimana?"

Aku tersenyum. Sudah dua kali sebenarnya aku naik gunung itu.
Tapi sepertinya, saat ini aku merindukan aroma gunung.
"Baiklah" Aku menjawab cepat.



Boyolali, Sabtu 22 Juni 2013


Jalur Selo, Boyolali.
Kali ini aku lewat jalur ini. 2 Pendakian sebelumnya aku lewat jalur Wekas.
Katanya pendakian lewat jalur ini biasanya memakan waktu 6 jam.

Baiklah, kita lihat bagaimana nanti rintangannya.
Aku tak sabar ingin menguji staminaku yang sudah lama tak terurus.
Semoga nggak belepotan. Haha.

Pendakian dimulai. Tim berangkat dari basecamp jam 12.00 siang. Karena ini adalah pendakian massal, maka pendakian dibagi dalam beberapa kelompok. Aku ada dalam kelompok pertama. Aku menyukai pembagian kelompok kali ini. Aku di depan. Ya, karena kalau jalan, aku nggak bisa sabar nungguin orang di depanku yang lebih lelet. Dan aku terhitung jalannya agak cepat.

Perjalanan lancar. Jalanan masih banyak landai. Belum ada rintangan yang berarti. 
Angin gunung mengalun lembut, kesegaran ini yang membuatku selalu merindukan gunung. 
Pemandangan belum terlihat, karena masih rimbun pepohonan di kiri-kanan jalan.
Pukul 12.45 aku sampai di Pos 1. Sambil menunggu 4 teman kelompokku yang lain, aku beristirahat sambil menghisap sebatang tembakau. 10 menit kemudian semua anggota kelompokku lengkap sampai di Pos 1. Kami yang muslim memutuskan untuk sholat dhuhur terlebih dahulu.


Perjalanan dilanjutkan setengah jam kemudian. Hingga pos 2 medan masih agak landai dan jalanan masih seperti sebelumnya. Pos 2 kami berhenti. Sekadar menarik nafas beberapa kali. Mempersiapkan untuk perjalanan selanjutnya. Hingga pos 3 atau biasa disebut sabana 0 rintangan belum begitu berarti dan cenderung membosankan. Di Sabana 0 itu kami berhenti agak lama. Sekalian juga untuk sholat Ashar.





Nah, dari sabana 0 ini pendakian mulai ada iramanya, ada yang landai, agak turun, dan tentu saja ada jalan yang terjal. Dan terlihat, dari Sabana 0 ini, medan keatas lumayan terjal. Ini tantangan bagiku. Aku memang harus sering-sering naik gunung, agar staminaku bisa pulih seperti dua-atau tiga tahun lalu saat aku masih mengikuti beladiri.

Dan inilah pesona Merbabu. Udara dingin dan angin gunung yang mulai bertiup kencang, mengibarkan rambut kesana-kemari, menyelusup menenangkan pikiran. Sejuk. Hamparan padang sabana menghijau terlihat dari atas, sepanjang mata memandang gumpalan awan tipis seperti kapas-kapas yang ditaburkan. Langit membiru. Cahaya matahari menyinar lembut dari sisi satunya.

Kuhirup napas panjang. Kusimpan agak lama dalam dada. Lalu kulepaskan perlahan. Aiih, inilah hawa gunung yang sering memanggil-manggil itu. Nyaman, menenangkan.


Kemudian perjalanan dilanjutkan. Melewati sabana 1 dan berhenti sejenak. Hawa semakin dingin dan angin bertiup lebih kencang. Aku menyukainya. Aku menyukai angin, menyukai udara sejuk seperti ini. Bahkan rasa lelahpun hilang sekejap ketika aku menghirup udara ini.

Kali ini kami akhirnya sampai di Sabana 2. Pukul 16.30. Terhitung cepat untuk pendaki amatir sepertiku. Kami bergegas membuka carrier dan mendirikan tenda. Malam akan menjelang dan kuharap semoga seharian sampai esok cuaca tetap cerah.




Aku menuju salah satu titik yang berhadapan langsung dengan matahari senja. Angin senja gunung merbabu mempermainkan tubuhku. Ah ya, angin seperti ini selalu saja mengingatkanku pada Sendu, ketika menikmati senja bersamanya di lereng Sindoro. Dulu. 

Malam menjelang dan satu lagi keagungan ciptaan Tuhan yang ditunjukkan. Purnama. Aiiih, aku tak pernah melewatkan purnama sewaktu di Kota Taman Langit. Dan ini adalah salah satu purnama terbaikku. Aku pernah menikmatinya diatas gedung tinggi, di pematang sawah, pantai, di tengah lapangan sepak bola. Dan kali ini aku menikmatinya dari ketinggian gunung. Sungguh menakjubkan. subhanallah. Allah Akbar. Allah Karim.



Ahad, 23 Juni 2013
Pagi betul kami dibangunkan. Pukul 3.30 dini hari. Udara dingin.
Langit sangat cerah. Gugusan bintang membingkai purnama. Angin bertiup mendayu-dayu, menggesek-gesek dedaunan pada pohon, diikuti irama binatang malam, memainkan melodi kidung semesta. Sungguh indah.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan?

