Jika kau tidak pernah merasa memiliki,
Mengapa takut kehilangan
Aku ada tidak karena ditanam
Aku tumbuh liar di antara bebatuan pegunungan yang terasingkan
(ed-zou)
Seminggu belakangan, gue bener-bener muak. Kepadatan kota, kepadatan aktivitas, kerjaan, tugas. Gue juga muak sama kota ini. Dimana-mana gambar merah, putih, biru, ijo, kuning. Spanduk partai-partai bertebaran. Foto-foto calon penghuni Senayan, calon-calon yang katanya mewakili rakyat.
Janji-janji diumbar, perkara ditepati apa nggak belakangan, penting kepilih dulu.
Gue nggak mau bahas itu disini. Terserah pembesar maunya apa. Gue cuma petualang.
Gue cuma merasa lelah, penat, budreg, bosen.
Maka gue harus se-segera mungkin meninggalkan keramaian ini.
Mungkin cuma gunung, tempat yang paling pas untuk itu.
Ya, cuma gunung.
Lawu. Itu pilihan yang ditawarin sama temen gue.
Gue langsung setuju. Meskipun gue udah dua kali naik Lawu, bagi gue pendakian bukan puncak utamanya, melainkan perjalanan dan suasana gunung yang lebih penting.
Angin gunung, kabut, hawa dingin, pemandangan hijau, sunrise, sunset, awan, edelwais, bahkan bau belerang. Semua tersaji di gunung ini, dan gue tinggal mendaki saja.
Akhirnya lima orang fix siap mendaki Lawu, 22 Maret 2014. Semuanya anak Mapala salah satu perguruan tinggi di Solo. Salah satu dari mereka adalah temen gue sejak kecil, Patih.
Dialah dalangnya.
Sabtu, 22 Maret 2014
Gue berangkat dari Jogja abis Shubuh.
Semua perkap udah gue siapin semalem. Carrier sampe penuh. Selain bawa perkap pribadi, gue juga bawa perkap tim, buat siap-siap kali aja temen gue pada nggak bawa. Gue bawa dome kapasitas 4 orang, yang gue beli sama Ikki beberapa bulan lalu, nesting, kompor pinjeman dari kampus, sama gas.
Gue balik rumah terlebih dahulu, di Sragen.
Minta izin sama orangtua, minta sangu, sama ngelengkapin perkap yang belum lengkap.
Gue berangkat dari Sragen jam 9 pagi. Rencana mau kumpul di Solo jam 10.
Sabtu pagi gerimis sedang disini. Gue pake jas hujan dan berangkat ke Solo pake motor.
Jalanan Solo-Purwodadi padat seperti biasanya. Jalanan sangat jelek, disana-sini berlubang. Truk-truk ekspedisi berplat K pada lewat sini. Bikin jalanan makin penuh aja.
Dikit lagi nyampe Solo gue malah kena tilang. Sial.
Gue nggak punya SIM. Tapi karena pengen cepet beres gue langsung kasih 50 ribu. Tapi polisi pada belagu, mintanya 100.
Jelas aja kagak gue kasih.
Kalo gue kasih 100 gue nggak bisa naik Lawu, karena gue nggak dikasih duit banyak dari rumah.
Akhirnya gue minta surat tilang.
Beres disitu gue langsung cabut. Sampe di sekret Mapala temen-temen gue jam 10 lebih dikit.
Tapi berangkat juga molor. Rencana jam 10 malah baru abis dhuhur berangkat dari Solo.
5 orang pake motor 3 akhirnya berangkat setelah pada sholat Dhuhur.
Gue, Patih, Jo, Cobek, sama satu cewek, Gesti.
Masuk kota Karanganyar, lurus ke timur, lewat Matesih, terus naik sampe Tawangmangu, dan masih naik lagi 20 Km hingga perbatasan Jateng-Jatim.
Jelang pukul 2 siang rombongan sampe di Cemoro Sewu, Jatim.
Nyari parkiran, trus makan siang di salah satu warung disitu.
Abis itu gue registrasi di basecamp. Bayar karcisnya masih sama, 7500.
