Bus mulai jalan. Melalui lintas Timur Sumatra. Jalanan
Palembang-Betung terhitung mulus, lebar, dan ramai lancar. Pemandangan sekitar
masih rumah-rumah penduduk. Gue belum merasakan atmosfir hutan hujan tropis
sejauh ini.
Dalam perjalanan, supirnya ternyata lagi galau.
Diputarlah sama si sopir, lagu-lagu melayu, cocok buat yang
lagi galau level dewa. Lagu-lagu macam burung
camar, cindai, suci dalam debu, sama
sejumlah lagu (kaga apal gue), yang
pokoknya bahasanya melayu, mendayu-dayu, dan ngenes banget maknanya.
Parahnya lagi, sopirnya nyetir sambil nyanyi, diiringi
kondektur, sama sejumlah penumpang warga lokal, suaranya kenceng.
Sebenernya sah-sah aja. Cuma, yang gue takutin sih pas lagi
nyetir macam tu, tiba-tiba emosi supirnya langsung anjlog gara-gara ndenger
lagu ngenes gitu, galaunya memuncak, trus nyetirnya ngga konsen, dan busnya
jatuh ke jurang. Omg-omg... Semoga enggak deh.
Yah, daripada ngikutin alur kegalauan yang makin lama makin
bikin suasana bus jadi suram, gue pasang earphone. Sendirian ndengerin
lagu-lagu cadas, A7X.
Sambil dengerin lagu, gue liat pemandangan sekitar. Yang
semakin lama sepertinya mulai memasuki kawasan ‘hijau’. Ketika itu bus berjalan
amat lambat. Dan tertujulah pandangan gue ke arah suatu peristiwa diluar kaca
jendela. Suatu keadaan miris yang gue selalu berdoa, semoga hidup gue nggak
berakhir seburuk itu.
Apa pasal.
Gue melihat bangkai anjing, mati dengan keadaan yang sangat
buruk, tubuh yang kurus kering, dengan luka disekujur tubuh, mati tergeletak
tak terurus, terbuang dari lingkungannya, digerogoti cacing, dikerubuti lalat, tiada
seorangpun peduli, bahkan untuk sekadar menguburkannya. Parahnya lagi, bangkai
itu menimbulkan bau yang sangat menyengat, bahkan tercium sampai tempat duduk
gue. Sepertinya sudah 2-3 hari makhluk itu mati.
Betapa buruknya cara makhluk itu mati. Semoga kita tidak
mati dengan cara seperti itu. Semoga kita semua nanti mati dengan baik-baik,
khusnul khotimah. Amin.
Jam 2.30 siang.
Bus berhenti. Sopir bilang istirahat setengah jam.
Gue turun. Blue Ransel
kali ini gue tinggal di dalam bus.
Gue belum sholat dhuhur. Jadi gue memutuskan untuk mencari
mushola terdekat. Sholat dhuhur-ashar, jamak-qoshor. Lepas itu gue mencari
warung. Makan siang dan kemudian beli snack-snack ringan yang akan gue nikmati
nanti di dalam bus.
Bus berangkat. Lima belas menit terlambat dari yang
dijanjikan sopir. Perjalanan mulai “menyenangkan”. Jalanan berliku khas jalur
timur Sumatra mulai terlihat. Meskipun tidak naik-turun seperti jalur barat.
Tapi tetep aja, didalem bus suasana masih gloomy,
lagu Melayu galau masih mendominasi.
Sepanjang jalan, kehidupan penduduk di kiri-kanan jalan masih sangat
sederhana. Rumah-rumah transmigrasi, bangunan belasan tahun lalu, belum banyak
yang berubah. Rumah sederhana bertembok papan kayu, struktur bangunan rendah,
dan berlantai tanah liat dengan satu-dua jendela yang juga terbuat dari papan
kayu tanpa cat.
Satu hal lagi yang menjadi ciri khas lintas timur Sumatra, pipa-pipa
besi berjumlah tiga buah, mengular sepanjang jalur timur ini. Entah apa isi
didalamnya, minyak, gas, atau air. Yang jelas pipa ini sudah mengular sejak
keberangkatan bus dari Palembang. Mungkin 100-200 kilometer sudah lebih. Dan
sepertinya pipa ini masih sangat panjang didepan sana.
Produk Orde Baru emang greget.
Senja mulai turun. Cahaya matahari lembut menyusup masuk
kedalam ruang-ruang bus ini. Gue lihat kedepan. Pemandangan didepan luar biasa.
Gue memutuskan berjalan kedepan. Duduk disamping sopir. Berbincang sekadarnya
kepada beberapa orang disekitar. “pak, saya duduk disini sebentar ya, mau liat
pemandangan didepan”. Sopir dan kondektur tidak mempermasalahkan.