Semua besiap untuk mendaki ke puncak merbabu.
Pagi ini target kami adalah sunrise di puncak. Hawa dingin tak menyurutkan langkah kami. Motivasi akan keindahan sunrise di puncak merbabu, mengalahkan segala rasa dingin dan malas. Perjalanan dimulai pukul 4.00. Aku masih berada di depan, dengan seorang teman. Yang lainnya semakin lama tak dapat mengikuti langkah kaki kami yang lebih cepat. Hanya 45 menit kami mencapai puncak merbabu. Puncak Triangulasi.
Masih gelap. Aku yang membawa sajadah dari bawah memutuskan untuk sholat subuh terlebih dahulu.
Sholat subuh di puncak gunung, diterangi purnama dan bintang-bintang. Sujud bersama derasnya angin gunung, disaksikan semesta. Salah satu pengalaman religius yang tak akan kulupakan.

Salah satu bintang meluncur, putih terang secepat kilat dan kemudian hilang.
Menambah keanggunan puncak merbabu shubuh ini.

Pagi mulai beranjak. Semua pendaki telah mencapai puncak. Kami pindah dari puncak Triangulasi ke puncak Kenteng Songo yang berjarak sekitar 300 meter.
Di puncak Kenteng Songo ini kami berpesta, merayakan keberhasilan kami menaklukkan gunung merbabu dengan minuman bersoda yang dikocok-kocok sehingga busanya berlimpah keluar. Semua tertawa. Semua senang.
Bagiku, mencapai puncak bukanlah satu-satunya tujuan. Aku lebih menyukai perjalanannya. Bergumul dengan angin gunung yang sejuk atau menikmati pemandangan sekeliling menurutku lebih menyenangkan.



Bendera Kebanggan Kami

Satu lagi suguhan Karya Maha Besar Tuhan. Sunrise. Ya...inilah salah satu sunrise terbaik yang pernah kulihat setelah Bromo. Sunrise terlihat sangat anggun dari puncak Kenteng Songo ini. Matahari mulai beranjak sedikit demi sedikit, membelah horison gelap diufuk timur. Hingga akhirnya sempurna bulat mengubah gelap semesta menjadi terang benderang. 

'asbahna wa asbahal mulku lillah 
walhamdulillahi la syarikalalah Laa ilaha illahuwa wailaihin nusyur’ 

Kami berpagi hari dan berpagi pula kerajaan milik Allah. Segala puji bagi Allah, tiada sekutu bagiNya, tiada Tuhan melainkan Dia, dan kepadaNYA tempat kembali



TURUN
Puas menikmati puncak, kami akhirnya turun gunung. Kembali ke perkemahan dan makan pagi serta bersiap-siap turun ke basecamp. Semua persiapan selesai dan kami siap untuk turun ke basecamp. Satu masalah muncul disitu. Handy Talky yang kami bawa tak dapat menghubungi basecamp. Padahal kami harus menghubungi basecamp supaya memanggil truk yang akan menjemput kami begitu kami sampai bawah. Menggunakan hp adalah mustahil karena disini tidak ada sinyal.

Pak Kadiv memutuskan akan turun duluan. Aku diajak olehnya.
"Gin, kita turun duluan yuk. Kita jadi tim pendahulu. Kita tadi hubungi basecamp gak bisa. Kita harus kasih tahu basecamp supaya panggil truknya sama siapin makanan."

"Aku ikut dong!" Kata salah satu teman.
"Nggak usah. Aku sama Angin saja. Kau jadi leader tim. Gimana Gin? kamu mau kan?"

"Oke" Jawabku singkat.
Akhirnya aku dan Pak Kadiv turun gunung duluan. Pukul 9.00 pagi. Disinilah staminaku diuji. Pak Kadiv yang biasa naik-turun gunung dari awal langsung sprint. Aku mau nggak mau harus mengikuti irama temenku ini. Jadilah aku berlari dari Sabana 2 ke Sabana 0 hanya dalam waktu 20 menit. Dari sabana 0 ke pos 2 dalam waktu 15 menit. Dari Pos 2 ke pos 1 selama 10 menit dan dari pos 1 ke basecamp 15 menit. Jadi total kami sprint dari atas sampai bawah selama 1 jam. 
Udah seperti ninja di komik naruto aja kami ini. Turun gunung lari, lompat kanan-kiri, kemudian menikung, melompat dan bergelayutan di akar-akar pohon. Tinggal bawa shuriken kami sudah sama kayak Naruto itu.
Napasku beberapa kali tersengal. Aku sudah lama nggak latihan fisik, staminaku menurun. Tapi aku masih bangga walaupun kalah lari sama Pak Kadiv. Aku lari selama 1 jam dan hanya berhenti sekitar 2 menit untuk minum. Kemudian berlari lagi. Aku masih bangga. Dengan latihan hanya sekali-dua kali aku ternyata masih memiliki stamina yang cukup bagus. Napas juga masih teratur. Aku bangga, bisa turun gunung hanya dalam waktu 1 jam. Sementara normalnya memakan waktu 2 sampai 3 jam.



Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback