"Mungkin besok kami mati, tapi selama masih hidup kami akan terus berpetualang
Karena kehidupan adalah untuk berjalan dan berani berkorban, bukan untuk mencapai kehampaan derajat di ambang kematian"
(Ed-Zou)
Jogjakarta, Senin 2 Juli 2012
Petualangan bukan tentang seberapa jauh kalian berjalan. Bukan tentang seberapa banyak pulau yang telah kalian tuju. Petualangan adalah tentang seberapa dekat kalian dengan alam. Seberapa dekat kalian mengenal budaya, kebiasaan, adat, norma dan istiadat tempat-tempat yang kalian kunjungi.
Kenali budaya, kenali keberagaman, dan lihatlah, betapa Dia Maha Besar. Maha Kaya dan Maha Tinggi. Dia menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Berjalanlah dan jadilah rendah hati. "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri."
Jogjakarta terik seperti biasanya. Musim kemarau sampai di puncaknya.
Ini masuk bulan juli. Sebentar lagi Ramadhan datang.
Kampus gue udah libur sejak pekan kemarin.
Ini saat yang tepat bagi gue melanjutkan petualangan.
Hari ini gue nggak sendirian petualang. Gue ditemenin sama sahabat gue, namanya Ikki. Tujuan utamanya sih mau menghadiri wisudaannya anak social criminal generasi terakhir, kayak Radin, Ed-Zou, Mbah, Dhe, Item, sama temen-temennya di Bogor. Sebenernya mereka mau di wisuda 3 hari lagi, hari kamis. Tapi karena gue sama Ikki mau petualang dulu, maka kami start dari Jogja hari ini, Senin tanggal 2 Juli.
Gue bawa tas Daypack, blue ransel gue lagi dibawa sama kakak tingkat gue ke Halmahera. Gue sama Ikki berangkat dari Jogja pagi betul. Sehari sebelumnya kami udah pesen tiket di terminal Jombor.
Tujuan kami memang ke Bogor, tapi kami memesan tiket tujuan Cilacap. Biar nanti kami berhenti dulu disana, sekadar menghirup udara di kota yang baru, merasakan kehidupan dan aktivitas penduduk disana.
Pukul 08.30 kami berangkat dari kontrakan di Monjali. Naik bus transjogja dan lima belas menit kemudian kami sampai di terminal Jombor. Kami langsung menuju agen bus Efisiensi, merek bus yang kami pesan kemaren.
Di tiket sebenarnya keberangkatan bus pukul 10.00. Tapi mbak-mbak penjaga loket kemaren nyuruh kami datang setengah jam sebelum keberangkatan. Jadilah kami menunggu di loket itu selama 45 menit.
Di waktu yang dijanjikan, datanglah minibus Shuttle yang menjemput kami. Bukan bus besar yang datang. Karena ternyata pull bus nggak di terminal ini. Kami kemudian diantar menuju pull bus Efisiensi di sekitar ringroad selatan.
Pukul 10.00 kami sampai di pull yang sudah berjejer beberapa bus warna oranye. Busnya sangat bagus dan terlihat baru, ukurannya besar dan di dalamnya ber-AC serta ada televisinya. Bus ini melayani rute Jogja-Purwokerto-Cilacap. Kami memesan yang rute Cilacap dengan tarif 40.000. Cukup murah dengan fasilitas bus yang bagus serta dapat bonus air mineral.
Tak lama setelah itu bus berangkat. Gue dapet kursi nomor 29, si Ikki dapet nomor 30.
Gue taruh tas di bagasi atas. Gue duduk disamping jendela, seperti biasanya. Mengamati polah tingkah kehidupan di jalanan pantai selatan.
Bus berjalan dengan tenang, diluar sana cuaca cerah. Jalanan lebar dan bagus. Lalu lintas ramai lancar. Truk-truk ekspedisi berjalan lambat menekuri jalannya masing-masing. Pepohonan di sepanjang jalur selatan Jawa membuat jalanan lebih teduh. Sepanjang pesisir pantai terlihat rumah-rumah penduduk berjejer teratur. Jalanan berkelok, namun datar tidak menanjak. Beberapa sungai berakhir sebentar lagi di ujung pantai yang kelihatan disisi kiri jalan.