Baru jelang ashar rombongan berangkat naik lewat jalur cemoro sewu.
Perjalanan cukup menyenangkan. Masih cukup landai, belum terlalu berat. Gue dengan mudah segera menemukan ritmenya. Seperti biasa, kalo jalan biasanya gue didepan. Gue terlalu males berada di belakang dan berjalan pelan mengikuti yang lain.
Sampai pos 1 satu jam kemudian. Sholat ashar dan istirahat setengah jam. Gue ambil sebatang tembakau. Menyulutnya dan menikmati rumput yang terbakar itu. Gue cuma merasakan kenikmatan tembakau kalau di gunung. Diluar itu rasanya hambar bagi gue. Makanya gue cuma menyulutnya ketika berada di gunung.
Perjalanan dilanjutkan ke pos 2 yang ditempuh selama satu setengah jam berikutnya.
Ketika sampai di pos 2 kami menemui sunset disana. Kurang pas sebenarnya, karena disini vegetasi masih pepohonan tinggi-tinggi. Sunset di Lawu akan lebih indah kalo dilihat dari tempat yang lebih tinggi, tanpa terhalang dedaunan.
Gue nggak biasa naik gunung pada waktu malam hari. Biasanya jam setengah lima sore gue udah buka dome dan siap-siap buat masak makanan atau cerita-cerita di dalam dome. Tapi kali ini sepertinya gue akan mendaki sampai agak malam, biar besok muncaknya nggak terlalu jauh.
Perjalanan dilanjutkan. Jalan malam nggak gitu berat karena jalur Cemoro Sewu ini udah tertata sedemikian rupa sehingga setiap tanjakannya menyerupai anak tangga. Jadi tinggal ngikutin aja anak tangga itu. Bagi gue, ini kali pertama pendakian yang banyak istirahatnya. Hampir setiap 5-10 menit kita istirahat. Tapi kita akhirnya nyampai juga di pos 3 jam 8 malam.
Sebenernya gue membatasi, jam 9 kita harus nge-camp, tapi ketika sampai pos 3 jam delapan malam temen-temen gue udah pada kecapean dan meminta nge-camp disini. Akhirnya kami berhenti dan mengeluarkan dome.
Dome Bestway punya gue, yang gue bawa dari rumah, gue bagi dua sama Patih pas di basecamp tadi. Gue bawa covernya, dia bawa sisanya. Selain gue sama Patih, ternyata Cobek juga bawa dome Bestway kapasitas 2 orang. Maka untuk kali ini semua aman bisa masuk dome (nggak kayak pendakian Lawu gue November 2013 lalu).
Cobek, Patih, sama Jo bikin dome. Gue sama Gesti ngeluarin peralatan masak. Kompor, gas, nesting, kopi, aer, sama mie instan. Gue masak kopi dulu. Buat anget-angetan. Setengah jam kemudian dome udah jadi, kopi udah jadi, mie goreng juga udah jadi. Kami kemudian ngobrol-ngobrol disamping dome sambil ngopi, ngudud, dan makan mie.
Enaknya ngajak cewek kalo naik gunung itu biasanya dia bawa makanan banyak, entah snack, kacang, roti, atau apapun itu biasanya lebih komplit dari yang lain. Dan kalau yang namanya di gunung itu makanan pribadi udah jadi makanan bersama. Si Gesti juga gitu, beda banget sama Jo yang kagak bawa makanan, dia bawanya banyak banget. Setengah isi tas daypacknya penuh sama makanan. Jadi kami nggak perlu khawatir mati kelaparan di gunung ini.
Setelah makan malam gue sholat maghrib sama isya kemudian langsung tidur. Setengah jam kemudian, baru bentar gue tidur, datanglah rombongan yang gue sebut 'pendaki brisik' yang nyampe pos 3. Belum juga bikin dome mereka berisiknya minta ampun. Nggak punya aturan dan nggak peka bahwa disamping mereka ada dome yang didalemnya orang-orang pada tidur. Teriak-teriak kayak orang baru sekali naik gunung, norak. Mereka baru bener-bener diam satu jam kemudian.