Didepan jalanan berkelok, sementara dipinggir-pinggirnya
rerumputan seperti sabana membentuk garis sesuai lekukan jalan. Sinar matahari
senja menerangi rumput-rumput itu. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.
Melewati padang sabana, berbarislah pepohonan dengan ukuran sedang sampai
sangat besar di kiri kanan jalan. Berkelok-kelok teratur.
Ada setengah jam gue didepan. Hingga akhirnya kondektur
meminta gue kembali ke kursi penumpang.
Gue menurut. Matahari sudah benar-benar anjlog kali ini.
Sebentar lagi bus memasuki Jambi.
Jelang Isya, bus bener-bener berhenti. Ini sudah Jambi.
Beberapa penumpang turun. Yang naik lebih banyak.
Setengah jam istirahat gue manfaatkan buat jalan-jalan
sebentar. Sekadar menginjakkan kaki di tanah baru. Tak jauh memang. Hanya
kisaran 500-an meter dari pull. Kemudian balik lagi. Suasana di daerah ini begitu
sepi. Gelap.Mungkin saat ini gue berada ini pinggiran kota, jadi tak seramai
yang gue bayangkan.
Waktu istirahat berlalu. Bus kembali melanjutkan perjalanan.
Kali ini seluruh bangku terisi. Gue memutuskan untuk tidur. Sholat magrib dan isya
gue tunda sampai pemberhentian berikutnya, tangah malam saat bus berhenti di
rumah makan. Gue udah memastikan hal itu kepada sopir dan juga kondektur.
Baru beberapa menit perjalanan, terlihat di kejauhan di sisi
kanan jendela asap membumbung tinggi. Hitam. Disekelilingnya cahaya merah api
membara. Kebakaran lahan, begitu menurut seorang bapak di depan gue yang
berbicara sendiri. Entahlah. Sepertinya ulah manusia telah puluhan tahun
merusak kawasan yang indah ini. Kebakaran hutan, pembukaan lahan baru, kelapa
sawit. Tidak diimbangi dengan penanaman bibit baru.
bukan urusan gue
Selang beberapa menit, satu fenomena lagi ditampakkan. Di
sisi kanan jalan, sebuah stasiun pengisian bahan bakar, penuh dengan antrian.
Bahkan mengular hingga jalanan. Pengguna motor, truk, dan mobil pribadi, bisa
berjam-jam mengantre disini. “Cih.. ketidakadilan pembagian jatah bahan bakar.
Pemerintah begitu memanjakan pulau jawa. Suplay minyak untuk tanah jawa
melimpah. Sementara didaerah ini, salah
satu penghasil minyak, malah begitu susah mendapatkannya.
Yayaya...bukan urusan gue.
Akhirnya gue bener-bener tertidur.
Memang benar. Serasa sebentar gue tidur, bus udah sampai di
sebuah rumah makan. Bus berhenti disitu. Tengah malam betul rupanya. Pukul 11.30
malam. Penumpang satu per satu turun. Begitu juga gue.
Diluar terlihat beberapa bus dengan jenis yang sama juga
berhenti. Gue mencatat nomor polisi bus yang gue naiki. Buat jaga-jaga biar
nggak salah naik bus nanti.
Ada satu jam bus berhenti disini. Gue memutuskan untuk
sholat magrib-isya. Kemudian makan malam. Membeli air minum, beberapa kaleng
soda, dan beberapa camilan dan snack ringan.
Dua orang penumpang adalah penduduk setempat. Mereka sudah
sampai tujuan mereka. Seorang penumpang yang lebih dewasa mengambil barang
bawaan mereka di atap bus. Sebuah motor.
Ya.. jadi dari Palembang tadi siang, mereka menaruh motor
diatas atap bus. Diberdirikan. Diikat dengan simpul-simpul rumit. Dan motornya
berplat B. Gue sempat mengira-ngira, mungkin mereka berdua kakak-beradik,
mendapat kiriman motor dari jakarta, dan harus diambil di Palembang.
Entahlah.
Perjalanan dilanjutkan. Bus agak sepi, nyanyian lagu Melayu
galau masih mengalun, namun suaranya lebih pelan dari siang tadi. Tiada yang
dapat gue lakukan malam-malam begini. Maka gue memutuskan buat tidur.
Pukul 2 malam gue terbangun. Bus memasuki jalanan rusak. Ada
kisaran 10 Km jalanan rusak parah. Bus bergoyang tak karuan. Truk-truk besar
berjalan sangat pelan. Menimbulkan kabut debu yang menutupi sejauh mata memandang.Indragiri
Hulu. Gue membaca salah satu plang di sebuah ruko di kanan jalan. Sudah
memasuki Propinsi Riau rupanya.