Keluar wilayah Jogjakarta dan memasuki wilayah Purworejo dan Kebumen Jawa Tengah, bus melaju lebih cepat. Sepanjang kiri jalan kali ini hanya terlihat sawah-sawah yang membentang luas. Hijaunya meneduhkan pandangan. Berhektar-hektar ladang dengan tanaman pangan nomor satu, menjanjikan panen yang melimpah. Kekayaan yang patut disyukuri. Semoga sepuluh duapuluh tahun mendatang sawah-sawah ini masih ada, tidak perlulah tergerus peradaban dan pembangunan batu bata.
Bus berhenti jelang waktu dhuhur di rest area milik perusahaan ini. Gue beranjak, Ikki berdiri duluan, mengambil tas diatas. Gue juga bergegas mengambil tas dan berjalan keluar dari bus.
Tak diduga, sewaktu gue sampai di pintu depan bus, seorang perempuan yang berjalan dibelakang gue mendadak muntah. Rupanya dia mabuk kendaraan. Apesnya sebagian kotoran muntahannya mengenai ujung celana gue bagian belakang. Gue meradang.
Jelas aja gue marah. Nggak tahu diri betul orang itu. Mengotori celana orang. Kenapa juga tidak ditahan dan dimuntahkan diluar.
Gue balik badan. Bersiap marah, protes.
Tapi, oh Tuhan, lihatlah, mukanya pucat pasi. Badannya lemas hampir tertunduk jatuh. Dia terus-terusan memegangi kepalanya. Berkali-kali mengucap maaf dengan suara parau.
Melihat perempuan dengan keadaan seperti itu di depan gue, rasa marah itu sirna seketika, berganti iba dan kasihan. Gue bergegas berbalik dan meninggalkan perempuan muda itu tanpa sepatah kata, kemudian datanglah seseorang entah bapaknya atau kerabatnya yang menuntun perempuan itu turun dari bus.
"Kenapa Gin?" Begitu tanya Ikki ketika gue menemuinya di salah satu bangku rest area.
"Enggak Ki. Ayo, dhuhur!" Gue menolak bercerita
"Celana kau basah gitu Gin." Dia masih menyelidik.
"Tadi barusan kena muntahan" Gue jawab singkat
"Seriusan?"
"Bukan masalah serius. Gue masih ada 2 celana lagi di tas"
Gue langsung masuk salah satu toilet di rest area itu. Buang air kecil dan bergegas berganti celana.
Lepas itu gue ambil air wudhu dan sholat dhuhur bareng Ikki.
Setelah sholat gue langsung balik ke bus. Gue nggak niat makan siang soalnya belum lapar. Begitu juga si Ikki. Nggak begitu lama setelah itu bus kembali jalan.
Bus memasuki Purwokerto dan menurunkan beberapa penumpang. Tapi lebih banyak penumpang yang masuk sehingga hampir semua bangku kini terisi. Nggak banyak yang dapat gue lakukan saat itu dan gue memutuskan buat tidur.
Menjelang masuk kota Cilacap gue terbangun. Sebabnya di belakang gue banyak emak-emak ngobrol pake bahasa yang nggak gue mengerti dengan suara yang cukup keras.
Gue amati, mereka berbicara pake bahasa jawa, tapi kosa katanya banyak sekali yang berbeda dengan bahasa jawa Solo atau Jogja. Ini yang disebut bahasa jawa ngapak. Dialek khas Jawa Tengah bagian barat. Baru kali ini gue ndenger secara langsung cara mereka berbicara. Meskipun begitu gue tahu sedikit banyak apa yang mereka bicarakan.
Salah satu dari mereka kemudian nanya gue pake bahasa ngapak itu.
Dan gue sama sekali nggak ngerti. Padahal gue paham betul bahasa jawa, dari yang paling kasar sampai halus. Tapi kali ini beda. Gue sama sekali nggak paham. Entah apa yang ibu ini omongin atau tanyakan ke gue, gue cuma ngangguk-angguk. Sepahaman gue melalui isyarat non verbalnya sih sepertinya ibu ini nanya arah.
Akhirnya ibu tadi ganti nanya sama bapak-bapak yang lebih tua di depannya.
Dan saat itu juga gue sangat paham dengan apa yang dibicarakan oleh ibu ini.
Apa sebab? Ibu ini nanya ke bapak-bapak itu pake bahasa jawa kromo inggil.