Ahad, 23 Maret 2014
Gue setelah itu tidur dengan nyenyak sampai akhirnya jam 3 pagi gue bangun. Ternyata Jo dan yang lainnya udah bangun duluan. Mereka niat banget buat dapet sunrise di puncak. Akhirnya jam 3 pagi itu kami masak aer buat bikin kopi. Dingin emang, tapi kalo dipake gerak dingin bisa ilang.
Disitu kami kemudian ngopi dan sarapan sari roti yang dibawa sama Gesti.
Saat kami masak itulah datang 2 orang pendaki mahasiswa juga asal Kartosuro. (Mereka berdua ini nantinya bareng sama rombongan kami sampai puncak dan sampai turun lagi kebawah), maka kami kemudian ber-akrab-akraban sama mereka. Ternyata mereka tadinya berempat, dua teman mereka lainnya ketinggalan dibawah. Mereka berangkat naik jam 10 malam.
Karena makanan kami banyak, mereka kami tawari roti dan kopi. Mereka juga kemudian ngeluarin kopi dan kami masak bareng-bareng. Sejak saat itu mereka udah jadi bagian dari rombongan kami. Jadinya tim ini berjumlah 7 orang.
Pukul 4 pagi semua udah siap. Dome udah dibongkar dan kami udah packing. 2 orang teman baru kami, Ken sama Bayu namanya, mereka ikut bantuin bongkar dome, beresin kompor, dan ngelipet dome. Pukul 4 pagi itu kami jalan menuju puncak.
Lagi-lagi gue didepan. Bulan diatas sedang purnama, langit juga cerah. Maka gue jalan tanpa menghidupkan senter.
Semakin lama, enam orang yang lain semakin jauh dibelakang gue. Gue jalan jauh didepan karena gue nggak banyak berhentinya. Gue kalo kebanyakan berhenti malah capek. Selain itu juga dingin. Mending lanjut jalan biar keringetan.
Gue sampe pos 4 lanjut jalan. Dan sampe di pos 5 jam 5 pagi. Dataran yang luas, dengan pemandangan yang bagus, langit timur nggak ada penghalang seperti tebing atau pepohonan, cocok buat nikmatin sunrise. Gue memutuskan berhenti disini. Menunggu yang lain datang. Perkiraan gue kalo lanjut jalan nggak mungkin juga dapet sunrise di puncak, maka pilihan terbaiknya ya di pos 5 ini.
Gue nyari tempat yang terlindung dari angin. Gue taruh carrier disitu dan gue gelar jas hujan gue buat sajadah. Gue Sholat subuh di pos 5 ini sambil nungguin yang lain. Setelah sholat subuh gue buka carrier, ngeluarin kompor, nesting, gas, gelas, sama kopi. Gue masak kopi 2 biji. Sambil nungguin aer mateng gue sulut sebatang tembakau. Jalan keatas dikit dan nemuin spot buat memandang sunrise.
Gue duduk disitu dan memandangi langit timur yang masih gelap tapi semburat merah mulai terlihat.
Setengah jam setelah kedatangan gue di pos 5 ini akhirnya Ken datang. Lima menit kemudian Patih sama Jo. Lima menit setelahnya menyusul Cobek, Gesti, sama Bayu. Semua udah kumpul. Gue bagikan kopi yang udah gue buat tadi. Masih anget. Anak-anak kemudian sholat subuh dan bersiap menyambut sunrise
Ken tiba-tiba menghilang, dan muncul 5 menit kemudian dengan pakaian yang berbeda. Mahasiswa tingkat akhir itu mengejutkan kami. Dia pake ALMAMATER. Lengkap dengan setelan sepatu pantofel, celana kain, baju kemeja dan luarnya almamater. Semua pada heran. Gue bahkan sempat ketawa. Dia bener-bener niat buat pake kostum ini di puncak.
Alasan Ken naik gunung sebenernya simpel. Dia kayak gue, lagi jenuh di kota. Bedanya dia jenuh sama skripsinya, gue jenuh karena alasan yang gue sebut dimuka.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Momen kemunculan matahari dari langit timur yang begitu memukau. Maha suci penciptanya. Semua yang sedang berada di pos 5 ini menghentikan kegiatannya, dan bersamaan memandangi fenomena sunrise yang sangat indah. Jepretan-jepretan kamera kemudian mencoba mengabadikan sunrise.
