Masih banyak catatan yang kosong
Dari sekian banyak kehidupan
Masih saja diam berdiri
Bila memang menyenangkan
(Radin Bahrul Alam)
Lampung-Palembang, Ahad 29 Januari 2012
Gue tidur lumayan nyenyak semalam. Walaupun cuma sekitar 3 jam. Tubuh gue udah lumayan fresh buat melanjutkan perjalanan.
Gue harus berterima kasih sama "Satpam Songong" semalem karena dia bener-bener buktiin janjinya buat melindungi orang-orang stasiun.
Karena sebagun dari tidur gue denger kalau semalem ada pencuri yang ketangkep di Stasiun ini.
Pagi belum datang. Adzan Subuhpun belum terdengar.
Lantunan ayat suci agak keras terdengar dari arah pintu masuk. Gue memutuskan mencari sumber suara tersebut.
Gue angkat blue ransel dan gue keluar dari stasiun. Ternyata ada masjid besar 50 meter di depan stasiun ini.
Gue membatin sendiri.."Lah..ternyata disini ada masjid segede ini to? kok semalem gue nggak nyadar ya?
Pantesan aja di stasiun nggak ada mushola. Ternyata ada masjid gede di depannya. tau gini gue nginep aja di masjid ini."
Akhirnya gue sampai di pelataran masjid tersebut. Agak berdebu. Masjid ini rupanya masih dalam tahap penyelesaian. Lantai 2-nya belum sepenuhnya jadi.
Gue memutuskan buat mandi. Udah hampir 24 jam gue nggak mandi. Debu, asap kendaraan, asap rokok, dan semua aroma aroma jalanan sepertinya pada melekat di tubuh gue dan membuat gue lumayan gatel.
Habis mandi, adzan shubuh berkumandang. Gue langsung ikut jamaah menunaikan kewajiban gue.
Setelah shubuh rupanya disini rutin dilakukan pengajian. Gue ikut dalam pengajian, tapi mendengarkannya dari belakang, karena gue nyari colokan buat nge-charge HP gue yang baterenya udah habis.
Pengajian selesai dalam sepuluh menit. Seorang bapak-bapak berwajah menyenangkan menghampiri gue, sambil membawa segelas susu hangat.
Bapak berwajah menyenangkan ini nanyain tentang asal-usul gue dan tujuan gue mau kemana, dan satu pertanyaan yang hampir selalu ditanyakan orang yang ketemu gue. "Tasnya besar sekali mas?"
Gue menjawab semua pertanyaan bapak berwajah menyenangkan ini apa adanya. Bahkan gue bilang asal gue dari Sragen, bukan dari Bogor seperti ketika ditanyain pak Satpam atau petugas Stasiun semalem.
Gue juga nanyain ke bapak berwajah menyenangkan ini. "Pak, kalau kereta yang ke Palembang itu berangkatnya jam berapa ya?"
Sebenarnya gue udah tahu jawabannya jam 7 pagi. Tapi buat basa-basi nggak ada salahnya kan bertanya semacam ini? Hehe
"Ooh..kalau kereta berangkatnya biasanya jam 7. Tapi biasanya jam setengah 7 udah pada antri buat beli tiket. Takut kehabisan. Ini bapak bawakan segelas susu hangat, silakan diminum mas."
"Oh..makasih Pak."
Sesuai saran bapak berwajah menyenangkan, setengah tujuh gue balik lagi ke Stasiun. Gue udah sarapan, udah mandi, dan baterai Hp juga udah penuh. Gue udah siap lanjutin perjalanan
Ternyata benar kata bapak berwajah menyenangkan. Jam setengah tujuh pagi ini stasiun udah ramai. gue pun mengantri di urutan ke-sekianbelas dibelakang meja tiket. Padahal loket pun belum dibuka.
Tapi nggak papalah ngantri sebentar.
15 menit berlalu dan antrian makin panjang. Seorang ibu-ibu yang wajahnya mengingatkan gue sama Ibunya Sendu mendekati gue. Dia penduduk lokal dan mau melakukan perjalanan ke Palembang.