Setelah jalanan kembali bagus, gue kembali tidur. Menurut
penuturan sopir, sampai Pekanbaru masih lama. Jam 7 atau 8 pagi nanti.
Gue bangun lagi pukul 5 pagi. Masih sangat gelap. Gue sholat
subuh di dalam bus. Pengen tidur lagi tapi nggak bisa. Gue nunggu pagi sambil
makan snack yang gue beli semalem.
Jelang pukul tujuh bus masih jauh dari kota. Ini masih
Pangkalan Kerinci. Wilayah industri yang sangat ramai. Truk-truk trailer besar
membawa kayu gelondong (orang sini menyebutnya Balak) lalu lalang. Juga truk
trailer besar yang membawa kayu seperti tripleks yang kata seorang penumpang
itu akan diolah jadi kertas memasuki sebuah kawasan pabrik terkenal. Entah
berapa ribu batang pohon mereka tebang.
Karyawan dengan seragam juga memasuki pabrik tersebut. Ada
ratusan orang dengan seragam yang sama, turun dari bus-bus kumal dengan nama
pabrik tercetak di badan bus. Beberapa petugas keamanan ramai meniup peluit guna
memberi jalan keluar-masuk bus-bus itu.
Handphone di saku celana gue berbunyi. Orangtua gue menelepon.
Menanyakan sampai mana. Gue jawab sampai pangkalan kerinci. Di kejauhan bapak
mengucap syukur, karena sekitar 1 jam lagi gue sampai di pekanbaru. Tidak lama
berselang sambungan telepon terputus. Baterei gue abis. Sial.
Gue galau juga. Gimana enggak. Hp batere abis. Duit tinggal
dikit. Dan gue cuma berbekal memori masa lalu serta selembar alamat pakde yang
bahkan beberapa nama jalannya sudah berubah. “Ah itu dipikir entar aja” batin
gue.
Gue kembali memandang luar jendela yang tercetak sejuta
skenario diluar sana. Entah, gue merasa enak aja bisa memandang kehidupan
orang-orang yang sangat asing. Dengan cara hidup yang berbeda-beda. Ekspresi riang,
sedih, ramah, marah.
Tak terasa, bus mulai memasuki Pekanbaru. Ini memang sudah
setengah sembilan pagi.
Melihat papan-papan nama pertokoan, nama jalan, serta patung
dan gapura membuat ingatan masalalu gue sedikit terbuka. Ada beberapa ingatan
yang gue nggak bisa mencapainya. Ada ingatan yang dengan mudah gue recover. Maklum,
itu ingatan belasan tahun lalu.
Gue lahir disini. Empat tahun pertama gue habiskan di kota
ini. Puluhan saudara juga masih tinggal disini. Menetap dan hanya sekali dalam
setahun atau sekali dalam beberapa tahun mereka kembali ke Jawa.
Gue inget jalanan ini. Walau lebih besar dan lebih ramai
dari belasan tahun lalu. Dulu nama jalan ini, Arengka. Hanya saja gue ragu mau
turun disini. Karena ingatan itu lebih banyak yang buram daripada yang tercetak
jelas. Akhirnya gue turun di titik terakhir bus ini berhenti. Simpang Arengka.
20 jam gue di bus
itu. Akhirnya sampai juga. Bokong gue rasanya panas. Tubuh gue pliket, gatel,
dan bau jalanan.
Selepas turun dari bus 20 jam itu gue kembali galau. Alamat di
kertas yang dikasih bapak udah jelas, cuma nama jalannya sekarang berubah. Mau nelpon pakde nomernya ngga gue catet. Hape
udah terlanjur mati.
“Oh, ternyata sekarang jalan ini namanya jl. Subrantas” Kata
gue setelah tanya sama bapak-bapak tukang koran perempatan. Akhirnya gue menyusuri
jalanan itu. Bapak tadi sebenernya udah menyarankan gue buat naik angkutan kota
(oplet). Tapi gue menolak. Ada sekitar 20 menit gue berjalan dengan blue ransel dipundak dan sampailah di
perempatan yang di kiri jalannya ada pasar gede.
Gue ngikutin insting aja. Nyeberang perempatan dan ketemu
angkot. Gue sebut nama perumahan, dan bapak sopir oplet itu langsung
mengiyakan, bahwa trayeknya melewati perumahan itu.
Maka lima belas menit kemudian gue udah sampai di perumahan
tempat tinggal keluarga dekat gue. Dan ketika gue sampai depan rumah bude gue,
beliau kaget. Dikiranya gue preman karena rambut gue yang panjang. Atau pendaki
gunung yang nyasar karena tas ransel gue yang besar.
Hahah.. Begitulah. Gue kalau datang emang kayak angin.
Datang dan pergi begitu saja.