Hal seperti inilah yang membuat gue ketagihan buat naik gunung. Terlebih ketika di kota semua hal terasa membosankan, cuma sunrise dan udara gunung mampu menenangkan.
Selama satu jam kami berada disini. Perjalanan dilanjutkan. Puncak adalah tujuan utama kami.
Kali ini gue berjalan di belakang sama Jo. Lebih santai. Sepanjang jalan menuju puncak gue sama Jo ngobrolin one piece. Cobek yang ngerti ceritanya one piece sesekali juga ikut ngobrol. Kalo si Jo emang suka one piecenya udah setara otaku, sampai-sampai dia kalo lagi kagum, (misalnya pas sunrise tadi), dia ngikutin gayanya Luffy, langsung teriak pake bahasa jepang, "sugoooi" yang artinya amazing. Beberapa kata kayak "Yosh", "Wakatta", sama kata-kata bahasa Jepang lainnya yang sering digunakan Luffy dia apal banget. Anak gunung kebanyakan suka sama komik ini.
Setengah jam lebih dikit kami sampai di Sendang Drajat. Ngisi botol-botol penuh sama air. Buat masak nanti di puncak sama bekal buat turun. Sebentar kami disini dan langsung melanjutkan perjalanan ke puncak.
Akhirnya jam tujuh lebih dikit 6 orang temen gue sampai puncak gunung Lawu, 3265 Mdpl.
Sedangkan gue?
Gue memutuskan berhenti di tanjakan terakhir, 50 meter sebelum puncak.
Gue memutuskan untuk nggak menginjakkan kaki di puncak gunung Lawu. Gue letakkan carrier di bawah tanjakan terakhir itu. Memandangi tugu puncak Lawu 50 meter dibawahnya.
Hari ini gue nggak berniat menyentuh puncak itu.
Bagi gue pendakian bukan sekadar puncak. Obsesi terbesar gue bukan itu, melainkan perjalanannya.
50 meter dibawah puncak, Tanjakan terakhir. Gue berhenti disini dan langsung turun tanpa menginjakkan kaki di puncak Lawu |
Satu jam lamanya gue nunggu 6 orang temen gue berfoto-foto di puncak. Gue nungguin di tanjakan terakhir itu sambil tiduran. Dan bener-bener tertidur sampai akhirnya Patih datang disusul yang lainnya membangunkan gue.
Disitu gue kemudian buka carrier dan semua memasak mie instan buat sarapan.
Gue bawa nasi kemarin pagi dari rumah. Nggak bau, cuma rada beku aja. Akhirnya daripada sia-sia gue bikin aja nasi goreng pake bumbu mie goreng. Agak asin karena nasinya dikit bumbunya banyak. Tapi enaknya bukan main, apalagi sambil ditemani segelas kopi hangat ditempat sedingin itu.
Kami semua beristirahat dan sarapan di tanjakan terakhir itu dan turun jelang pukul 10 pagi Kami memutuskan turun lewat Cemoro Kandang. Gue awalnya dibelakang, tapi karena langkah kaki gue semakin lama semakin cepet akhirnya gue sampai di pos 5 duluan. Gue sama Ken jalan paling depan abis lewat pos 5 itu. Dan sampai di pos 4 berbarengan.
4 bulan lalu, (November rain kata Radin) di pos 4 Cemoro kandang ini gue pernah nge-camp sama Radin , Jun, sama Ammar, di pendakian paling absurd karena nggak bawa dome. Untungnya ada rumah beratap disini dan kami nggak kehujanan.
Perjalanan dilanjutkan. Turun lebih cepat 3 kali lipat daripada naik. Semakin lama gue semakin jauh didepan dan yang lain semakin tertinggal. Maka pukul 12.30, setelah perjalanan turun dua setengah jam, gue sampai duluan di basecamp Cemoro Kandang.