"Kak..Ibu nak betanyo, boleh ibu nitip tiket? Ibuk mau ngantri tapi panjang pula antriannya.!"
Gue menoleh ke ibu tadi. Gue nggak pikir panjang,
"Oh..boleh-boleh bu."
"Ini uangnya kak. Satu tiket harganya 15.000" Kata ibu tadi sambil menyerahkan duit 15.000 ke gue.
"Ok. Bu. Ibu tunggu saja di kursi itu, nanti saya serahkan tiketnya kesana."
"Makasih ya kak. Ini tasnya ibu bawakan saja biar nggak repot."
Gue nggak ada curiga sedikitpun dan blue ransel gue taruh di sebelah bangku tunggu di sebelah ibu tadi. Gue balik lagi ke antrian.
Akhirnya pukul 07.15 gue keluar dari tempat antrian dengan membawa dua tiket jurusan Stasiun Kertapati Palembang. Satu tiket gue kasih ke ibu tadi, namanya Ibu Sri, asli Palembang.
Langsung aja gue gendong blue ransel dan gue masuk ke dalam kereta.
Lumayan bersih keretanya. Kursinya juga masih bagus-bagus.
Walaupun nggak dapat dipungkiri di beberapa tempat besinya udah karatan, kaca-kaca jendelanya juga sebagian udah nggak lengkap. Gue taksir umur kereta ini udah belasan tahun, atau mungkin lebih.
Seperti biasa kalau gue naik kendaraan, tempat duduk favorit gue adalah disamping jendela. Maka kali ini gue juga duduk di pinggir jendela. Gue nggak mau melewatkan pemandangan kiri-kanan hutan Sumatra.
Di bangku depan gue ditempati dua orang bapak-ibu asli Palembang, dan disamping gue ada Bu Sri yang tadi.
"Kau nak kemano?"Tanya Bu Sri. Logatnya Palembang banget.
"Saya mau ke Palembang bu, ke tempat temen. Ibu juga mau kesana?"
"Ibu begawe di Jakarta. Ini mau pulang ke Palembang. Pegi samo siapo kau? dewe'an be?"
"Iya bu. Sendirian aja. Kalau kereta ini sampe Palembang kira-kira jam berapa ya?"
"Ibu kurang tahu juga kak."
Gue nanya lagi, "Kira-kira siang ini udah sampai belum bu?"
"Idak kelokaknyo ....Nggak mungkinlah. Kalau siang mungkin baru sampai di Kota Bumi. Masih di Lampung itu."
"Ooh.."
Waduh..kayaknya bakal lama ni perjalanan ke Palembang. Paling enggak sampai disana sekitar magrib atau mungkin lebih.
Kereta akhirnya berangkat. Gue lebih banyak ngelihatin pemandangan di luar jendela.
Tapi selama perjalanan sepertinya pemandangannya nggak seperti yang gue pikirkan selama ini. Gue kira bakalan melewati hutan lebat, ijo-ijo yang bagus-bagus gitu, tapi ternyata kenyataannya adalah di luar jendela kereta yang kelihatan cuma pohon-pohon dan ilalang yang sebagian banyak terdapat bekas pembakaran. Dan kelihatan gersang malahan.
Perjalanan mulai membosankan. Semua orang disini rata-rata pada ngobrol dengan bahasa Palembang yang nggak gue pahami.
Jelang sore kereta memasuki Stasiun Martapura. Udah masuk Sumatra Selatan ini.
Gue beberapa kali mengambil gambar antara Stasiun Martapura sama Baturaja.
Kereta berhenti agak lama ketika memasuki Stasiun Prabumulih. Sementara waktu udah masuk Maghrib. Sesuai urutan stasiun yang gue dapet, setelah dari Stasiun Prabumulih ini masih ada enam stasiun kecil yang bakal dilewati sebelum akhirnya sampai di Stasiun Kertapati Palembang.
Sepertinya sekitaran 2 jam lagi kereta akan sampai di palembang. Gue hubungi temen gue, namanya Irul. Dia temen SMA gue di Bogor. Sebenernya tadi pagi gue juga udah hubungi dia buat mastiin kalau dia ada di Palembang.