Sejak saat itu gue dapet kesimpulan baru. Ternyata bahasa jawa kromo itu lebih universal. Bahasa jawa kasar (ngoko) memang banyak perbedaan kosa kata antara daerah satu dengan daerah lainnya. Antara pesisir timur, tengah dan barat sedikit banyak berbeda. Tapi ternyata bahasa jawa halus (kromo inggil) dimana-mana sama.
Bus berhenti di terminal Cilacap pukul 14.30 siang.
Gue sama Ikki segera turun dari bus dan karena sama-sama lapar kami memutuskan mencari warung di sekitar terminal itu. Ketemulah sebuah warung yang jualan mie ayam. Kami makan disitu.
Setelah makan dan keluar dari warung adzan ashar berbunyi.
Gue nyari sumber suara adzan dan melangkahkan kaki mendekatinya.
Masjid bagi gembel seperti kami adalah benar-benar tempat yang paling tepat buat melepas lelah.
Apalagi setelah wudhu, semua debu jalanan yang mampir di wajah kami seketika sirna. Berganti basah sejuk yang menentramkan.
Setelah wudhu, kami masuk masjid yang tidak terlalu besar ini, melaksanakan kewajiban kami dan istirahat sejenak setelahnya. Perjalanan dari Jogja sampai Cilacap, meskipun duduk dibangku bus yang sejuk dan ber-AC, tetap saja melelahkan.
Setelah istirahat dirasa cukup kami kembali lagi ke terminal. Tentu saja mencari tiket bus yang akan mengantarkan ke tujuan kami selanjutnya, Bandung.
Kami celingukan saja di depan terminal itu mencari-cari bus tujuan Bandung. Membaca-baca plang tempat penjualan tiket, menengok-nengok depan bus yang ada tulisan Cilacap-Bandung. Kemudian Ikki inisiatif nanya sama orang di sekitar situ. Maka kami kemudian melangkahkan kaki ke arah yang dimaksud sama orang itu, ke loket bus Doa Ibu.
Doa Ibu adalah perusahaan jasa transportasi lokal Cilacap yang melayani tujuan sekitaran Jawa Barat dan Jakarta. Terutama ke Cileunyi, Tasik, Banjar, dan Karang Pucung. Armada busnya nggak terlalu bagus, nggak sebagus bus Efisiensi yang gue naiki tadi. Tapi bagi gembel seperti kami, itu bukanlah masalah.
Sampai di loket penjualan tiket gue bingung. Kata bapak tadi bus ini sampai Bandung, tapi kok di rutenya cuma ada Cilacap, Banjar, Tasik, Cileunyi, sama Jakarta. Lhah? Kapan ke Bandungnya.
"Cileunyi itu Bandung mas." Gitu kata mbak-mbak yang jualan tiket.
Dia melanjutkan. "Jadi gini, bus ini nggak masuk terminal Bandung. Cuma lewat Cileunyi, trus masuk tol Cipularang dan sampai Jakarta. Jadi kalo mas mau ke Bandung, nanti turun aja di Cileunyi, trus naek angkot sekali sampe terminal Cicaheum, dari situ naik angkot sekali lagi sampe ke Pusat Kota. Nggak gitu jauh kok mas."
Gue mencatat semua perkataan mbak ini di dalam ingatan secara saksama. Gue kemudian memutuskan buat beli tiket ke Cileunyi. Ikki sepakat. Akhirnya kami dapat tiket tujuan Bandung. Harganya 35.000, busnya ekonomi AC dan berangkat dari Terminal Cilacap ini pukul 18.00.
"Masih ada dua jam setengah Don. Ngapain nih?" Gue nanya sama Ikki. Dia di SMP panggilannya Kidon, jadi kadang gue panggil Ki, kadang gue panggil Don.
"Ngapain kek. Ditungguin aja disini. Sambil tiduran." Dia jawab asal.
"Ke pantai aja yuk.!" Gue ngajak dia.
"Emang lo tau pantainya sebelah mana Gin? Jauh nggak?"
"Gue tadi liat petunjuk jalan Don, nggak jauh kok dari sini. Paling 15 menit jalan kaki. Gue jamin dah."
"Yaudah. Ayoklah!" Dia langsung sepakat.