Gue buang sampah di basecamp, bersih-bersih alat, dan jalan ke Cemoro sewu ke tempat parkiran. Gue kemudian memutuskan buat mandi. Abis capek naik gunung, mandi dengan air dingin itu sangat menyenangkan. Segernya bukan main.
Gue ganti celana baju dan langsung sholat dhuhur.
Abis dhuhur gue nungguin Patih sama yang lain karena gue mau boncengan sama Patih sampai Solo.
Gue nungguin di parkiran sampai setengah tiga sore dan mereka belum muncul juga. Gue udah terlalu lelah, terlalu ngantuk, dan pengen segera pulang kemudian tidur.
Gue tunggu sepuluh menit kemudian dan mereka juga belum muncul. Gue memutuskan buat balik.
Di jalanan turun dari Cemoro Sewu sampe Karanganyar gue ngantuk berat. Sampai-sampai gue hampir tertidur. Tapi gue tetep mencoba berkonsentrasi melihat jalanan. Bisa tabrakan kalo gue nggak konsen. Akhirnya jam setengah lima sore gue sampai rumah dengan selamat. Di jam ini pula mereka ber enam baru sampai di cemoro kandang.
Tulisan dibawah ini nggak gitu penting. Cuma catatan, yang isinya kesimpulan observasi gue.
Entah, sejak gue kenal sama 3 orang ini, Cobek, Gesti, sama Jo gue niat banget mengobservasi perilaku mereka. Dari perilaku dan juga omongan serta curcol mereka gue rangkum. Tiga orang ini punya sifat unik yang menurut gue sangat menarik. Ini bukan tugas mata kuliah asesmen ow, tapi gue cuma iseng aja. Dan bagi gue di gunung itu semua kejujuran bakal terungkap. Perilaku manusia sebenarnya dapat dilihat ketika dia mendaki gunung.
Observasi gue mulai sejak pendakian sampai turun. Gue pake non-parisipatif.
1. Cobek, dia orangnya mudah bergaul. Punya selera humor yang baik. Dia sahabat baiknya Gesti sejak SMA. Dia nggak pacaran sama Gesti tapi hubungan mereka sangat dekat. Dia perhatian sama Gesti sebagai teman baiknya. Dia punya pacar dan Gesti mendukung, tanpa ada raut cemburu di wajah Gesti. Cobek, pembawaannya santai, ceria, banyak senyum. Dia cowok yang perhatian dan sabar, apalagi kalau disuruh Gesti.
2. Gesti. Cantiknya sedang, tapi pandai membawa diri dan bersolek sehingga kelihatan lebih menawan. Dia orangnya sangat terbuka. Bahkan sama orang yang baru dikenalnya. Pembawaan ini mungkin didapat sama dia selama 6 bulan kerja di Amerika. Dia cewek manja. Suka menggoda juga. Dia orang yang nggak gampang jatuh cinta tapi kalo udah cinta dia sangat mencintai pasangannya dan tidak mudah baginya melupakan mantannya. Dia mencoba move-on tapi belum bisa sampai beberapa bulan setelah putus sama pasangannya. Dia gampang mengeluh. Dia perhatian dan baik, mudah membuat teman dan nggak tanggung-tanggung kalo ngasih sesuatu ke temannya. Tapi masalah kepercayaan dia hanya percaya sama teman yang udah lama dikenalnya.
3. Jo. Dia sebenarnya suka sama Gesti. Gue belum bisa bilang jatuh cinta, tapi kalo dari perilakunya kemungkinan dia bakal jatuh cinta beneran kalo beberapa hari bersama Gesti. Dia sangat perhatian sama Gesti. Dia bahkan rela bangun tengah malam dan ngambilin salonpas di tenda sebelah buat Gesti. Ada juga beberapa perilakunya yang menunjukkan rasa perhatian dia terhadap Gesti. Dia secara keseluruhan mudah bergaul, selera humornya cocok sama Cobek sama Patih. Kalo masalah cewek itulah kelemahan dia. Dia rendah hati dan pembawaannya santai. Suka ngejek orang tapi nggak marah juga kalo diejek.