Dengarlah Tuhan apa yang dibisikkan
Berandal malam di bangku terminal
Sedetik ingatnya seribu angannya
Dambakan malam terus berbintang
Iwan Fals
Lampung, Sabtu 28 Januari 2012
Akhirnya gue menginjakkan kaki di tanah ini. Sumatra.
Ini pulau tempat gue dilahirkan belasan tahun lalu.
Sudah begitu malam ketika gue sampai di Bakauheni. Lewat jam delapan mungkin.
Ini daerah yang begitu asing bagi gue.
Gue ragu, antara naik bus sekarang sampai pusat kota, atau menunggu pagi dan melanjutkan jalan besok saja.
Sepanjang koridor pelabuhan, gue sedikit gentar rupanya. Bakauheni ini pelabuhan, namun tak seramai Pelabuhan Merak di tanah jawa. Disini gelap, kanan-kiri banyak pohon-pohon besar. Hanya satu dua lampu menerangi.
Gue hanya mengikuti arus penumpang yang datang dari kapal yang sama dengan yang gue tumpangi.
Sebagian banyak dijemput, sebagian lainnya menumpang kendaraan umum yang masih mangkal disitu.
Gue masih belum menentukan pilihan. Ragu. Beberapa kali gue mondar-mandir dengan blue ransel yang gede itu di sekitar pintu keluar.
Sampai akhirnya gue dicegat seorang bapak-bapak berwajah keras namun cukup ramah.
Bapak ini menanyakan gue mau kemana, dan langsung menawarkan jasa travel.
Gue dengan halus beberapa kali menolak tawaran bapak ini.
Sampai akhirnya pada tawaran entah kesepuluh atau keberapa belas, gue tertarik. Gue mulai nanya.
"Pak, kalau di Bandar Lampung itu ada stasiun gak pak?"
"Ada mas, di Tanjung Karang"
"Tanjung Karang itu sebelah mananya Bandar Lampung pak?"
"Tanjung Karang itu yang Bandar Lampung mas...Ayo mas ikut travel ini saja, nanti diantar sampai Stasiun Tanjung Karang!"
"Dari stasiun itu bisa ke Palembang gak pak?"
"Bisa mas,,,kereta berangkatnya besok pagi. Ayo mas, ini mau langsung berangkat!"
"Harga travelnya berapa pak?"
Bapak itu masih melayani pertanyaan gue "Harganya 35.000 mas, itu nanti diantar sampai tempat"
"Oh, gitu ya pak...Bisa kurang enggak itu pak?" Gue nawar. Karena harga 35.000 itu adalah setara dengan harga tiket kereta Jogja-Jakarta, dan gue sebagai gembel packer tentunya setiap penawaran harga pasti mikir-mikir dulu, kalau bisa ditawar semurah mungkin."
"Wah, itu ditawar saja langsung sama supirnya mas. Ayo saya antar ke mobilnya!"
"Lha mobilnya emang dimana pak?"
"Sudah, ayo mas naik ke motor saya, nanti saya antar ke mobilnya. Itu sudah menunggu di depan"
Gue manut. Akhirnya gue dianterin ke mobil travel sedang yang udah menunggu di pinggir jalan Lintas Sumatra. Gue nawar-nawar langsung sama sopirnya dan ternyata nggak bisa. "Waduh, nggak bisa mas. Ini harganya pas, di travel lain juga sama harganya. Minyak sekarang mahal mas." Kata sopir yang usianya sih belum ada 30 tahun.
Akhirnya mobil travel ini berangkat. Blue Ransel nggak gue taruh di bagasi. Gue sengaja naruh di depan gue, biar bisa gue amati langsung.
Perjalanan cukup mulus. Jalan penghubung Bakauheni dan Kota Bandar Lampung terbilang bagus. Hanya gelap yang terlihat disepanjang kiri-kanan jalan. Hutan dan ladang yang luas, hanya terdapat beberapa rumah-rumah penduduk, tak sebanyak di tanah Jawa.
Perjalanan memakan waktu lebih dari 3 jam. Gue nyampe di St. Tanjung Karang hampir tengah malam.
"Mas turun disini? Nggak ke Hotel atau penginapan gitu?" Sopir nanyain, agak khawatir pula rupanya nurunin gue depan stasiun.
"Gak papa mas. Saya mah bisa tidur dimana aja, di Masjid, di Stasiun"
"Yaudah...Hati-hati ya mas."
"Oke mas."
Mobil travel tadi akhirnya melanjutkan perjalanan.