Mbak-mbak yang jualan tiket yang tau gue mau ke pantai bilang, "Nanti jam setengah enam balik lagi kesini ya mas. Setengah jam sebelum berangkat udah harus di terminal."
Gue cepat menjawab. "Oke mbak!"
Akhirnya kami keluar dari ruangan itu. Saat itu tiba-tiba ada cewek yang nyapa,
"Lo Ikki kan ya?" kata si cewek.
Si Ikki yang jalan di depan gue merasa kepanggil namanya noleh, sekilas merhatiin cewek yang barusan nyapa.
"Oh.. elu Din. Ngapain disini?"
Cewek yang dipanggil Din itu kemudian njawab.
"Gue mau balik ke UI Ki. Kan minggu depan udah mulai kuliah.."
"Oh, lo orang Cilacap? Kita naik bus yang sama berarti?"
"Iya, ini gue udah pesen tiketnya. Lo sekarang mau kemana?"
"Ha, ini kenalin temen gue, namanya Angin. Kita mau ke pantai, jauh nggak sih dari sini?" Si Ikki ngenalin gue
"Hai Gin, gue Dina. Kagak jauh kok Ki. Lo mau jalan apa naek ojek? kalo jalan ya lumayan, 20 menit palingan."
Ikki jawab, "Jalan aja Din. Arahnya sana kan?" Dia nunjuk arah selatan.
"Iya Ki. Eh, udah dulu ya, gue mau balik dulu. Mau siap-siap."
Terkenal juga nih bocah. Sampe-sampe di Pelosok Cilacap dia punya temen.
"Itu teman awak di kampus. Satu fakultas kita." Tanpa gue tanya dia jelasin.
Maka kami kemudian berjalan menyusuri pinggiran jalan di kota Cilacap ini.
Kota yang menurut gue sepi. Banyak bangunan yang ditinggal sama penghuninya.
Kota ini terkenal sebagai salah satu penghasil minyak terbesar di Jawa Tengah, dulunya.
Kalo sekarang kayaknya sumber minyak udah mulai abis disedot tiap hari.
Makanya banyak orang kemudian pindah tempat ke tempat penghasil minyak yang lebih besar dan meninggalkan daerah ini begitu saja. Tragis.
Di jalanan ini gue lihat orang lagi benerin pagar kuburan. Orang ini telaten sekali mengerjakan pekerjaannya sendirian. Sepertinya dia sudah seharian bekerja di kuburan di pinggir jalan ini. Gue lewat dan menyapanya sekilas, dan berjalan lalu meninggalkannya.
15 menit kemudian sampailah kami di Pantai Selatan Cilacap. Angin laut mempermainkan tubuh gue, menerbangkan baju dan helai rambut gue kesana kemari. Aih, segarnya angin laut, memiliki aroma khas yang sama sekali berbeda dengan angin gunung.
Meskipun pantai ini terbilang nggak gitu bagus, apalagi kalo dibanding pantai selatan di Jogjakarta atau pantai-pantai di Bali, tapi deburan ombak pantai Cilacap ini cukup menenangkan. Beberapa orang terlihat bermain air, tapi gue langsung miris begitu nyentuh air di bibir pantai itu.
Airnya bercampur dengan kotoran limbah minyak.
Apa-apaan ini? kotor sekali. Sama sekali tidak higenis.
Dan ketika gue bener-bener deket sama airnya, kelihatan banget limbah minyak yang nggak bisa bersatu sama zat air mengambang belang-belang kayak pelangi dipermukaan air. Ketika gue pegang, licin. Pantai ini bener-bener kotor.
Di kejauhan, sebelah kanan dan kiri gue lihat ada semacam tabung-tabung ukuran besar di lepas pantai. Warnanya putih, mungkin tempat penyimpanan minyak.
kasihan sekali pantai ini. Habitat pantai selatan Cilacap sama sekali tidak ada. Nggak seperti di pesisir bagian Jogja yang sekali dua kali terlihat kerang-kerang, ubur-ubur, atau ikan.
Maka gue hanya menikmati suasana angin dari atas beton pembatas yang ada di pinggir pantai. Gue sama sekali nggak minat buat nyentuh airnya barang sedikit. Cukup ngambil foto beberapa kali dan nikmatin suasana pantai sambil meminum sekaleng soda dan jagung bakar dari orang yang jualan di sepanjang pinggir pantai. Si Ikki malah jajan martabak.