Irul kebetulan emang lagi ada di rumahnya, di Palembang. Dia udah mengutus kakaknya, namanya bang Vadhil buat jemput gue di Stasiun Kertapati.
"Gin, nanti kalau udah sampai Prabumulih hubungi gue ya." Begitu pesan singkat yang gue terima tadi pagi.
Dan sekarang saatnya gue nelpon si Irul karena gue udah sampai Prabumulih.
"Rul, gue udah di Prabumulih nih. Palingan dua jam lagi gue sampai tempat lu."
"Yo. Gin. Ko nanti langsung keluar Stasiun. Bang Vadhil kakakku yang jemput kau. Nanti ku sms nomer dia"
"Oke Rul. Thanks bro"
Akhirnya gue sampai juga di Stasiun Kertapati Palembang. Sekitar Jam 9 malam.
Gila. 13 Jam gue di kereta tua itu. Dan gue seharian denger orang-orang ngobrol pake bahasa yang sangat asing bagi gue.
Tanpa pikir panjang, setelah memastikan kereta udah sampai stasiun yang bener, gue langsung keluar. Ngikutin arus penumpang yang juga keluar stasiun.
Ternyata Kertapati ini stasiun paling ujung di jalur ini. Soalnya seperti Stasiun Kota Jakarta, ujung rel bener-bener keliatan. Putus gitu aja, mentok.
Setelah sampai di luar stasiun, gue hubungi bang Vadhil, kakaknya Irul. Si Irul kasih deskripsi kalo abangnya ini pake baju putih, motornya Vixion, dan udah sekitar setengah jam nungguin di Stasiun.
"Dek, dimana? Langsung keluar stasiun aja ya!"
Gue langsung jawab. "Iya kak. Ini udah keluar stasiun. Ini di deket penjual mainan di pintu keluar"
dan nggak butuh waktu lama akhirnya Bang Vadhil nemuin gue.
"Ini Angin kan, temennya Irul?" Tanya Bang Vadhil memastikan.
"Iya Kak. Kakaknya Irul kan, Bang Vadhil?" Gue juga memastikan.
Bang Vadhil mengangguk. Pria berumur 25 tahunan ini kemudian nganterin gue ke tempatnya Irul.
"Ayo Gin, langsung aja. Irul udah nungguin. Lagi sakit sih dia"
"Sakit apa dia kak? katanya typus ya?"
"Iya Gin. Udah agak lama sih."
Gue naik ke motor bang Vadhil dan langsung cabut.
Kota Palembang udah agak sepi malem ini.
Ini pertama kalinya gue ke kota Palembang. Tata kotanya lumayan rapi. Bersih dan sepertinya nyaman ditinggali.
Gue ngelewati simbol paling terkenal kota ini, apalagi kalau bukan Jembatan Ampera sungai Musi.
Jembatan yang dibangun pada zaman-zaman akhir kekuasaannya Mbah Karno ini emang mantep. Selain karena jembatannya yang panjang, tata lampunya juga bagus.
Sayangnya gue nggak berhenti di situ karena ini udah terlalu malam dan juga gue udah terlalu capek.
Selepas lewat jembatan Ampera dan beberapa lampu merah, gue melewati sebuah jalan yang sekilas mirip banget sama jalan Gejayan di Jogja. Mulai dari lebar jalannya, separator jalan, papan reklame, sampai tiang-tiang lampu jalanan dan pertokoan di kanan-kirinya. Bener-bener mirip. Bahkan gue sempet ngira gue kena genjutsu gara-gara kemiripan yang sangat persis ini. Sayangnya gue lupa nama jalan tersebut.
Beberapa blok setelah melewati Jalan genjutsu tersebut tiba-tiba listrik mati. Sepanjang jalan gelap.
Bang Vadhil mempercepat motornya.
"Udah deket dek.." Kata Bang Vadhil setelah ngelewati Pabrik Pupuk Sriwijaya.
Semenit kemudian gue nyampe rumah Irul yang listriknya juga ikutan mati.
Irul udah agak lama nungguin gue di teras rumahnya yang sederhana.