Ragu gue. Malam-malam gini ntar gue mau tidur dimana. Gue nggak kenal daerah ini pula.
Sebenernya gue punya temen di Lampung ini, namanya Santoso, tapi rumahnya di Gisting, Kabupaten Tanggamus, di lereng gunung sana. 3 jam lebih dari sini. Nggak mungkin juga gue hubungi dia.
Akhirnya gue jalan ke arah Stasiun, sambil ngendong blue ransel tentunya.
Bangunan stasiun ini terbilang cukup aneh. Gaya arsitekturnya kuno, bentuknya seperti rumah adat setempat.
Hal pertama yang gue lakukan di stasiun itu adalah mencari data keberangkatan kereta tujuan Palembang. Ternyata kereta pertama yang berangkat ke Palembang adalah kereta Rajabasa, KA Ekonomi. Berangkatnya besok pagi, jam setengah delapan.
Rajabasa, gue agak penasaran dengan nama ini. Bayangin aja, tadi sore gue naik kapal, namanya Rajabasa. Trus ini kereta namanya Rajabasa juga.
Di kemudian hari gue googling asal mula nama Rajabasa ini dan hasilnya nggak cukup memuaskan. Mbah Google cuma ngasih tahu kalau Rajabasa adalah nama gunung di Selat Sunda, Rajabasa juga nama terminal dan nama kecamatan di Lampung Selatan. Rajabasa juga merupakan nama PLTP setempat. Tapi gue nggak nemuin asal mula Rajabasa itu seperti apa. Mungkin dia adalah nama seorang raja yang sangat dihormati sebagaimana Hayam Wuruk atau Raden Patah di Jawa. Atau mungkin pembaca bisa memberitahukan asal mula kata Rajabasa???
Pintu masuk stasiun ini udah ditutup, jelas saja ini udah tengah malam. Beberapa security terlihat berjaga-jaga. Gue jalan, mengitari sekeliling stasiun, berharap nemuin mushola atau masjid. Nggak ketemu.
Akhirnya gue nemuin pintu sebelah timur Stasiun yang nggak ditutup. Gue masuk lewat pintu itu, dan dengan muka ramah nanyain bapak-bapak penjaga kantor stasiun. Gue menanyakan pertanyaan yang gue udah tahu jawabannya.
"Pak, maaf yah..kalo kereta yang ke Palembang berangkatnya jam berapa?" Nada pertanyaan gue buat dengan logat Sunda.
Bapaknya agak kaget dan langsung noleh ke arah gue, dia jawab dengan muka datar. "Berangkatnya besok mas. Jam 7 pagi."
Dia kembali merhatiin alat-alat di depannya. Tugas bapak ini sepertinya mengatur perjalanan kereta-kereta di pulau ini. Dan dia dapat shift malam.
Gue diam beberapa saat. Membuat persona seolah-olah gue lagi cemas dan kebingungan. (walaupun sebenernya gue emang lagi kebingungan sih..)
Mengetahui gue masih disitu, bapak penjaga stasiun menoleh lagi ke arah gue.
Akhirnya bapak ini termakan sama persona gue, mulailah timbul sedikit simpati si bapak. Raut mukanya juga lebih cair. (mungkin kasihan sama gue)
"Mas dari mana memang?"
"Oooh...Saya dari Bogor pak. Ini rencananya mau ke Palembang"
Gue bilang gue dari Bogor (gue nggak bohong lho, karena emang kemarin gue dari Bogor), dan gue masih menggunakan logat Sunda.
Ini memang kebiasaan gue, gue hampir selalu mengubah logat dan cara bicara gue sesuai dengan tempat dimana gue tinggal. Sewaktu gue dialog sama orang Jakarta, gue pake bahasa lo gue, tong, kagak, dan sebagainya sesuai logat Betawi, baik Betawi Jakarta maupun "Betawi pinggiran". Waktu gue ngunjungi Bandung, gue bikin logat ke-Sunda-sundaan, dan menggunakan kata-kata bahasa halus yang sederhana seperti "Abdi, Maneh, punteun, kumaha, dan sebagainya". Trus kalau di Bali atau di Sumatra beda lagi.
Gue banyak belajar logat dan cara bicara dari anak-anak social criminal dan temen-temen satu Sekolahan gue di Bogor yang asalnya dari seluruh tanah air.
Gue menggunakan logat sesuai tempat gue berada semata-mata karena gue pengen menghargai penduduk setempat, dengan persamaan yang gue tunjukkan mereka juga pastinya welcome terhadap kita.
