Kartosuwiryo

|
Kelak di selembar prasasti kau akan menemuiku sebagai pejuang kesepian. Pendiri negara semu yang dikalahkan Arjuna.
Pada aksaranya tertulis tanggal kematianku. Pada keterangan tertulis sebagai pemberontak.

Kenang-kenanglah prasasti itu. Sebagai sempalan ayat-ayat pembelokan sejarah. Yang kalah selalu salah. Keadilan adalah milik pemenang.

Kenang-kenanglah aku sebagai Rasul tanpa ummat, raja tanpa dhampar, Presiden tanpa negara.

Aku bukan Sukarno, megalomania yang dikelilingi dayang-dayang. Aku Kartosuwiryo, murid Cokroaminoto yang bermimpi menegakkan alif lam mim.

“Kau dituding pemberontak, penarik bedil, penindas kaum lemah.”  Kata Sengkuni.
Tidak.
Aku berperang di hutan-hutan sebagai burung ababil utusan para malaikat. Aku menumpas tentara-tentara abrahah.
“Kau dituding mengacungkan pedang pada penguasa yang sah.”
Tidak.
Ini perang badarku. Aku menumpas kedzoliman. Aku menegakkan ammar makruf.

“Aku akan menangkapmu. Isi kepalamu terpenuhi kekhalifahan semu.”
Kau tak bisa menangkapku. Aku Musa yang telah menyeberangi laut terbelah.
“Aku tetap akan menangkapmu!”

Lalu seribuan tentara mengepung gubugku.
Lalu telunjukku dilumpuhkan dan mereka membakar keris Ki Dongkol dan Ki Rompang.

“Aku mengalahkanmu!” Kata Sengkuni
Kau dapat memenjarakan ragaku. Namun kekhalifahanku tetap merdeka!

Pada akhirnya aku lebih memilih moksa diujung senapan sebagai penegak syahadat, daripada menjilat kekafiran dan takluk pada berhala Nasakom. 
Ask Me Anything
Follow me on Twitter
Recommend me on Google Plus
feedback