Motor-motor ber plat R parkir rapi di sepanjang pinggir pantai yang emang disediakan tempat tersendiri. Kawasan ini ramai juga rupanya kalau sore hari.
Jelang pukul 5 sore kami bergegas meninggalkan pantai dan bersiap kembali ke terminal. Senja mulai turun perlahan. Di jalanan yang gue lewatin tadi, si bapak masih asyik dengan pekerjaannya benerin pagar kuburan, sampai se-sore ini dia belum juga beres-beres bersiap pulang.
Gue sampai di terminal pukul 17.20. Masih ada waktu sekitar 40 menit sebelum keberangkatan. Gue segera menuju loket yang ternyata didalam udah ada temennya si Ikki yang namanya Dina tadi. Udah tampil modis dan kelihatan lebih cakep dibandingkan tadi.
Busnya udah dateng. Gue sama Ikki bersiap naik. Gue meletakkan tas di depan gue, dan duduk dipinggir jendela. Ikki disamping gue. Sedangkan Dina dia duduknya agak di belakang.
Senja benar-benar habis ketika bus bersiap berangkat. Seisi terminal yang sepi pengunjung ini kemudian gelap, hanya diterangi beberapa lampu. Gue memutuskan langsung tidur, sholat maghrib sama isya gue tunda sampai tujuan nanti di Bandung, yang katanya Bus bakal sampai disana tengah malam ini.
Nggak banyak hal yang dapat gue ceritakan selama di perjalanan ini. Di luar jalanan gelap dan bus sedikit banyak melewati jalanan menanjak dan berliku. Maklum, di pesisir pantai ini kami berada di ketinggian 0-5 meter diatas permukaan laut, sementara tujuan kami, Bandung ada di ketinggian antara 700 sampai 1000 meter diatas permukaan laut. Jadi selama perjalanan ke Bandung bus beberapa kali melewati tanjakan. Bus hanya berhenti beberapa kali dan sebentar, di tempat-tempat yang sesuai dengan yang tertulis di tiket.
Malam semakin larut, orang-orang didalam bus yang naik dari Tasik mulai berbicara dengan dialek Sunda. Gue sedikit paham apa yang mereka bicarakan, karena gue beberapa tahun tinggal di Bogor.
Gue bisa beberapa patah kata bahasa Sunda, tapi nggak menguasainya secara keseluruhan.
Betul-betul tengah malam ketika kami akhirnya berhenti di Cileunyi. Bukan berhenti di terminal. Melainkan beberapa ratus meter di depan gerbang pintu Tol Padaleunyi. Kalau masuk tol, beberapa ratus kilo setelah itu adalah Jakarta.
Kami turun dari bus. Bergegas menyeberang jalan dan mencari warung makan. Njir. Hampir aja ketabrak mobil gue pas nyebrang jalan. Mobil-mobil yang pada keluar tol jalannya kenceng. Sampe pengak kuping gue di klakson sama sopir mobil yang kemudian mencak-mencak. Fvck. Mana nggak ada jembatan penyeberangan orang disini.
Akhirnya sampai juga gue di seberang jalan. Nyari warung makan. Itu tujuan pertama kami. Ternyata mie ayam siang tadi udah habis kalorinya dan membuat kami kelaparan. Maka kami kemudian makan di warung makan sekitaran situ.
Lepas makan Ikki pengen ke Atm ngambil duit. Maka kami kemudian berjalan mencari atm dan menemukan sebuah rumah sakit besar di dekat situ, namanya rumah sakit AMC. Di sana Ikki kemudian ngambil duit di salah satu atm yang buka 24 jam. Tadinya gue mau nyari masjid di rumah sakit buat numpang tidur semaleman, tapi ternyata setelah muter-muter rumah sakit kami nggak nemuin masjid.
Kami kembali ke sekitaran warung makan tadi dan nemuin sebuah masjid nggak jauh dari situ. Masjidnya nggak gitu besar, tapi cukup bagus dan terawat.
Di dalam masjid banyak juga gembel seperti kami yang tidur kelekaran gitu aja di serambi masjid.
Sebelum tidur gue mandi dulu kemudian sholat maghrib isya jama'.
Dan akhirnya seketika setelah itu kami langsung tertidur.