Kalau di Lampung ini gue agak kesulitan ngubah logat jadi seperti dialek setempat karena dialek Lampung belum pernah gue pelajari sebelumnya. Karena temen gue yang dari Lampung rata-rata keturunan Jawa.
Makanya gue ngubah logat gue jadi logat Sunda yang menurut gue pengucapannya halus dan intonasinya lembut. Ini juga buat menumbuhkan kesan.
"Tasnya besar sekali. Hati-hati lho mas..disini banyak pencuri" Bapak tadi memperingatkan gue.
"Oh nggak apa-apa pak. Ini isinya juga cuma pakaian kok.
Pak, saya numpang tidur di bangku sebelah sana ya..??" Gue meminta persetujuan si bapak buat tidur di bangku panjang di Stasiun ini. Gue memasang muka seolah-olah gue orang paling baik, dengan muka paling menyenangkan. Hahah.
"Eeem..ya sana. Tapi hati-hati lho mas. Saya nggak bertanggung jawab kalau mas kehilangan barang!"
"Oke pak..Terima Kasih."
Setelah mendapat persetujuan si Bapak, gue akhirnya berjalan ke arah bangku yang gue maksud.
Disana ada tiga jejer bangku yang masing-masing panjangnya lebih dari satu-setengah meter.
Bangku pertama sudah dipakai tidur sama orang yang sepertinya penduduk lokal.
Bangku kedua ada seorang ibu-ibu 30 tahunan yang berpakaian minim ngobrol dengan suara agak keras dengan bapak petugas stasiun dan seorang security. (Setelah gue amati satu jam berikutnya gue menyimpulkan kalau perempuan ini bukan tipe perempuan baik-baik).
Gue melewati dua bangku itu, melintasi si penduduk lokal yang tidur, sepertinya sangat kecapean. Gue memasang muka ramah ketika melintasi 3 orang di bangku kedua dan begitu gue sampai di bangku ketiga, yang jaraknya 4 meter dari bangku sebelumnya, gue langsung rebahan.
Gue lumayan capek hari ini.
Gue menoleh ke kanan, ibu 30 tahunan, bapak petugas stasiun, dan seorang perpakaian security masih ngobrol. Mereka membicarakan rumah tangga orang.
Bukan apa yang mereka bicarakan yang menarik perhatian gue, tapi logat. Ternyata logat orang sini hampir sama dengan logat Palembang. Selama ini gue kira mereka punya logat sendiri. (Atau emang gue belum tau banyak hal tentang penduduk sini??)
Gue menyalakan tembakau. Menghangatkan malam di stasiun ini. Angin malam disini terbilang teduh, nggak terlalu dingin, tapi juga nggak panas. Nggak begitu lembab, juga nggak begitu kering.
Sebuah kereta melintas. Jarak rel dari tempat gue duduk disini sekitar limabelas meter.
Keretanya didominasi warna hitam dan strip kuning. Khas kereta barang dengan bawaan batubara. Lokomotif keretanya ada dua. Gue awalnya agak heran, namun setelah melihat rangkaian gerbongnya gue paham. Kereta barang ini membawa 42 gerbong. Makanya butuh lokomotif dobel biar tenaganya kuat.
Ketika kereta melintas, membutuhkan waktu hampir lima menit setelah melintasnya gerbong paling depan baru terlihat gerbong paling belakang.
Dan ternyata jalur ini cukup ramai dilalui. Selama satu jam gue di bangku ini, setidaknya sudah ada 5 kali atau mungkin lebih kereta yang melintas, baik dari arah Pelabuhan maupun dari Palembang.
Setelah habis tembakau ketiga, gue memutuskan buat tidur.
Beberapa kali gue terjaga ketika 3 orang di 5 meter sebelah kanan gue ngomongnya agak keras.
Menyadari gue nggak bisa-bisa tidur, seorang security yang di bangku kedua tadi menghampiri gue.
"Mas, tidur aja mas..Saya yang punya Stasiun ini, santai saja. Pasti aman. kalau ada pencuri, saya pasti tangkap dia. mas tidur saja"
Agak sombong security yang satu ini. Tapi kata-katanya sih membuat gue jadi tenang.
"Oh..iya pak. Makasih.." Kata gue sambil tersenyum ramah.
Jam satu lebih gue baru bisa tidur.
Akhirnya malam itu gue bener-bener jadi "Berandal Malam di Bangku Stasiun".